62 Bab 62. Menelepon Andin.

Emosi Tommy merebak, rasa cemburu kiri menyelimuti dirinya. Meski belum tahu pasti apa yang menyebabkan pria itu mengemudikan mobil istrinya, tapi Tommy begitu tidak suka melihat pemandangan tersebut.

Mobil Sherly kini bergerak maju. Tommy pun segera menggerakkan mobilnya untuk mengejar. Agar supaya Sherly tidak melihat mobilnya, ia memberi jarak di antara mobil yang lain. Ia ingin tahu ke mana mereka berdua akan pergi.

Setelah memakan waktu hampir dua puluh menit untuk mengejar, Tommy melihat istrinya berbelok disebuah penginapan yang letaknya jauh dari jalan raya. Rasa sakit dalam hatinya pun membuat perasaanya terhadap Sherly hilang. Apa yang akan dilakukan istrinya bersama lelaki lain di dalam sana, ya?

Tak sanggup membayangkan hal itu, Tommy melajukan mobil meninggalkan tempat itu. Airmatanya mengalir. Rasa sakit di hatinya kini tak bisa ditahan lagi. Bayangan-bayangan perjuangan yang ia lakukan untuk mendapatkan Sherly pun terbenak dalam pikirannya. Di mana ia harus merelakan masa remajanya dan bekerja keras hanya untuk memulai kehidupan rumah tangga yang sudah menjadi komitmenya sejak awal.

Karena rasa kecewa menyelimuti hatinya, Tommy segera merogoh ponsel dari saku kemeja dan menghubungi seseorang. Dilihatnya kontak Andin dan menekan radial. Sambil menempelkan ponsel itu ke telinga, Tommy menarik cairan hidungnya dan tersenyum untuk menstabilkan emosinya. "Kau di mana?" tanyanya saat suara Andin menyapa. "Aku punya pekerjaan untukmu." Kemarin Tommy memang sengaja berdusta pada Sherly, bahwa ia sudah menghubungi Andin padahal tidak. Pria itu hanya ingin melihat reaksi istrinya bagaimana jika ia mengajaknya pulang. Dan ternyata tebakkan Tommy benar, Sherly sudah tidak jujur padanya. Dan karena hal itu benar, ia pun menghubungi Andin untuk menggantikan posisinya sementara. "Kalau kau mau aku akan membiayai semua perjalananmu, termasuk tempat tinggal dan makan setiap hari."

"Pekerjaan, apa?" tanya Andin dengan nada yang begitu bersemangat.

"Kau tahu proyek yang sedang kutangani sekarang ini, kan?"

"Yang di Jawa?"

"Iya, kalau kau mau aku akan mengalihkannya padamu."

"Apa?!" Suaranya yang keras membuat Tommy menjauhkan ponselnya dari telinga. "Kau serius, Tom? Itukan proyek besar?"

Tommy tersenyum. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya karena sahabatnya bisa mengalihkan pikirannya tentang lelaki lain yang mungkin saat ini sedang berperang di atas ranjang bersama istrinya. "Aku serius, Andin."

"Bisa kau jelaskan padaku kenapa kau mau memberikannya proyek itu padaku? Kenapa kau tidak melanjutkannya saja, toh itu sudah lima puluh persen yang selesai?"

Tommy terdiam saat membayangkan Sherly dan Denny sedang bercinta. "Aku ingin bersantai dulu. Aku membutuhkan ketenangan dan refresing. Mungkin besok aku akan berangkat."

Andin yang sangat tahu tentang sikap sahabatnya itu itu langsung merasakan sesuatu yang tidak beres. Dengan berani ia pun berkomentar, "Ada masalah apa?"

Tommy menahan tangis. "Istriku selingkuh." Memang ia tidak melihatnya secara langsung, tapi jika seorang perempuan yang sudah berani masuk ke dalam penginapan bersama pria lain itu untuk apa? Sudah jelas itu karena mereka memiliki hubungan spesial. Hubungan yang membuat Tommy merasa bersalah karena tidak bisa membuat Sherly setia. Selama ini dia selalu memberikan apa yang diinginkan Sherly, tapi ternyata uang dan fasilitas tidak menjamin kebahagian mereka. Alhasil Tommy merasa kerja kerasnya selama ini untuk menyenangkan istrinya ternyata sia-sia.

