2 Bab 2. Tujuan Andin.

Tak ingin gairah semakin bergolak dalam dirinya, Andin segera melepaskan bibir Tommy. Ia melepaskan pelukannya dan menjahui tubuh pemuda itu.

Tommy yang melihatnya pun ternganga, napasnya terengah-engah. Ada rasa kecewa dalam dirinya karena Andin membelakanginya.

"Ya Tuhan, apa yang kulakukan? Aku ..." kata Andin dalam hati. Ada rasa bersalah dalam hatinya karena sudah berani mencium Tommy. "Tidak! Tidak!" Andin mengeleng dalam hati, "Dialah yang lebih dulu menciumku. Tommy tadi menciumku. Apa itu karena ...." Pikiran Andin terhenti. Ia menoleh menatap Tommy yang kini berdiri menatapnya dengan tatapan bersalah. "Apakah Tommy menyukaiku?" ucapnya dalam hati. Tangannya spontan terulur ke bibir. Ia memegang bibirnya yang baru saja mencium Tommy. Matanya nanar. "Aku ...."

Tommy yang melihat reaksi Andin pun langsung berkata, "Maafkan aku, Andin. A-aku tidak bermaksud menciummu. Aku hanya bercanda," dalihnya. "Aku ingin menghukummu karena sudah mengerjaiku."

Ekpresi Andin yang kecewa tak sempat ditatap Tommy. Pemuda itu masih menunduk dengan perasaan bersalah. Andin yang sempat berharap pemuda itu akan berkata 'Aku menyukaimu, Andin,' kini harus menepan pil pahit saat mendengar ucapan Tommy barusan; 'Aku ingin menghukummu karena sudah mengerjaiku.'

Kata-kata itu terus terngiang dalam telinganya. Matanya nanar, bulir kristal yang tadinya hendak tumpah karena kebahgiaan kini merebak menjadi bulir-bulir kristal penuh kecewa. Ia berbalik dan menghambur ke luar.

Tommy yang masih berdiri dengan posisi menunduk pun langsung terkejut dan mendongak ketika mendengar suara pintu yang dibanting. Matanya terbelalak. "Ya Tuhan, apa yang kulakukan," pekiknya pelan. Ia hendak ke luar untuk mengejar Andin, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti dan mengintip Andin dari balik tirai jendela pondok. Dilihatnya gadis itu menaiki mobilnya. Tommy mengendus. "Maafkan aku, Andin." Diusap wajahnya dengan kasar lalu berhambur ke luar.

Tommy berjalan setengah berlari menghampiri mobil sedan hitam miliknya. Andin sudah duduk manis di kursi penumpang. Dilihatnya wajah gadis itu saat ia memasuki bangku kemudi. "Andin," panggilnya sambil menutup pintu, menyandarkan tubuhnya ke kursi lalu menatap Andin lagi yang menatap lurus ke dahan pohon yang menurutnya lebih menarik dari pada mengingat kata-kata Tommy yang tak enak tadi. "Apa kau marah padaku? Aku minta maaf kalau aku___"

"Tidak, Tom," sergah Andin. Ia menengadah menatap pemuda itu. Mimik wajahnya berubah ceria. "Aku tidak marah. Justru aku yang minta maaf karena sudah kurangajar. Maafkan aku, ya?"

Tommy diam sesaat. Entah kenapa kata-kata itu sangat tidak enak didengarnya. Ia menunduk sesaat sebelum menatap Andin lagi. "Kau bisa menghukumku karena kesalahanku tadi."

"Kesalahan apa?" tanya Andin pura-pura.

"Kesalahan karena sudah menciummu. Aku minta maaf soal itu, tapi aku akan menjalani hukuman jika kau memang menghukumku. Aku pantas mendapatkannya."

Andin membuang muka. "Ya, Tuhan, seandainya kau tau betapa senangnya aku saat bibirmu menyentuh bibirku tadi, seandainya kau tahu betapa senangnya aku saat kau melumat dan memelukku tadi, betapa sangat bahagianya aku saat kau membalas ciumanku tadi, Tom. Dan sungguh tidak adil rasanya jika aku menghukummu. Aku menyukainya, Tom, aku menikmatinya. Aku ...."

Pikiran Andin tentang hal itu segera buyar saat merasakan tangan Tommy memegang bahunya. Ia tersentak dan menoleh.

"Kau marah, ya?" tanya Tommy. "Oh, Andin, maafkan aku. Aku sudah melakukan kesalahan besar. Aku tidak mau persahabatan kita rusak hanya karena kesalahan bodoh yang kulakukan. Kumohon maafkan aku, Andin. Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Hukum aku biar kita adil. Asalkan jangan memutuskan tali persahabatan kita."

