1 » Prolog

Bersembunyi di balik bayangan sebuah pohon besar dan rimbun, berdiri dengan angkuh sosok seorang pria. Sesuatu yang tersimpan di saku celananya diambil. Sudut bibirnya ditarik. Penuh kelakar jahat nan keji. Amoral. Yang menyimpang dari semua norma.

Pria itu merendahkan tubuhnya. Sejajar dengan ujung sepatunya, seseorang yang lain terlihat. Terbaring tanpa daya. Napas masih di tenggorokan. Kesadaran tetap miliknya meski tak lagi utuh.

Senjata tajam yang baru ditarik dari sakunya, diangkat ke udara. Dengan gerakan yang penuh kasih sayang, begitu hati-hati, dibuatnya garis horizontal. Merobek kulit yang awalnya putih, bersih, dan mulus bak porselen. Titik-titik darah, keluar perlahan.

Sebuah sayatan yang ditorehkan di pergelangan tangan kanan korban menjadi awal dari tindakan menyimpang pria itu. Kemudian lagi, sekali lagi, lagi, lagi, dan lagi. Air menitik di sudut mata korbannya.

Total keseluruhan ada 8 sayatan. Di pergelangan tangan kanan, lipatan siku tangan kanan, pergelangan tangan kiri, lipatan siku tangan kiri, bagian tendon kaki kanan, lipatan di belakang lutut kaki kanan, bagian tendon kaki kiri, dan lipatan di belakang lutut kaki kiri.

Sayatannya tidak sekaligus mematikan, terkendali, seolah dilakukan oleh seorang profesional.

Kesadaran masih menjadi milik korban meski penglihatannya samar dan semakin lama semakin jauh. Cahaya kehidupan yang tergambar di matanya, tampak semakin temaram.

Tidak ada yang bisa dilakukannya selain merasa kesakitan melewati detik demi detik kedatangan sang maut pencabut nyawanya. Perlahan. Membuatnya harus mengalami penderitaan panjang dalam kesendirian, ketakutan.

Air mata kembali menitik, gambaran rasa sakit, ketidakberdayaan, dan keputusasaan yang dalam.

Detik-detik ketika korbannya menghadap pada kematian adalah saat paling menggairahkan bagi si pria. Darahnya mendesir dan adrenalinnya berpacu. Senyumnya merekah, begitu polos, begitu penuh ekspresi kebahagiaan, seolah tanpa dosa layaknya balita yang sedang tumbuh. Bagian yang menunjukkan seberapa jauh kecenderungannya menyimpang.

Ia mulai membaui, mengendus-enduskan hidung layaknya seekor anjing pelacak. Semakin banyak darah yang keluar, semakin pekat aromanya, semakin ia menikmatinya.

Satu sayatan lagi. Kali ini mematikan, tepat di leher.

Ekspresi kesakitan, putus asa, aroma darah segar, dan detik-detik kematian adalah tiga hal paling mendebarkan yang merupakan titik puncak dari kenikmatan yang selama ini diagung-agungkan pelaku melebihi apa pun. Kebahagiaan sejatinya.

Begitu tubuh kehilangan banyak darah dan nyawa telah meninggalkan raga, segalanya pun berakhir. Puncak kenikmatannya selesai. Begitu pun dengan kehidupan seorang wanita muda.

Di langit yang luas di atas sana, hanya ada satu bintang terlihat. Satu lagi di jarak beberapa puluh senti setelahnya. Dan mungkin akan terlihat satu lagi di sudut lain jika diamati dengan teliti.

Rembulan bergantung nyaman, menyembunyikan diri di antara gundukan awan yang kelabu. Semilir angin berembus sekali dan menjadi terlalu sering. Dinginnya tidak hanya membuat ngilu sebab menusuk sampai ke tulang, tapi juga membuat seluruh bulu roma meremang. Binatang malam yang biasanya terdengar riuh-rendah saling bersahut-sahutan, mulai enggan. Mendadak hening.