Keheningan pun terjadi sesaat di antara mereka. Tangan kanan Tommy fokus menyetir memegang kemudi, sementara tangan kirinya memegang ponsel yang menempel di telinga. Andin yang entah sedang apa di seberang telepon hanya terdiam sebelum akhirnya bersuara. "Kau yakin?" Suaranya lemah, seakan bisa berbaur dengan perasaan Tommy yang sedang galau.

"Ya. Aku baru saja melihatnya dia masuk bersama pria lain di dalam penginapan." Karena sejak dulu ia selalu terbuka terhadap Andin, hari ini Tommy pun menceritakkan segala keanehan yang ia rasakan terhadap Sherly.

Karena tidak ingin pria itu semakin terbawa suasana, Andin pun tak mau bertanya lagi dan mengalihkan topi, "Baiklah, kapan aku bisa memulainya?"

"Besok, tapi jika kau bisa mulai hari ini, itu akan sangat lebih bagus," canda Tommy, "Tapi kamu harus ijin dulu pada suami dan anak-anakmu, Andin. Aku tidak mau kau datang tanpa persetujuan mereka."

Andin tak menjawab. Ia hanya diam saja saat Tommy menyinggung saol anak dan suaminya. Karena merasa tidak ada respon dari sahabatnya itu, Tommy memeriksa panggilan itu yang dikiranya sudah mati.

"Andin, halo?" Ia melihat ponselnya. Sambungannya masih berlanjut. Ditempelkannya kembali benda itu di telinga. "Halo, Andin?"

Hah, ya? Eh, maaf, Tom."

"Ada apa?" Tommy tersenyum sayang karena tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Sherly.

"Nanti akan kuceritakan padamu secara langsung. Sebenarnya sudah sangat lama aku ingin membicarakannya denganmu, tapi aku tidak enak pada Sherly."

"Soal apa?"

"Nanti saja."

"Baiklah, besok aku akan ambil jam penerbangan malam. Kalau bisa besok pagi juga kau sudah di sini biar aku masih punya kesempatan untuk membawamu ke lokasi proyek dan mengenalkanmu kepada para pekerja konstruksi. Soal tempat tinggal kau akan tinggal di rumahku."

"Oke, kalau begitu sampai ketemu besok."

Tut... Tut...

Andin memutuskan panggilannya dan hal itu membuat Tommy tersenyum. Ia tahu kalau temannya itu sedang gugup. Sambil mengemudi Tommy kembali merangsang ingatannya tentang kenangan masa remajanya bersama Andin. Ia sampai tersenyum lebar saat membayangkan kekikukan Andin waktu ia mencium wanita itu di dalam pondok.

Bunyi klakson mobil dari belakang mengejutkan Tommy. Ia pun segera menepiskan pikiran tentang Andin. "Tidak, tidak, di sudah bersuami, Tommy," bisiknya pada diri sendiri.

***

Keesokan harinya Tommy bangun lebih pagi. Ia tidak pulang ke rumah, tapi ia tidur di hotel dan pagi-pagi sekali baru pulang. Sherly yang ternyata sudah menunggunya sejak semalam kini sedang berdiri di depan pintu kamar dengan balutan baju tidur berbahan satin dan tangan yang terlipat di dada. "Kenapa semalam tidak pulang?" ketus Sherly.

Tommy yang tak ingin berdebat hanya melirik. Ia berjalan menuju meja makan kemudian mengambil gelas berkaki dan mengisinya dengan air lalu mengenggaknya. "Hari ini kita akan pulang, jadi aku harus membiacarakan pekerjaan-pekerjaan dengan beberapa pihak yang terkait mengenai pengalihan tanggung jawab mereka dan posisi Andin di sana."

