2 Aku Sudah Tidak Perawatan!

'Aku diam bukan karena aku takut teriak. Aku diam bukan karena aku tidak bisa bersuara karena Dion membungkamku. Aku diam bukan karena aku menerima perlakuan Dion, atau bahkan menikmatinya. Aku diam untuk martabat dan harga diri keluarga besar ini. Aku masih diam dan membiarkan semua ini terjadi kepadaku untuk nyawa nenek, pandangan orang terhadap keluarga kami, dan keutuhan keluarga besar ini.' batin itu terus menguatkan aku meskipun tidak bisa di pungkiri semalam aku benar-benar hancur tak tersisa.

'Aku akan menerima resiko dari pengorbanan ini. Aku akan membawa kebodohan Dion seumur hidupku. Biarkan aku sendiri yang hancur, bukan keluarga ini.' sekilas, mulai semalam aku berjanji kepada diriku sendiri untuk merahasiakan semuanya.

Aku sudah menyerah, tubuhku sudah lunglai tanpa perlawanan. Hanya ada air mata yang terus meluncur dengan bebas membasahi bantal di bawahku. Dion tetap mencengkram kedua tanganku dengan kuat, tangan kirinya meremas dadaku seirama dengan goyangan bokongnya. Semuanya gelap, aku pun memilih untuk memejamkan kedua mataku. Tidak sudi melihat wajah Dion meskipun tidak tergambar.

"Diam!" desis Dion melepaskan cengkraman tangannya dan berbisik tepat di telingaku.

Kedua tangannya kini membentang, menyatu dengan kedua tanganku di samping badan kami yang masih menyatu. Ia tetap saja maju mundur kan bokongnya, dan bibirnya itu kini menjamah, membelai, dan mengendus leherku dengan liar. Aku menggeliat karena ulahnya, lidahnya semakin leluasa menjilati inci demi inci leher hingga dada.

"Aaaggh!" desahku.

Jujur saja, aku merasa perih dan kenikmatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya semalam. Secara bersamaan dengan semua ketakutan, kekecewaan, dan amarah, aku sudah terlanjur jatuh ke dalam perangkap bajingan seperti Dion.

"Jangan di tahan, nikmati saja." kata Dion membisikkannya lagi di telingaku.

Aku membuka mata, tidak melihat apa-apa semuanya masih saja gelap. Dion menghentikan gerakan bokongnya, melepaskan kedua tanganku. Kini, tangan kanannya meraba leher, aku masih ingat dengan jelas Dion mendekatkan kepalanya ke arahku. Bibirnya menyentuh bibirku, melumat dan mengecup berulang kali. Aku masih saja diam, tetapi Dion tidak menyerah. Ia tetap saja melumat, sampai akhirnya tanpa tidak sadar aku mengiringi perbuatannya. Dan bibir kami saling beradu.

"Nikmati aja, ya!" seru Dion masih dengan suara lirih.

Bibirnya semakin liar, turun ke leher dah kembali mengecup berulang kali. Ke dada, dan melumat buahnya. Aku mengerang, merasakan kenikmatan seperti terbang ke awan. Mataku melek merem, seperti cacing kepanasan. Tangan Dion yang satunya meremas dadaku, sedangkan bibirnya memainkan yang satunya. Ini adalah surga dunia kata mereka yang sudah pernah merasakannya dan kini aku melakukannya. Menikmati permainan bejat Dion tanpa perlawanan.

Dion bangkit, ia duduk dengan kaki yang masih lurus dari sela-sela kakiku yang menyiku. Daging memanjang dan berurat yang masih kokoh itu juga masih menancap. Ia menarik tubuhku, duduk di hadapannya dan sedikit menimpanya. Kedua tanganku di silangkan ke lehernya, dan bodohnya aku kembali menurut. Tubuh kami benar-benar menyatu, wajah kami pun kini berada sangat dekat.

"Gini!" Tangannya meraih pinggangku.

Menggerakkan tubuhku ke atas dan kebawah dengan irama naik turun. Aku merasa bahwa batang itu masuk, menusuk ke dalam sangat dalam. Rasanya masih sama, perih, geli, tapi nikmat. Bibir Dion menangkapku, ketika aku tidak bisa mengontrol untuk bersuara dan mengerang.

"Suttt! Jangan berisik! Nanti ada yang dengar." Dion menghentikan tangannya.

"Aghhh!" pekikku.

Aku menggeliat tidak karuan saat Dion menghentikan tindakannya, "Kenapa? Enak?" tanya Dion, aku hanya diam. "Gerak sendiri lah!" lanjutnya.