Mata Andin nanar. Bulir kristal sudah menggenang di pupil matanya. Perkataan Tommy bagaikan palu yang menghantam paku di hatinya, Andin kecewa. Ia tak menyangka Tommy menganggap ciuman tadi itu hanyalah sebuah candaan. Sementara ia sendiri menganggap ciuman itu adalah sesuatu yang berharga dalam hidupnya, karena itu ciuman pertama baginya. Andin berdecak tawa sebelum air matanya benar-benar keluar. Tapi air matanya nyaris keluar dan Tommy melihatnya.

"Apa aku menyakitmu, Andin?" tanya Tommy pelan. "Sekali lagi maafkan aku."

Andin menggeleng cepat. Ia melirik Tommy sambil menyapu air matanya dengan gerakan kedua tangan dari dalam ke luar. "Tidak, Tom, aku tidak marah. Sungguh." Ia tertawa tanpa menatap Tommy. "Aku hanya syok karena merasa bodoh. Ini hal paling konyol yang pernah kita lakukan. Kau mengecupku dan aku menciummu." Andin terbahak untuk membuat suasana mencair dan menganggap semua itu hanya lucu-lucuan. Meski sebenarnya itu menyakitkan.

Tommy yang juga sebenarnya mengganggap itu hal penting dengan terpaksa mengikuti suasana hati Andin. Pemuda itu terbahak dan mengalihkan pandangan lurus ke depan. Entah kenapa ia merasa kecewa. Kata-kata Andin seakan mengungkapkan bahwa dia baik-baik saja, padahal Tommy sangat tahu bahwa gadis itu menikmatinya.

Tommy menyalakan mesin mobilnya lalu menatap Andin. Tangannya melingkar di setir mobil dengan kepala bersandar di sana. "Kau mau ke mana lagi? Katakanlah, aku akan mengantarkanmu ke mana pun kau mau."

Andin tertawa. Ia melirik Tommy, tapi tidak mampu menatap lama. Ia takut tatapan Tommy nanti akan menghancurkan pertahannya. Ia menggeleng sambil menatap lurus lalu pura-pura merogoh ponsel yang ada di saku ransel. Dilihatnya jam sudah pukul empat sore lebih sedikit. "Kita pulang saja. Aku ingin mandi dan istirahat." Setelah berkata begitu, barulah ia berani menatap Tommy dan berkata, "Bisakah kau antarkan aku pulang sekarang juga, Mr. Fabian?"

Tommy tertawa. Ia merasa lega karena Andin kembali bercanda, meski ada rasa kecewa karena Andin masih menutupi perasaannya. Di satu sisi ia juga sedikit merasa bodoh karena sudah terlalu percaya diri bahwa Andin benar-benar menyukainya, entah itu benar atau tidak. Tapi hal bodoh yang dilakukannya barusan nyaris merusak persahabatan mereka. Dan itu tidak boleh terjadi.

Tommy menegakkan tubuhnya dan mulai menggerakkan mobil meninggalkan tempat itu. Tempat yang nantinya akan menjadi sejarah bagi mereka berdua; tempat dan waktu pertama kali bagi Tommy dan Andin berciuman.

***

Andin yang baru saja diturunkan Tommy di depan rumahnya tampak masih berdiri sambil menatap mobil sedan hitam itu yang melaju hingga lenyap di ujung lorong. Andin merasa lucu, ia bahkan tertawa sendiri saat membayangkan dirinya begitu berani mencium Tommy. "Dasar bodoh," katanya dengan wajahnya terasa panas.

Baru saja ingin masuk ke dalam rumah, Andin dengan cepat berbalik, menoleh ketika sebuah mobil sedan putih berhenti tepat di depan gerbang. "Papa?" serunya.

Ferry yang baru saja turun dari mobilnya segera menyapa dan memeluk anak semata wayangnya. "Kau baru pulang, Nak?" tanyanya ketika melihat tubuh Andin masih berseragam sekolah.

Andin mengangguk cepat dan melepaskan pelukannya. "Tadi sepulang sekolah aku dan Tommy pergi ke puncak."

"Tommy?" tanya Ferry dengan raut wajah bahagia. "Di mana anak itu?" Ferry merangkul putrinya, bersama-sama masuk ke dalam rumah.

Sambil berjalan mereka berbicara. "Sudah pulang. Belum lama mobilnya menghilang dari gang sebelum mobil Papa tiba."

