webnovel

Hutan Terlarang dan Pria Misterius

Tak terasa dua bulan sudah Rhea tinggal sekaligus bekerja di desa tersebut. Sejauh ini tidak ada hal yang membuatnya merasa kesulitan. Ternyata tinggal di desa tak seburuk yang dibayangkan.

"Eh, eh ibu-ibu, denger-denger anaknya Bu Sita menghilang. Tiga hari belum kembali." Seorang wanita paruh baya tiba-tiba datang dan mengatakan hal yang membuat yang lain terkejut, termasuk Rhea.

"Oh ya? Anaknya Bu Sita kan masih kecil, tidak mungkin dia kabur karena tidak dibelikan jajan bukan?" Ada nada geli pada perkataan wanita bersurai pendek tersebut. Ia yang tadinya hendak memilih sayur mayur terhenti.

"Jangan-jangan anaknya Bu Sita masuk ke dalam hutan terlarang itu." Kini giliran wanita yang satunya ikut berkomentar.

"Mungkin saja. Anak itu kan cukup bandel dan susah dinasehati. Selalu saja menangis dan merengek bila tidak dituruti kemauannya." Penjual sayur yang sedari tadi hanya mendengarkan pun ikut bersuara.

Rhea merasa tak asing dengan perkataan mengenai hutan terlarang. "Sepertinya aku pernah mendengar hutan terlarang, tapi di mana dan kapan?" batin Rhea mencoba mengingat-ngingat.

Memorinya terlempar kekejadian dua bulan lalu saaat dirinya baru saja tiba. Ia kini mengingat jelas bagaimana wanita yang bernama Sita itu menakut-nakuti anaknya dengan mengatakan tentang hutan terlarang.

"Maaf menyela pembicaraan kalian, tapi hutan terlarang itu apa ya?"

Para wanita tadi serentak mengalihkan atensi mereka pada Rhea. "Oiya, kamu anak kota itu kan? Yang kerja di rumah makan Bu Wina."

Rhea mengangguk. "Benar."

"Ohh, pantes. Begini Nak, di desa kami ini terdapat hutan yang sangat amat dilarang untuk dimasuki. Kami menyebutnya hutan terlarang. Banyak orang yang masuk ke sana dan tidak pernah kembali lagi."

"Menurut cerita yang beredar, di sana ada roh jahat yang menghuni hutan. Roh itu dulunya adalah korban pembunuhan yang mayatnya ditemukan di hutan itu. Bukan cuma satu roh, katanya banyak roh jahat yang bergentayangan di sana." Sang penjual sayur ikut menimpali.

Mendengar hal itu rasanya Rhea tak percaya. Ya selama tak melihat dengan mata kepalanya sendiri, berarti belum tentu benar bukan?

"Oh, ya? Memangnya ada hal seperti itu ya di zaman modern begini?"

Si wanita pembawa berita tadi mendengkus. "Kamu kan anak kota. Mana percaya dengan hal-hal berbau mistis. Ya terserah saja kalau tidak percaya, tapi meski begitu jangan sekali-kali mencoba ke sana."

"Memangnya tidak pernah ada yang ke sana dan kembali satu pun?"

"Ada, tapi bisa dihitung dengan jari. Tapi yang jelas menurut kesaksian orang yang selamat, hawa hutan itu memang menyeramkan. Lain dari pada yag lain. Aku yakin itu adalah energi negatif dari roh jahat." Wanita tadi kembali memasukkan sayuran ke dalam kantong kresek kemudian berujar pada tukang sayur, "Jadi berapa?"

*****

"Yang benar saja? Hutan terlarang? Roh halus? Bagiku bukan terdengar nyata, tapi malah seperti cerita dongeng bertema mistis. Sangat mainstream." Sepanjang ia memasak dan makan, pikirannya tertuju pada pembicaraan tadi pagi dengan para ibu-ibu.

Entah kenapa Rhea menjadi penasaran dan tertantang untuk membuktikannya. Sebuah ide yang cukup gila seketika menghampiri pikirannya.

"Kalau ingin tahu, aku harus ke sana. Ya, mungkin aku akan ke sana." Rhea mengambil jaket dan segera pergi.

Melihat sekeliling, tak ingin ada orang yang memergokinya. Bisa diamuk sekampung. Secara ia kan hanya orang asing ngeyel yang mencoba membuktikan kebenaran.

Rhea segera bersembunyi di balik pohon saat melihat ada dua orang wanita di jalan. Oh ayolah, ia sudah seperti tahanan yang akan kabur dari penjara. Rhea segera mempercepat langkah saat tak ada satu orang pun di jalanan.