Ketika emosinya telah kembali tenang, perasaannya yang menggebu-gebu perlahan stabil, pria itu segera beralih. Bergerak untuk menuntaskan pekerjaan terakhirnya.

Cuaca dingin yang menusuk sampai ke tulang, embusan angin yang membuat ranting-ranting pepohonan berderit, kegelapan yang semakin luas mengepakkan sayapnya di sisi-sisi pepohonan besar yang berjajar, adalah serangkaian teror malam yang mencekam. Yang membuat siapa pun enggan menghabiskan waktunya berlama-lama di luar.

Setelah semua selesai dan rapi tersimpan, ia mulai melangkah pulang. Senyum menggembang dengan wajah berseri-seri yang masih betah bertakhta. Layaknya seorang anak yang baru mendapat mainan baru.

Fajar pertama akan tampak di ufuk cakrawala kira-kira 4 jam lagi. Waktu yang cukup bagi tukang jagal malam untuk berkeliaran. Memburu, menghabisi, dan menutup rapi kejahatannya.

Langkah penuh keyakinan terus menapak dengan mantap. Begitu segalanya telah tertutup rapi, ia pergi. Ia berjalan memutar melewati jalan setapak dan gang-gang kecil sampai sekitar satu jam. Berjalan lagi melewati jalan besar selama 30 menit yang hanya dilewati satu-satu kendaraan.

Tidak masalah baginya berjalan selama berjam-jam. Ia memiliki ketahanan fisik yang luar biasa dan ia adalah seorang pria dewasa yang sehat –sehat dengan mengesampingkan pikiran dan jiwanya yang jelas-jelas menyimpang. Saat kecil ia bahkan sering mengikuti maraton dan sewaktu sekolah sangat unggul dalam setiap bidang olahraga meski tidak mengikuti satu pun ekskul di antaranya.

Begitu sampai di rumah, ia menanggalkan semua pakaian yang dikenakannya, menumpuknya di keranjang pakaian kotor, dan mandi. Suara keran yang menyala dan guyuran air menjadi suara-suara yang terdengar mengisi kekosongan. Tiga menit kemudian ia keluar, mengenakan kaus oblong lengan pendek, celana kain, dan berbaring di atas ranjangnya yang terlalu luas untuk ditempati seorang diri. Ia membiarkan lampu kamar tetap mati, begitu pun lampu-lampu di ruangan lain. Hanya lampu teras dan kamar mandi yang menyala.

Lima menit kemudian ia terlelap. Ia tidur meringkuk dengan tangan dan kaki dirapatkan, dan lutut dilipat. Mirip seperti bayi dalam kandungan ibunya. Tidurnya menghadap ke tembok, membelakangi pintu. Jika kurang dari 2 jam lalu ia tampak bersemangat dengan binar-binar kebahagiaan, kini semua ekspresi itu lebur sudah. Tidak ada satu pun kebahagiaan yang terpancar di wajahnya, tidak juga ketenangan yang meneduhkan. Dalam mimpi sekalipun, kebahagiaan tidak juga pernah muncul.

Sebuah suara yang bukan merupakan langkah kaki terdengar tidak lama kemudian. Semakin mendekat dan memasuki kamar. Suara roda. Kursi roda. Seorang wanita dewasa duduk di atasnya.

Wanita dewasa, berambut panjang, hitam, lurus. Poni tipis yang hampir menutupi matanya disisir miring, memenuhi keningnya yang lebar. Matanya telah terbiasa dalam kegelapan seolah telah terkurung di sana dalam waktu lama. Setelah yakin si pria telah terlelap dan sama sekali tidak menyadari kehadirannya, ia menarik selimut yang berada di bawah kaki si pria dan menutupi hingga ke bahunya.

Selesai. Ia keluar dengan menutup kembali pintu kamar.

Suara-suara yang memenuhi seisi rumah hanya tes-tes keran air di kamar mandi, tik-tik jam di dinding kamar dan ruang tamu. Jam dinding berbentuk bulat berwarna putih. Satu tanpa corak dan satu yang berada di ruang tamu bergambar macan. Setiap ruang terlihat rapi hanya karena tidak pernah tersentuh. Penghuninya tidak pernah melakukan kegiatan apa pun selain di dalam kamar. Entah itu makan atau hanya berdiam diri saja.

