webnovel

DUA PULUH: BULAN MADU

'Sempurna,' batinku menatap pantulan diriku di depan kaca. Pagi ini, aku menggenakan kaos polo berkerah di balik sweeter kuningku dengan celana jeans berwarna coklat tua. Di dekatku, Chika sedang menutup koper kami berdua dan meletakannya dengan rapi. Ia berdiri dari tempatnya, menepuk celananya yang agak berdebu karena tadi ia berlutut di atas karpet saat memasukan pakaian. Chika terlihat sempurna walau hanya menggenakan kaos putih polos berlengan pendek dipadu dengan celana kulit berwarna hijau gelap, rambut panjangnya ia kepang menjadi satu yang ia taruh di samping bahunya.

Aku berjalan mendekat ke arahnya yang saat ini sedang tersenyum menatapku. Aku meraih tangan dan pinggulnya mendekat padaku agar aku dapat melihat kecantikannya dan mencium aroma tubuhnya yang membuatku kecanduan. Aku meraih helaian rambut depannya yang menutupi sebelah matanya dan mengaitkan di belakang daun telinganya. Tangan bebas Chika masuk meraih belakang punggungku.

"Sebenarnya kita mau kemana, pagi-pagi sudah berkemas? Kita tidak berangkat kerja?" tanyanya yang masih tidak paham, karena aku masih belum memberitahu rencanaku padanya. Aku memberikan senyuman terbaikku dan mencium singkat bibir mungilnya yang ada tepat di hadapanku.

"Aku ingin membawamu ke tempat spesial dan aku sudah meminta Rekka mengurus cuti kita berdua." Aku mengusap puncak kepalanya dan mengecup pelan dahinya, "Ayo kita berangkat," ajakku. Aku melepaskan tanganku dari Chika dan meraih dua koper besar yang tadi sudah ia siapkan untuk aku taruh keluar kamar.

Di luar kamar, aku membiarkan Fajri yang berdiri di dekat tangga, mengambil kedua koper kami. Aku menggengam tangan Chika keluar dari penthouse dan langsung masuk ke mobil yang telah terparkir. Setelah Fajri, memasukan koper ke dalam bagasi, ia pun langsung mengantarkan kami ke bandara. Disana kita dipandu oleh petugas bandara dan langsung mengantarkan kami ke pesawat jet pribadi perusahan yang jarang aku gunakan. Karena aku tidak suka berpergian sendiri dalam kesunyian, tapi untuk kali ini aku hanya ingin menghabiskan waktuku berdua dengan Chika tanpa gangguan orang lain, baik itu pramugari atau lainnya.

Dalam waktu kurang dari dua jam, kami sudah mendarat di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Chika masih tidak mengenali daerah sekitarnya. Sebelum ia menyadari, aku mengajaknya masuk ke dalam mobil yang sudah tersedia di luar. Kami pun melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Selama perjalanan pun, Chika masih bertanya tujuan kami. Aku hanya memberinya seringaian di wajahku, menarik tubuhnya agar dapat kudekap erat.

"Istirahatlah, perjalanan kita masih panjang," bisikku tepat di depan telinganya. Ia mendongakan kepala menatap langsung manik mataku dengan tatapan memohon agar memberitahunya. Dengan semua pendirianku, aku membalas tatapannya dengan ciuman dalam pada bibir manisnya dan mendekapnya kembali di dadaku. Aku bisa merasakan helaan napasnya di leherku karena rasa kecewa yang tidak mendapat jawaban dariku. Aku hanya bisa tersenyum tipis saat Chika mulai terlelap dalam pelukanku.

Sekitar tiga jam lamanya, mobil pun berhenti tepat pada jalanan kecil di depan rumah yang sudah lama menunggu penghuni sebenarnya pulang. Tidak ingin membangunkan tidur pulasnya, Aku memopong tubuh Chika pada kedua lenganku. Secara hati-hati, aku berjalan masuk ke dalam rumah di bantu supir yang mengantarkan kami. Aku meletakannya di atas ranjang queen size yang muat di dalam kamar kami berdua. Aku menarik selimut menutupi tubuhnya dan menyalakan air conditioner yang aku pasang lima tahun lalu setelah memperbaiki segalanya. Aku keluar kamar, mendapati supir kami membawa koper. Aku menyuruh supir tadi meletakan koper kami di depan pintu kamar dan memintanya untuk mengeluarkan kapal pesiar yacht yang pernah aku beli khusus saat aku berlibur di sini tiga tahun lalu.

Sepergiannya, Aku masuk kembali ke dalam kamar sambil menenteng kedua koper di tanganku. Aku meletakan kedua koper itu tepat di depan lemari kayu yang sudah setia ada di sana dan sengaja tidak aku pindahkan. Bahkan beberapa barang di tempat ini tidak aku pindahkan, hanya sedikit perbaikan dan penambahan kamar mandi dan barang elektronik, secara tiga tahun lalu desa ini sudah mendapat aliran listrik. Rencana liburanku saat ini adalah menghabiskan waktu berdua di pantai lunci di rumah almarhum kakek Jono yang sudah aku beli kepemilikan tanahnya beserta beberapa wilayah disini; seperti 300 are perkebunan kelapa sawit, yang mana pembagian hasilnya 40% warga sekitar maupun pekerja dan 60% untukku, dan juga delapan rumah warga yang mereka jual padaku.

