1 Bab 1. Memendam Rasa.

Tommy Fabian adalah pria bertubuh tinggi dengan rambut gelap. Mata abu-abunya yang indah mampu membuat hati wanita mana saja meleleh termasuk Andin.

Sekarang Tommy dalam perjalanan menuju sekolah untuk menjemput Andin. Mereka bersahabat sejak SD. Saking akrabnya, ke mana pun mereka pergi selalu bersama termasuk menjemput Andin pulang sekolah. Tommy selalu menawarkan diri untuk menjemput gadis yang usianya tiga tahun lebih muda darinya. Orangtua mereka juga sangat dekat baik dalam lingkungan sehari-hari maupun pekerjaan.

Tak berapa lama Tommy sampai di depan sekolah FB High School. Ia menepikan mobil dengan tatapan yang mengarah ke seberang jalan. Bibirnya membentuk seringai tipis saat melihat sosok gadis ber-rambut panjang lurus sedang berdiri di depan gerbang sekolah. Awalnya gadis itu tidak melihat Tommy, tapi setelah ia menurunkan kaca mobil, si gadis melihatnya dan langsung tersenyum lebar. Dia berlari menuju mobil.

Bug!

Dipukulnya lengan Tommy. Pemuda itu mengerang pelan, berpura-pura sakit. "Kenapa kau lama sekali? Aku sudah menunggumu sekitar setengah jam," kata si gadis yang tak lain adalah Andin. Ia kesal, tapi matanya yang berwarna sama dengan Tommy itu berikilat penuh bahagia.

"Maafkan aku, tadi aku ke kantor papi dulu mengartarkan berkas yang ketinggalan. Maaf, ya?"

Mendengar hal itu pun Andin langsung tersenyum. "Aku hanya bercanda. Tidak mungkinlah aku marah padamu." Toh aku suka kamu, katanya dalam hati.

Tommy tersenyum dan menyalakan kembali mesin mobilnya. Ketika Tommy sudah menjalankan mobil Andin berkata, "Tom, kita jalan-jalan dulu, ya? Aku belum mau pulang ke rumah."

Tommy meliriknya. "Kita mau ke mana?"

Andin tampak berpikir. "Bagaimana kalau ke puncak?"

"Puncak?" ulang Tommy. Andin mengangguk. Lelaki yang berusia tujuh belas tahun itu masih mengenakan seragam sekolah, putih abu-abu. Ekpresinya berubah khawatir saat melihat jam di tangannya menunjukan pukul tiga sore. "Ini sudah sore, Andin." Tommy menatap langit sambil memelankan laju mobil. "Sepertinya juga akan turun hujan." Ia melirik Andin. "Kau yakin mau ke puncak?" Wajah Andin cemberut menatap Tommy. Lekaki yang selalu bersikap lembut itu pun tak mampu melihatnya, ia nyaris terbahak melihat mimik wajah Andin yang menggemaskan. "Baiklah, kita ke puncak."

Andin bersorak. "Serius?" Tommy mengangguk. "Oh, Tommy, kau memang sahabatku yang paling baik." Ia menarik sebelah tangan Tommy dan memeluknya. Pemuda itu terkekeh dengan wajah merah padam, tapi Andin tak melihatnya.

Selama perjalanan Tommy dan Andin membahas soal sekolah. Andin yang masih duduk di kelas tiga SMP itu bertanya pada Tommy apa saja yang harus dilakukan ketika masuk SMU nanti.

Guyonan itu membuat mereka tak rasa sudah tiba di sebuah lakosi yang dulunya tempat pariwisata. Tempat itu cukup terkenal di pulau Sulawesi. Lokasi itu di penuhi pohon besar di sekelilingnya. Tanaman tropis tumbuh dari area parkir hingga ke jalan menuju pondok yang terletak di atas puncak. Wangi bunga honeysuckle meruap di mana-mana. Udara di pegunungan itu bersih dan segar, tapi sayang sudah tidak difungsikan lagi.

Lokasi itu dulunya sangat terkenal, beberapa pelancong dari luar kota sering berkunjung. Tapi beberapa tahun lalu tempat itu terkena longsor akibat hujan yang tak henti-hentinya siang-malam dan menyebabkan beberapa pondok di sana rusak hingga tanah menjadi rata.