Ferry melepaskan rangkulannya. Kini mereka sudah berada di ruang tamu. Andin membantu papanya melepaskan jas dan meletakkan tas kerja sang papa di atas meja. Dilihatnya wajah yang sama tampannya dengan Tommy. Rambut Ferry gelap, tubuhnya tinggi dan memiliki postur tubuh yang proporsional. Lelaki yang usianya tiga puluh lima tahun itu memiliki mata yang sama persis dengan Tommy. Tiap kali melihat sang papa, Andin pasti akan teringat pada Tommy, meski sebenarnya ia juga memiliki mata yang sama.

Ferry duduk, menyandarkan tubuhnya di sofa. Sambil melonggarkan dasinya ia berkata, "Andai saja kau dan Tommy bisa menikah, papa dan almarhum mamamu pasti akan senang."

Mata Andin melotot. "Me-menikah?"

Ferry menengadah. Ia menatap putrinya yang mimik wajahnya ternganga. Ia tersenyum dan segera memeluk Andin. "Oh, Sayang, papa hanya becanda. Papa kan bilang seandainya." Ferry menyusupkan kepala Andin di dadanya. "Sebelum mamamu meninggal, kami berniat akan menjodohkanmu dengan Tommy. Tapi setelah dipikir-pikir ..." Ferry menghentikan perkataannya, melepaskan pelukan dan menatap Andin. Wajah gadis itu memerah. Entah karena malu, emosi atau lainnya, tapi Ferry tak mau tahu. "Tommy itu baik, anak satu-satunya keluarga Fabian. Dia juga pintar dan penurut. Sama sepertimu." Ferry mengusap rambut Andin yang panjang. "Kalian memiliki cita-cita yang sama. Kata ayahnya, Tommy itu ingin sekali menjadi arsitek. Selain itu dia juga ingin belajar bagaimana cara menjadi kontraktor yang baik. Penghasilan yang didapat dari seorang kontraktor maupun sub kontraktor membuat Tommy termotivasi untuk menekuni pekerjaan itu. Bukankah kau juga begitu?"

Andin terkejut. "Apaan sih, Papa." Ia malu. "Aku tidak mengerti maksud Papa?"

Ferry terkekeh. Ia memindahkan tangan dari rambut Andin ke bagian kancing kemejanya. Sambil mencodongkan badan, lelaki itu membuka beberapa kancing kemejanya di bagian atas lalu berkata, "Papa mau saat lulus nanti kau harus masuk ke Universitas yang sama dengan Tommy."

"Kenapa harus, Pa?"

"Agar kau selalu bersama Tommy. Papa setuju jika kau menjalin hubungan dengan Tommy, hubungan yang lebih dari sekedar teman. Papa juga akan membahas masalah ini nanti bersama orangtua Tommy. Tapi papa mau tanya dulu padamu, apa kau setuju jika dijodohkan dengannya?"

Ingin sekali Andin berdiri dan bersorak-sorak. Karena tak ingin Ferry tahu perasaan yang dirasakannya saat ini, ia memeluk pria itu lalu berkata, "Papa ini apaan sih? Aku masih sekolah."

"Papa tidak akan memaksamu, Andin. Papa hanya ingin kau mendapatkan suami yang baik dan bisa membawamu ke masa depan yang cerah. Tommy orang yang tepat. Selain itu papa dan keluarganya juga sudah sangat dekat."

Andin menoleh menatap wajah sang papa. Ekpresinya datar, namun hatinya berteriak-teriak bahagia. Seandainya saat ini pria itu tahu jika putrinya menyukai Tommy, apakah dia akan langsung mendatangi rumah keluarga Fabian untuk mendeklarasikan perjodohan ini? Andin menarik napas pelan lalu berkata, "Aku akan berusaha, Pa. Wanita mana sih yang tidak mau mendapatkan suami seperti Tommy. Tapi aku tidak ingin berharap banyak, kita serahkan pada yang Kuasa. Jika memang Tuhan mengijinkannya, apa yang Papa inginkan pasti akan terkabul."

Ferry tersenyum seraya mengusap kepala Andin. "Seandainya ibumu masih ada, dia pasti akan bangga melihatmu sekarang ini. Papa senang kau bergaul dengan Tommy. Pemuda itu banyak memberikan dampak positif padamu."

Andin tersenyum sambil menahan haru. "Baiklah, aku ke kamar dulu ya, Pa. Aku ingin mandi dan siap-siap untuk makan malam."

Ferry mengangguk dan Andin pun segera bergerak meninggalkan papanya yang masih terus duduk di sofa sambil menatapnya menaiki tangga lingkar menuju kamar di lantar atas.

Dengan mata yang masih melihat Andin, Ferry berkata, "Aku harus bicara dengan Charles dan Lisa sepecepatnya. Aku harus membicarakan perjodohan ini sebelum Andin berubah pikiran."

Continued___

avataravatar
Next chapter