Tak berapa lama sampailah Rhea di tempat yang dimaksud. Hutan tersebut kini tepat berada di hadapannya. Tampak lebat dan banyak semak-semak.

Udara terasa lebih dingin dan lembab. Mendadak ia ragu.

"Bagaimana kalau yang dikatakan wanita itu benar?" Rhea menggeleng cepat. "Ah, kenapa aku malah jadi ikutan percaya dengan cerita bak dongeng itu? Ayo Rhea masuk dan buktikan."

Melangkah masuk ke dalam hutan, Memandang ke sekeliling. "Oiya, kenapa aku baru ingat, mungkin saja ada hewan buas, tapi sepertinya tidak. Sudah terlanjur masuk." Ia mendengar gemericik air. Rhea menuju sumber suara.

Melihat-lihat lagi ke sekeliling. Semua tampak normal, seperti hutan lebat lainnya. Langkah kakinya terhenti.

Di tepi sungai terdapat tubuh manusia, tebih tepatnya tubuh seorang pria. Tanpa pikir panjang Rhea menghampiri.

Menepuk pelan pundak sang pria yang membelakanginya. Siapa tahu hanya tidur. "Apa dia pingsan?" Dicelupkannya tangan Rhea, memercikkan pelan pada orang tadi. "Ayo bangun," gumamnya.

Beberapa kali percikan sudah ada tanda-tanda akan sadar. Rhea baru menyadari kalau orang asing itu sangatlah tampan seperti artis-artis, bahkan lebih.

"Bisa-bisanya aku malah memikirkan hal itu untuk saat ini."

Mata pria tadi terbuka secara perlahan. Ia sempat menutup mata dan membuka lagi, menyesuaikan cahaya yang masuk. Dilihatnya seorang wanita.

Terduduk dengan isi pikiran bertanya-tanya. Siapakah wanita di hadapannya ini? Dan bagaimana dirinya bisa berakhir di hutan. Rasa sakit seketika menghantam kepala, ia meringis. "Shhh."

"Kamu baik- baik saja?" Rhea memberanikan diri untuk bertanya.

"Siapa kamu? Dan di mana aku ini?"

"Aku ...," Rhea tak tahu harus berkata apa, "Aku sedang lewat sini dan kebetulan melihatmu tergeletak pingsan."

Beberapa sat terjad keheningan. Rhea mengamati sang pria yang sesekali tampak meringis kesakitan, sedangkan pria misterius itu mencoba mengingat sesuatu. Ia tersentak dan sontak berdiri begitu pun Rhea.

Tubuhnya sedikit oleng. "Kamu sepertinya kurang sehat. Sebaiknya istirahat."

"Istirahat di tepi sungai bukanlah opsi yang tepat."

"Kalau begitu ikutlah denganku." Ia segera menyadari ucapannya. "Maksudku, kamu terluka." Cepat-cepat dilarat, tak ingin membuat si pria berspekulasi yang tidak-tidak.

*****

Rhea membantu pria misterius itu hingga duduk dengan benar. Cepat-cepat menutup pintu sebelum yang lain melihat.

Diam-diam mmebawa seorang pria ke dalam tempat tinggalnya bukanlah suatu yang bagus, jika warga desa melihatnya habis sudah.

"Minumlah."

Pria tersebut meneguk habis ar minum itu. "Terima kasih."

"Sepertinya kamu harus pergi ke puskesmas. Kakimu terluka." Ia melihat luka cukup besar pada pada kaki sang pria.

"Tidak perlu. Aku hanya butuh beritirahat sebentar. Apa kamu punya kotak obat."

"Iya. Tuggu sebentar." Rhea mencari keberadaan benda tersebut. "Ini."

Langsung diterima. Igin membantu tapi sungkan. Pria tersebut pun malah mengobati dirinya sendiri, tak butuh bantuan. "Ngomong-ngomong, siapa namamu?" tanya nya.

"Rhea."

"Aku David."

"Ngomong-gomong, apa yang kamu lakukan di hutan itu hingga terluka dan pingsan begitu?" David menatap Rhea, kemudian membuang pandangannya. Rhea meringis, merasa bahwa dirinya sok akrab. "Maaf, aku bukan bermaksud apa-apa."

"Aku sedang berburu."

"Berburu? Berburu sampai terluka? Kudengar dari warga desa kalau hutan itu terlarang bagi siapa saja untuk masuk."

"Begitukah? Aku tidak tahu. Boleh aku bertanya?"

Rhea mengangguk. "Tentu."

"Kenapa kamu masuk ke dalam hutan sedangkan sudah tahu kalau itu terlarang?"

Sakmat. Rhea terdiam. "Itu, akk-ku ...."