Entah setan mana yang kini sudah merasukiku, mungkin aku sudah berpikir bahwa ini sudah terlanjur. Aku menggerakkan tubuhku naik turun, di bantu kedua tangan Dion yang masih di pinggangku. Kedua dadaku tepat di hadapan Dion, Dion tidak melewatkannya dan langsung melahap dengan mulutnya. Melumat, mengigit kecil dan menjilat dengan liar saat aku menggoyangkan pantatku.

"Aggh, aghh, aggh!" desahku.

"Jangan keras-keras!" ucap Dion.

Aku tidak peduli, melepaskan birahi yang sudah memuncak. Menggoyangkan pantat dengan sangat gesit dan ganas seperti film dewasa yang sering aku tonton bersama teman-teman sekelas di sekolah. Aku terus bersuara dengan liar. Dion meraih kepalaku yang mendongak menatap langit-langit dengan membuka dan menutup mata seirama dengan genjot bokong, meraihnya dan menempelkan bibir kami.

"Dion! Aggh!" ucapku bergetar.

"Pelan-pelan aja." kata Dion kembali menempelkan bibirnya.

Posisi seperti ini sudah berlangsung beberapa menit, bahkan sepertinya sesuatu akan keluar dari lubang kenikmatanku. Aku terus mendesah meski bibir masih di tangkap Dion dengan lidahnya yang liar. Entah mengapa semakin cepat aku menggoyangkan pantat, semakin terasa nikmat. Aku liar, mempercepat gerakan dan tiba-tiba cairan terasa keluar dari lubang kenikmatanku dengan hangat dan tubuhku lemas, lunglai jatuh ke dalam pelukan Dion.

"Dasar cewek murahan!" hardik Dion melalui bisikan.

Dion melepaskan tubuhku dengan paksa, meskipun ia tahu aku sudah tidak berdaya. Memutar tubuhku, membuatku membelakanginya. Menusukkan kembali batang yang masih kokoh itu, dan mulai menghujam dengan ganas dari belakang. Aku yang masih lemas di goyangkan, dengan kedua tangannya yang menggerakkan pinggangku berulang kali Dion tidak bergeming.

"Agggh! Agghh! Aggh!" desisku tak terdengar, suara televisi di ruang tengah masih mendominasi malam tadi.

"Enak!" seru Dion.

"Sudah! Lepaskan!" Mohonku.

Dion tidak terusik, tidak bergeming terus maju mundurkan bokongnya. Sampai detik-detik terakhir, aku ingat dengan jelas ia menggenjot lebih cepat dan menariknya cepat batang itu keluar.

"Aagh!" desahnya.

Dion membalikkan tubuhku cepat-cepat dan langsung naik ke perutku. Cairan putih kental yang keluar dari batangnya langsung menyiram perut, dengan aroma pandan yang menyengat dan bersuhu dingin cairan lengket itu tumpah. Meskipun gelap, aku bisa merasakannya dengan jelas. Kemudian dengan sigap, Dion mengenakan kembali pakaiannya dan berlalu pulang ke rumah meninggalkan aku sendiri dalam keadaan yang memprihatinkan.

Sepulangnya Dion, aku masih diam terlentang tanpa busana. Masih dengan cairan aneh di perutku, keringat di tubuhku dan lunglai. Aku mengatur napas, terengah-engah seperti sehabis berlarian jauh. Malam yang dingin menjadi sangat panas, sunyi itu telah memporak-porandakan jiwaku. Aku bangkit, dengan sisa tenaga menghidupkan kembali lampu kamar. Melihat keadaanku sendiri yang sudah tidak karuan.

'Apa ini!" batinku bergetar saat menyentuh cairan lengket di perut.

Aku meraih kain dari lemari, dan mulai membersihkannya. Kemudian, mataku langsung mengarah ke ranjang yang sudah berantakan. Pergulatanku dengan Dion 1 jaman lebih tadi telah membuat sprei, bantal dan atribut tidur lainnya berantakan. Bahkan, bajuku masih berserakan di mana-mana. Aku merapikan sedikit keadaan ranjang, sampai menemukan bercak darah di sprei. Tanganku gemetar, badanku memanas, dan pelupuk mataku menggembung tiba-tiba.

'Aku sudah tidak perawan!' kata batinku. 'Aku sudah tidak perawatan! Aku-sudah-tidak-perawan?' seruku berkali-kali sembari meneteskan air mata menatap bercak darah itu jelas tergambar.

Semalaman, sisa waktu yang tersisa di mana gelap ada aku menangis. Masih tanpa busana aku membungkus tubuhku yang meringkuk dengan selimut biru, kemudian menangis tersedu-sedu. Rasa berkecamuk di dadaku, amarah kepada Dion, diri sendiri dan semua orang malam tadi tercurah buas. Sampai aku lelah, dan tertidur. [ ]

avataravatar
Next chapter