webnovel

Persyaratan

Reinovian Al Kahfi. Laki-laki tampan berumur dua puluh delapan tahun yang merupakan ceo di Kahfi's Group, perusahaan yang didirikan oleh ayah angkatnya, Dirga Al Kahfi. Reino merupakan laki-laki yang tampan, pintar, kompeten, dan sholeh.

Reino Pov

Aku menghela nafas. Tubuhku terasa pegal setelah seharian mengurus pekerjaan di kantor. Berkali-kali aku memukul setir menunggu lampu merah cepat berganti. Kulirik jam tangan hitamku. Huffft, Pukul sebelas malam tepat. Untunglah lampu merah itu tak menyala lama, berganti lampu berwarna hijau. Ku jalankan mobilku kembali. Setengahnya mengendara, pandanganku tak sengaja mengarah ke sebuah gang gelap. Tepatnya mengarah ke perempuan berjilbab dengan seorang laki-laki. Aku memperlambat laju mobil dan sedikit menepi sambil memperhatikan mereka. Aku menggeram ketika melihat laki-laki itu memaksa perempuan itu untuk menyerahkan tas yang dibawanya. Tanpa berpikir panjang, Aku menghentikan mobil, melangkahkan kaki meninggalkan mobil, berjalan ke arah gang itu.

Aku langsung melayangkan tinju ke pelipis pencopet itu hingga tersungkur ke tanah. Kedua tangannya ku kunci hingga pencopet itu tak bisa berkutik lagi. Aku hendak menelfon polisi, namun pencopet itu berhasil meloloskan diri. Aku menggeram kesal. Pencopet itu sudah berlari sangat jauh dariku. Aku takut jika dia akan melakukan hal yang sama suatu saat nanti. Aku menghela nafas pasrah.

Kuraih tas berwarna hitam yang tergeletak di tanah.

"Ini tas mu," ucapku sambari memberikan tas.

"Terima kasih banyak. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi jika tidak ada Kamu."

Aku mengangguk. Di gang gelap tempat kami berdiri hanya diterangi lampu tamaram. Suara kucing jalanan menggema di gang tersebut. Aku kagum dengan perempuan berjilbab yang berada di depanku.  Perempuan berjilbab itu terus menjaga pandangannya ke bawah. Aku tahu maksudnya. Menghindari zina mata. Wajahnya bersinar dan sangat anggun.

Astaghfirullah

Aku menunduk sekilas. Tiba-tiba saja aku membayangakannya. Aku berdehem, mengurangi kecanggungan.

"Kamu mau ku antar?"tawarku karena tidak tega jika dirinya pergi sendirian. Kuamati jalanan lumayan sepi.

"Tidak, terimakasih. Aku naik taksi aja."

Aku mengangguk. Aku mengantarnya keluar dari gang, memastikan dirinya benar-benar mendapatkan taksi.

Setelah melepas kepergian perempuan tadi, Aku berjalan menghampiri mobilku. Alisku terangkat sebelah kala mendapati seorang perempuan dengan pakaian yang sedikit minim terduduk di samping mobilku dalam keadaan mata tertutup. Berbeda sekali dengan perempuan yang barusaja kutemui tadi, tertutup rapi. Kupikir dia tertidur.

Aku merendahkan tubuhku, duduk bertongkat lutut di hadapan perempuan itu yang menurutku cantik, namun tidak melebihi kecantikan perempuan tadi yang tertutup aurat. Aku

Berseru memanggilnya, agar dia bangun. Aku menggaruk-garuk rambutku yang tidak gatal. Sudah lima belas menit diriku berkutat berusaha membangunkannya, namun gagal. Aku sedikit mendekati wajahnya. Bau alkohol langsung menyengat di hidungku.

"Mabuk ternyata," gumamku.

Aku merogoh sling bag berwarna merah yang dibawa oleh perempuan itu, lalu membuka ponselnya. Mati. Sepertinya baterainya habis. Kuputuskan melihat isi dompetnya, melihat ktpnya. Mencari alamat rumah. Mataku menyipit. Aku tahu alamat rumah itu. Mungkinkah dia anaknya Om Tantoro, batinku.