Pemilik lahan itu sempat memberbaikinya, tapi pengunjung sudah tak ramai seperti dulu. Dia putus asa dan akhirnya menutup tempat itu. Tapi meski sudah tidak difungsikan lagi, lokasi itu masih terawat. Pemiliknya menugaskan seseorang untuk selalu membersihkan tempat itu.

Tommy memarkirkan mobil sedannya di tanah kosong yang dulunya berfungsi sebagai tempat parkir untuk para pelancong. Andin membuka pintu dan langsung berjalan menaiki puncak menuju pondok di bawah pohon besar yang tak jauh dari tempat Tommy memarkirkan mobilnya. Gadis yang masih mengenakan seragam putih-biru itu menoleh menatap Tommy yang baru saja ke luar dari dalam mobil. Ia tersenyum manis, tapi Tommy tidak memperhatikannya. Ia senang karena Tommy mau menuruti kemauannya.

Pemuda itu sibuk dengan ponselnya saat berjalan gontai mengikuti Andin. Dimasukannya lagi ponsel itu ke dalam saku celana setelah pesan singkat yang dikirim untuk ibunya telah berhasil. Ia menoleh menatap Andin, "Andin!" Gadis itu hilang. Tommy segera berlari menaiki jalan yang sedikit bergunung. "Andin!" teriak Tommy ketika melihat area itu kosong. Andin tidak ada. Matanya jelalatan sambil memanggil-manggil.

Andin yang sengaja bersembunyi pun akhirnya muncul. "Aku di sini!" teriaknya dari dalam pondok. Senyumnya melebar dan mengodekan tangan kepada Tommy agar menghampirinya.

Pemuda itu menurut. Didorongnya pintu pondok yang bahannya dari papan. Dindingnya dari kayu kelapa, atapnya genteng berwarna merah, dalamnya kosong.

Mata Tommy mendapati Andin berdiri di depan jendela. Keisengannya untuk mengerjai Andin pun muncul dalam benaknya. Ia mendekati Andin sambil berjalan pelan. Bahan lantai dari kayu kelapa membuat langkah-langkah Tommy tak bisa didengar. Tubuhnya semakin dekat, dekat dan...

Zet!

Tommy memeluk Andin dari belakang. Gadis itu terkejut. "Tommy!" Ia memberontak agar Tommy melepaskan pelukannya. "Kau mengagetkanku."

Tommy terkekeh. Bukannya melepaskan pelukannya, tapi Tommy semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Andin. Ada rasa nyaman dalam hatinya saat memeluk gadis itu. "Kenapa kau mengerjaiku, hah? Kenapa kau bersembunyi?" bisik Tommy sambil membungkuk, menempelkan dagunya di bahu Andin. Tatapan mereka sama; ke pemandangan di bawah puncak.

Andin gugup. Jantungnya berdetak cepat. Ia tergagap. "A-aku hanya becanda."

Tommy yang menyadari kegugupan Andin semakin jahil. Dipelukanya tubuh Andin semakin erat dan gadis itu sama sekali tidak melarangnya.

Andin memang sudah menyukai Tommy sejak tahun lalu. Saat itu ia sedang mengadakan acara ulang tahunnya yang ke-13 tahun, tepatnya tahun lalu. Dandanan Tommy saat itu sangat rapi dan tampan. Celana jins dan kemeja yang pas di badannya membuat Tommy terlihat dewasa dan Andin jatuh cinta. Namun demi persahabatan mereka, Andin memilih untuk memendam perasaan itu sampai waktunya tiba. Toh mana mungkin juga Tommy suka padaku, pikirnya waktu itu.

Tommy yang tangannya masih melingkar di perut menundukan kepalanya menatap Andin dari samping. Andin spontan mendongak, sehingga mereka bertatapan. Andin menatap mata indah Tommy tanpa berkedip. Meski hatinya berteriak-teriak senang, tapi sorot matanya tidak sama sekali menunjukan ketertarikan.

Tommy yang juga memiliki perasaan sama sangat yakin jika Andin menyukainya. Sikap Andin yang tak menolak saat dipelukanya membuat Tommy dengan perlahan menunduk dan merapatkan wajahnya ke wajah Andin. Gadis itu terus diam sambil menatap.

Meski sudah sering kali mendapat perlakuan seperti ini, Andin berkeras tidak akan mengutarakan perasaannya. Ia tidak ingin hanya karena kejujurannya itu Tommy menjauhinya.

Persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak delapan tahun lalu itu membuat Andin yakin bahwa sikap Tommy yang sekarang hanyalah sikap sebagai seorang sahabat remaja. Perlakuan Tommy memang beda dengan yang dulu. Tapi itu mungkin karena dia sudah dewasa. Dia bukanlah Tommy kecil yang dikenalnya dulu. Tommy sekarang adalah Tommy remaja yang penuh perhatian terhadap sahabatnya.

Bersama Tommy setiap hari saja sudah cukup bagi Andin, tak perlu mengutarakan perasaannya pun Tommy selalu menuruti kemauannya. Tapi jika memendam perasaannya saja sudah membuatnya sebahagia itu, apalagi kalau pemuda itu tahu. "Tidak, tidak! Tommy tidak boleh tahu," batinnya. Ia takut jika Tommy sebenarnya tidak suka padanya dan menolak lagi untuk bersahabat. Tidak! Itu tidak boleh terjadi. "Aku rela memendam rasa asalakan Tommy terus bersamaku," pikir Andin.

Sikap aslinya Tommy adalah sosok yang lembut dan penurut. Tapi sejak tahun lalu__ saat melihat Andin menghadiri acara ulang tahunnya yang ke-tujuh belas tahun__ sikap Tommy berubah, ia menyukai Andin. Malam itu Andin tampak berbeda dari sebelumnya. Gadis itu mengenakan terusan hitam layaknya gadis-gadis dewasa. Wajahnya yang cantik dengan paduan makeup natural membuat Andin terlihat begitu berkelas. Tubuh tinggi dan tegas membuat Tommy melihatnya bukan seperti sahabat atau anak SMP yang selalu mengekor di mana pun ia pergi, tapi ia melihat Andin malam itu seperti gadis cantik yang fisik dan sikapnya adalah tipe andalan Tommy. Saat itulah ia jatuh cinta.

Dan meski setiap hari bertemu Andin, Tommy harus kuat menahan perasaan itu sampai waktunya tiba dan mengutarakannya pada gadis itu. Saat ini ia sangat menikmati kebersamaan mereka, ia tak ingin bersikap impulsif. Ia tidak mau karena kecerobohan akhirnya mengorbankan persahabatan mereka.

Jadi, menyembunyikan perasaan mereka masing-masing adalah hal yang baik untuk saat ini. Sebelumnya mereka saling terbuka satu sama lain, baik urusan sekolah maupun di rumah. Tidak pernah ada yang mereka sembunyikan baik dari pihak Tommy maupun Andin. Tapi entah kenapa saat ini mereka memilih tidak saling jujur, padahal masing-masing sudah menunjukkan ketertarikan satu sama lain.

Tommy yang usianya lebih tua dari Andin sangat tahu gerak-gerik gadis itu. Sikap Andin yang kadang spontan memeluknya membuat Tommy yakin bahwa wanita itu menyukainya. Tapi Tommy ingin lebih meyakinkannya, ia ingin mendengarkannya langsung dari bibir Andin bahwa gadis itu benar-benar menyukainya.

Mungkin dengan cara ini Andin akan berkata jujur. Tommy mendekatkan wajahnya ke wajah Andin, membuat gadis memejamkan mata. Wajahnya semakin dekat... dekat dan...

Cup!

Kecupan intens itu membuat Andin terkejut. Matanya terbuka. Dilihatnya wajah Tommy yang sedang tersenyum lebar. Ia tertegun menatap Tommy.

Mata yang tadinya di bibir Tommy kini beralih ke mata pemuda itu, tatapannya lama sebelum akhirnya kembali ke bibir Tommy. Bukannya marah karena Tommy menciumnya, Andin justru menarik tengkuk Tommy dan memagut bibirnya.

Mereka berpelukan dan berciuman. Bibir Tommy dengan lembut melumat bibir Andin. Gadis itu pun dengan lembut membalas setiap sapuan bibir Tommy yang begitu lama diidamkannya.

Tak ingin gairah semakin bergolak dalam dirinya, Andin segera melepaskan bibir Tommy. Ia melepaskan pelukannya dan menjahui tubuh pemuda itu.

Tommy yang melihatnya pun ternganga, napasnya terengah-engah. Ada rasa kecewa dalam dirinya karena Andin membelakanginya.

Continued___

avataravatar
Next chapter