Aku menatap wajah tidur Chika yang begitu damai membuat hatiku tenang. aku berjalan mendekat ke sisinya, naik di atas ranjang dan ikut merebahkan badanku. Aku masih benar-benar merasa ini semua mimpi melihat Chika ku tertidur di sampingku. Aku mendekatkan wajahku di depannya dan mencium lembut bibirnya yang selalu aku lakukan dalam tidurnya dengan aromanya yang semerba.

Shit makiku saat adik kecilku mulai bangun di bawah sana. Aku melepaskan ciumanku padanya yang masih tertidur dan berdiri turun dari ranjang. Aku pun segera keluar kamar untuk menenangkan diri, karena aku tidak ingin merusak momenku gara-gara libido yang meningkat.

Tok … tok … suara pintu depan yang diketuk terdengar olehku. Aku segera berjalan membukakan pintu. Tampak seorang wanita setengah baya yang tersenyum melihatku. Aku terdiam mengingat wajah familiarnya.

"Nak Surya?" sapanya. Aku mengangguk pelan dengan senyum mengembang di wajahku. Wanita itu yang lebih enak disebut ibu-ibu langsung memelukku erat sejenak dan melepaskannya.

"Astaga, nak Surya sudah lama sekali kamu tidak kesini? Tadi ibu lihat ada mobil dari depan rumah ini. penasaran ibu coba tengok dan mendapati nak Surya disini. apa kabarnya nak?" ucap ibu itu tanpa berhenti sambil memukul pundakku cepat dan berhasil membuatku meringis. Aku ingat sekarang, ibu-ibu cerewet nan bawel namun baik hati yang tak lain bi Suarti, tetangga sebelah yang selalu memasakan makanan untuk Chika saat kak Jono pergi bekerja pagi-pagi.

"Ya. Surya baik-baik saja bi," jawabku. Sebagai informasi, sebagian warga disini masih memanggilku Surya bukan Leonardo Kandou, meski aku sudah memperkenalkan namaku pada mereka. Mereka bilang, mereka lebih nyaman memanggil Surya dari pada Leonardo, begitu juga dengan Chika. Setelah ia menerimaku, ia meminta izinku untuk memanggilku Surya bukan Leo. Alasannya nama Leo terdengar asing dan imagenya seperti orang lain baginya. Dalam benaknya yang sudah tertanam, seorang Leonardo Kandou adalah atasannya penggila pesta dan pria cassanova yang ia kenal dari mulut wanita di sekitarnya, bukan Surya yang ia kenal. Aku membiarkannya memanggil apapun selama ia nyaman dan tetap di sisiku.

"Nak Surya kemari dengan siapa? Sepertinya tadi pak Sukri membawa dua koper. Apa nak Surya kemari dengan istrinya?" tanyanya lagi dengan senyuman menggoda ala ibu-ibu gosip.

"Begitulah," jawabku dengan senyumanku yang mengembang. "Saya kemari dengan istri saya tercinta, Chika," lanjutku.

Bi Suarti terdiam, seakan mencerna kalimat yang keluar dari mulutku. Wajah bingungnya kali ini berubah menjadi wajah kaget tidak percaya. Kedua tangan gempalnya menutupi mulutnya yang terbuka.

"Chika. Maksudnya Chika cucu kakek Jono?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk dengan senyuman.

"Demi tuhan. Demi tuhan, ini berita paling menggembirakan. Nak Surya berhasil menemukan Chika? Boleh ibu bertemu dengannya? Ibu sangat merindukannya?"

"Sst…" sanggahku akan pertanyaanya yang bertubi-tubi sambil menaruh jari telunjukku di depan bibirku. "Chika sedang tidur. Kami tadi berangkat saat subuh kemari."

Bi Suarti yang mengerti betapa jauhnya perjalanan kemari menganggukkan kepala sambil menutup mulutnya kembali.

"Bi, bisa minta tolong?" pintaku, "apa sepeda milik pak Timan ada di rumah?"

"Ada. Tadi pagi pak Timan pergi ke kebun naik motor."

"Boleh saya pinjam?" izinku. Aku ingin berkeliling desa dengan Chika naik sepeda seperti dulu.

"Tentu saja. Ayo kerumah Ibu," ajaknya. Aku pun mengiyakan setelah berganti baju dulu, karena badanku mulai berkeringat di balik sweater kuning yang aku pakai.

Setelah berpamitan dengan bi Suarti di rumahnya, aku mengayuh sepeda tua yang terawat dengan baik kembali rumah. Suara decitan rem yang ku tarik terdengar lumayan nyaring saat aku menghentikan sepeda di depan rumah. Suara derapan terdengar dari dalam, Chika muncul dengan wajah tercengangnya dan mendapatiku berdiri di samping sepeda yang aku berdirikan di depan rumah. Chika menghampiriku dengan lari kecilnya dan meloncat untuk memelukku.