Aku membawa perempuan tadi yang ku ketahui bernama Vasya dari ktpnya. Mobilku berhenti di kediaman Om Toro.

"Malam, ada apa Mas?" Pak Hardi, satpam rumah itu berdiri di depan jendela mobilku.

Saat melihat Vasya yang tertidur di dalam mobil, pak Hardi bergegas menuju pintu gerbang, lalu membukanya. Langsung saja, ku jalankan mobilku. Berhenti di pekarangan rumah.

Pak Hardi membantu membukakan pintu rumah, sementara Aku dengan terpaksa menggendong perempuan itu ke dalam.

"Ya ampun Vasya!"teriak tante Hisya khawatir.

Tante Hisya mengikuti langkahku menuju sofa ruang tamu. Aku meletakan tubuhnya hati-hati di sofa.

"Dia mabuk lagi?"tanyanya.

"Sepertinya Tan. Aku lihat Vasya pingsan di dekat mobilku."

Aku berpamitan kepada tante Hisya. Hampir tengah malam, sebaiknya Aku cepat pulang. Mama pasti marah.

"Reino, terimakasih sudah mengantar Vasya pulang." Tante Hisya mengantarku sampai di beranda rumahnya. Aku melihat ada rasa lega di wajahnya.

"Sama-sama Tante. Kalau begitu Saya balik dulu." Aku menelengkupkan kedua tangan di depan dada, lalu berlari kecil menuju mobilku.

Reino Pov End

***

Vasya keluar dari kamar, berjalan menghampiri Tantoro yang tengah menikmati secangkir teh di beranda rumah. Menghirup udara pagi yang segar. Memperhatikan Pak Danar sang penjaga kebun yang sedang menyirami tanaman.

"Papa udah bilang sama tante Tania?"tanyanya ragu. Ia harus menyaring kaljmat yang akan ia lontarkan terlebih dahulu supaya papanya tidak marah.

Tantoro mengangguk tanpa memandang Vasya, lalu menyeruput tehnya. Vasya mendecak kesal. Ayahnya sungguh tega melakukan itu kepadanya. Ia kira papanya tidak serius. Rasanya pasti akan aneh jika meninggalkan pekerjaannya sebagai model yang sudah cukup lama.

"Pa, kalau gitu Vasya nggak bisa cari uang, "rengeknya.

Walaupun kaya, Vasya juga ingin mencari uang sendiri, dengan menjadi model. Ia tidak mau hidup bergantung dengan kekayaan yang dimiliki Toro. Walaupun sama saja Vasya suka menghambur-hamburkan uang.

Tantoro meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Menatap anak semata wayangnya yang selalu membuat dirinya darah tinggi. Tatapannya menajam yang membuat Vasya menjaga pandangannya.

"Kamu kan bisa kerja di perusahaan. Buat apa punya gelar sarjana kalau nggak digunakan. Kamu kan lulusan sarjana bisnis, coba ngelamar kerja di perusahaan Om Dirga."

Vasya semakin kesal. Ia duduk di kursi di sebelah Tantoro. Mencoba membujuk papanya.

"Vasya nggak mau kerja kantoran, Pa."

"Kalau begitu kerja di toko kuenya Ayana, kan bisa." Tantoro masih memasang ekpresi acuh tak acuh. Tak peduli dengan segala bujuk rayuan anaknya.

Vasya langsung menggelengkan kepala. Ia tidak mau. Yang ia inginkan hanya menjadi model. Ia merengek sambil menggoyang-goyangkan lengan ayahnya, memintanya untuk bilang ke tante Tania supaya membolehkannya menjadi model lagi.

"Papa akan bilang ke Tania dan membolehkan Kamu jadi model asal Kamu berubah, berubah jadi lebih baik lagi!" Tantoro beranjak dari kursi. Masuk ke rumah. Meninggalkan Vasya.