"Kenapa harus Andin? Kenapa kau___"

Tommy mengulurkan tangannya sebagai israyat bagi Sherly untuk diam. Ditatapnya Sherly dengan penuh kebencian. "Itu pekerjaanku dan itu urusanku. Kau tidak usah ikut campur."

"Kenapa dia jadi pemarah, ya?" tanya Sherly dalam hati, "Tapi kan aku istrimu, Tommy. Sebagai istri aku tidak mau kau___"

"Diam!" bentak Tommy.

Sherly terkejut. Seumur hidupnya baru kali ini ia melihat Tommy semarah inu. Sudah bertahun-tahun ia menjalani rumah tangga bersama Tommy lelaki itu baru sekarang membentaknya. Hal itu pun membuat Sherly curiga, namun tidak ada sedikitpun pikiran terhadap kesalahan yang dibuatnya, melainkan ia berpikir bahwa sikap Tommy berubah pasti karena Andin.

"Oh, jadi karena perempuan itu kau sudah berani membentakku, ya?"

Tommy menyentakkan pandangannya menatap Sherly. Apakah dia harus mengatakan pada Sherly bahwa ia melihat Denny masuk dalam mobilnya? Apakah ia harus mengatakan bahwa ia melihat mereka masuk ke penginapan? Ya Tuhan, bayangan ketiga putranya pun tiba-tiba telintas dalam benaknya.

Karena tak bisa meluapkan emosinya, Tommy hanya bisa mengepalkan tangannya. Amarahnya saat ini seakan masih bisa ditoleransi. Tommy tak ingin bersikap impulsif sebelum ia benar-benar mendapatkan bukti tentang perselingkuhan Sherly bersama Denny.

Diraihnya gelas yang masih ada air dan meneguknya lagi sampai habis dan tak berkata apa-apa mengenai pertanyaan yang dilontarkan Sherly. Tommy bergerak dan langsung keluar dari meninggalkan Sherly.

"Mau ke mana kau? Kau baru saja pulang dan sekarang kau mau pergi lagi?"

Langkah Tommy terhenti. Emosinya naik, tapi sebisa mungkin ia mengontrolnya. Ia pun berbalik menatap Sherly. "Hari ini adalah hari terkahir kita di sini. Sebaiknya kau mengemasi semua barang-barang kita. Aku akan menjemput Andin dan akan membawanya ke lokasi. Sebaiknya kau di rumah saja dan jangan ke mana-mana." Tanpa menunggu komentar Sherly, Tommy segera membawa langkahnya menuju garasi.

Sherly marah sampai-sampai ia terus mengomel dengan lontaran sumpah serapahnya kepada Andin. "Ini pasti karena perempuan itu. Selama ini Tommy tidak pernah membentakku dan sekarang ... " Sherly berdecak. "Dasar wanita murahan, dia pasti sudah mengatakan cinta pada Tommy. Memangnya dia pikir bisa merebut Tommy dariku, hah? Jangan mimpi kau, Andin!"

Di sisi lain.

Dalam perjalanan Tommy memikirkan masalah yang dihadapinya sekarang. Ingin sekali ia mengatakan pada Sherly jika sebenarnya dirinya sudah tahu tentang apa yang dilihatnya kemarin. Tapi entah mengapa bayangan wajah ketiga anaknya terus terbenak dalam pikiran, sehingga dirinya seakan tak mampu untuk mengatakan semua itu. Ia tak ingin__ hanya karena mengatakan hal itu__ Sherly akan pergi dari rumah dan menelantarkan ketiga anaknya yang masih butuh kasih sayang.

Memang secara financial Tommy bisa menyewa pengasuh untuk mengurus ketiga anaknya, tapi secara mental apa ketiga anaknya mampu dibersarkan tanpa campur tangan seorang Ibu? Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Biarlah masalah ini dipendamnya sendiri. Biarlah Sherly sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah salah dan Tommy berharap kesalahan itu hanya sementara.

Continued___

avataravatar
Next chapter