Azan yang berkumandang di sekitar kompleks menandakan fajar telah muncul di ufuk cakrawala. Aktivitas baru akan segera dimulai meski banyak di antaranya yang masih betah berlama-lama berkemul di atas ranjang.

Waktu menjadi sangat cepat berlalu setelah suara azan selesai diperdengarkan. Satu per satu kesibukan di setiap rumah dibangkitkan. Melakukan ini-itu, mempersiapkan ini dan itu. Asap-asap di dapur mengepul, keran-keran air dinyalakan, lampu-lampu mulai dimatikan. Satu jam kemudian orang-orang mulai ke luar rumah dan kesibukan berpindah ke jalan-jalan dan tempat umum.

Mentari bersinar hangat dengan panas yang tidak begitu membakar. Langit biru yang membentang meninggalkan jauh-jauh awan gelap yang sempat menggelayut. Burung-burung terbang berkelompok dan sebagian bertengger manja di ranting-ranting pohon sekitar halaman.

Para ibu rumah tangga mulai menjemur pakaian dan merapikan rumah setelah anak-anak mereka pergi ke sekolah. Jalan-jalan yang dipenuhi orang-orang dari berbagai macam usia dan jenis pekerjaan, otomatis ikut menumpuk jumlah kendaraan. Asap-asap terpolusi membumbung bebas di udara, menari-nari sampai ke langit, memenuhi pagi di kota-kota yang padat di pagi yang sibuk.

Alarm ponsel yang dipasang di angka 07.45 berbunyi. Suaranya yang nyaring dan pecah membuat siapa pun yang mendengar harus bergegas bangun untuk paling tidak mematikan alarmnya jika ingin kembali tidur. Tapi pria ini memilih untuk tidak lagi kembali tidur. Ia selalu bangun sesuai yang jadwalkan meski tidurnya kali ini kurang dari 4 jam. Entah ia sadar bahwa semalam ada seseorang yang menaikkan selimutnya atau tidak, ia sama sekali tidak memikirkannya.

Hal pertama yang dilakukan ketika bangun dari tidurnya adalah mencuci wajahnya. Ia merasa segar dan benar-benar bangun setelah membasuh wajahnya dan bersikat gigi. Begitu rutinitas di kamar mandi selesai, ia mengganti celananya dengan jeans hitam, melapisi kaus oblongnya dengan jumper, merapikan rambutnya dengan jari, mengambil topi di gantungan belakang pintu, dan meninggalkan rumah.

Rutinitas selanjutnya adalah sarapan.

Bagi seorang pria lajang yang tinggal seorang diri, makan di luar adalah sebuah kebiasaan. Oleh karenanya ia memiliki beberapa tempat makan langganan. Salah satunya adalah sebuah warung makan yang kini sedang dituju. Tempat pertama yang sama, yang selalu ia datangi setelah keluar dari rumah pada pagi hari.

Baginya pagi hari adalah sebuah lembar baru, kehidupan baru. Ia melakukan semua hal seperti yang orang lain lakukan. Menjadi manusia normal seperti manusia-manusia yang berada di sekitarnya. Makan di tempat umum, berjalan di trotoar yang sama, bekerja, naik kendaraan umum, dan sesekali meluangkan waktu untuk bersenang-senang. Jika membaur di antara puluhan orang, siapa yang akan tahu kalau suatu kali ia telah melakukan kecenderungan yang menyimpang. Kalau ia memiliki kegilaan yang mampu membuat siapa pun bergidik jika berada di dekatnya.

Ya, manusia perlu membaur untuk menjadi sama dengan manusia yang lainnya.

Semuanya akan baik-baik saja. Ya, semua hanya masalah kalkulasi. Jika kalkulasinya sempurna, tidak akan ada hal buruk yang terjadi.

_abcde_

avataravatar
Next chapter