*** 

Vasya mengenakan dress selutut berwarna navy dengan slingbag berwarna hitam. Rambutnya ia biarkan tergerai. Daripada bosan di rumah, ia lebih memilih untuk jalan-jalan. Berbelanja di mall.

Setelah belanja, Vasya menikmati secangkir latte di sebuah kafe yang tidak jauh dari bundaran H I. Memandangi jalanan ibukota yang amat ramai. Mendengarkan musik yang diputar oleh kafe itu sendiri. Maudy Ayunda "Jakarta Ramai." Sangat pas dengan suasana di hatinya. Jakarta ramai, namun hatinya sepi, terasa hampa.

Vasya memutuskan meninggalkan kafe. Berjalan menuju mobilnya, lalu menjalankannya.

Setengahnya mengendara tiba-tiba terdengar suara letusan. Perasaan Vasya tidak enak. Ia keluar dari mobil dan mengecek ban mobilnya satu per satu. Ia melepas sunglasses nya. Dan benar saja, ban mobil belakangnya bocor. Ada paku yang menancap di bannya.

"Paku sialan!"umpatnya.

Matahari kini tepat diatas ubun-ubunnya. Sinar matahari menerpa wajahnya yang menyebabkan dirinya merasa gerah. Mobilnya berhenti di tepi jalan raya, dekat jembatan.

Pandangan Vasya tak sengaja melihat seorang wanita paruh baya berjilbab dengan pakaian yang cukup usang dan seorang balita di gendongannya. Banyak tambalan yang menghiasi pakaiannya. Wanita itu duduk di trotoar, bawah jembatan sambil menunggu dagangannya yang berupa gorengan.

Dengan ragu, Vasya menghampiri Wanita paruh baya berjilbab itu. Menatap nanar dagangan yang masih utuh walaupun telah siang.

Ada senyuman yang terbit di bibir wanita itu kala melihat Vasya mendatanginya. Setelah menunggu dari pagi, ada juga orang yang mau membeli dagangannya. Jujur, bisanya Vasya acuh tak acuh terhadap hal seperti itu.

"Mbak, gorengannya lima ratusan." Wanita itu membuka lembaran koran yang menutupi gorengan berniat manawarkan gorengannya.

Vasya menelan ludahnya.

"Beli bakwan sama tahunya sepuluh ribu, Buk." Vasya merendahkan tubuhnya.

Dengan cekatan, wanita paruh baya berjilbab itu mengambil plastik putih, lalu memasukkan dua puluh bakwan.

"Gorengannya buat ibu aja. Nanti bisa di jual lagi." Vasya menyodorkan uang lima puluh ribu kepada wanita itu.

Vasya bingung. Senyuman wanita itu mendadak hilang. Malah berganti ekspresi sedih. Apakah perkataanya tadi menyinggung perasaan ibu itu. Karena merasa tidak nyaman, akhirnya Vasya menerima bingkisan plastik berisi gorengan itu. Nanti akan ia berikan kepada pak Hardi yang suka makan gorengan selagi menjaga di pintu gerbang rumah.

Padahal Vasya hanya memberikan uang lima puluh ribu, namun ibu penjual itu berulang kali mengucapkan terimakasih dan mendoakannya panjang lebar.

Vasya memandangi anak kecil yang ada di gendongan ibu penjual gorengan itu. Kurus dan lemah lesu. Seperti kekurangan gizi.

Adzan dhuhur menggema di langit ibukota. Vasya terperanjat kala ibu penjual gorengan itu bangkit dan menutup gorengannya dengan koran.

"Eh... ibu mau kemana?" Vasya ikut bangkit yang sedari tadi duduk bersama ibu penjual gorengan itu.

Ibu penjual goreng itu tersenyum. "Mau sholat dulu, mbak."

Vasya tertegun. Dilihatnya gorengan di atas meja kecil masih utuh, dan sangat ribet jika dibawa kemana-mana.

"Terus gorengannya ditinggal?" Vasya menunjuk meja kayu yang di atasnya ada nampan berisi gorengan.

***

selasa, 13 oktober 2020