"Good afternoon, babe," sapaku di depan telinganya.

"Ini bukan mimpi? Aku ada di rumah kakek?" tanyanya setelah ia melepas pelukannya dan menatap langsung ke arahku.

"Nope, kamu tidak bermimpi sayang," jawabku sembali mengecup dahinya. "Seperti yang aku bilang tadi pagi, aku membawamu ke tempat spesial." Aku tersenyum menampakan gigi rataku padanya.

Ia memelukku kembali dan menenggelamkan wajahnya di pundakku. Suara isakkan mulai terdengar dan air matanya mulai membasahi kaos merah jambu yang ku kenakan. Aku mengelus lembut kepalanya.

"Te … terima kasih," isaknya. Aku melepas pelukanku, mencangkup wajahnya. dengan pipinya yang basah akan air mata. Aku mengusap air mata itu dengan ibu jariku dan mencium pipinya bergantian.

"Jangan menangis, sayang. Jangan membuatku merasa bersalah karena membuatmu menangis."

Chika menggelengkan kepalanya cepat.

"Kak Surya tidak berbuat salah." Ia memberikan senyuman terbaiknya padaku, "Aku suka kak Surya," lanjutnya sambil mencium singkat bibirku, seakan sifat agresifnya yang dulu muncul kembali.

"Aku mencintaimu, Chika." Aku meraih tengkuknya dan mendekatkan kepalanya kembali kepadaku. Aku mencium dalam bibirnya yang manis dan melumatnya pelan. Ia membalasnya. Aku segera melepaskan ciumanku ketika napasnya terasa tersenggal. Aku menaruh dahiku padanya dan menatap lurus iris mata hitamnya.

"Apa kamu mau bersepeda denganku?" pintaku. Senyuman merekah di bibir mungilnya. Ia pun segera mengangguk cepat. Aku menarik tangannya masuk ke dalam untuk mengambil dua kaca mata hitam untuknya dan untukku. Ia segera mencari sandalnya di dalam koper. Saat ia menemukan sandal merah jambunya, ia segera memakainya. Aku memasang kaca mata hitam padanya.

"Ayo!" ajakku yang menariknya kembali keluar rumah. Kami pun segera menaiki sepeda yang kupinjam tadi. Kami kembali menyusuri jalanan desa, naik ke jalanan menanjak dan memasuki perkebunan kelapa sawit. Sama seperti delapan tahun lalu, jalanan yang sama, teriakan Chika mulai terdengar setiap kali kita melewati jalan berlubang dan tawa bahagianya ketika aku mempercepat ayuhan sepedaku.

Kali ini jalanan menuju pantai dapat di lewati dengan mudah, tidak seperti dulu yang harus melewati semak-semak, aku mengayuh sepedaku menuju pantai. Aku segera menurunkan kaki panjangku untuk menghentikan sepeda, pasalnya rem belakang tidak berfungsi. Sepeda berhenti dengan mulus. Chika langsung loncat turun dari sepeda, melepas sandalnya begitu saja dan berlari mengejar ombak. Aku hanya bisa menggelengkan kepalanya yang terlihat seperti anak remaja saat ke pantai.

Chika yang berteriak dan tertawa di bibir pantai berhasil membuatku menyinggungkan senyum. Aku mengambil sandalnya yang berserakan, menaruh di pinggiran batu tempat sepeda yang aku berdirikan disana. Aku pun berjalan menghampiri Chika dan menangkap tubuhnya ketika ia hampir tersungkur karena kakinya sendiri.

"Hati-hati, Chika." Aku menegakan tubuhnya hingga ia berdiri menghadapku. Ia pun mulai tertawa dengan suara renyahnya yang kurindukan. Kedua tangannya melingkar di leherku, ia sedikit berjinjit dan mencium bibirku singkat.

"Terima kasih, kak Surya," ucapnya sembari melepaskanku. Ia pun mulai berjongkok dan mengeruk pasir basah dengan tangan telanjangnya seakan ia menggali sesuatu. Aku pun ikut berjongkok di sampingnya dan menatap lekat dirinya yang sedang sibuk sendiri. Tak berapa lama senyuman lebar muncul dan menampakan gigi kelincinya.

"Seperti yang kuduga, kamu pasti bersembunyi di sekitar sini," bisiknya pada sesuatu di hadapannya. Tangan mungilnya masuk ke dalam lubang yang ia buat dan menangkap sesuatu dari dalam sana, sebuah kerang pink berkilaua pelangi.

"Aku menemukannya lagi!" serunya lantang menghadapku sambil menunjukkan hasil temuannya. Aku mengambil kerang tersebut dari tangannya dan membalas senyumannya.

"Kerang yang cantik," pujiku.

Dooong ... sebuah suara terdengar begitu nyaring. Chika berdiri dari tempatnya dan menoleh ke samping. Ia mendapati kapal pesiar yacht dengan gagahnya mengapung di dekat dermaga baru di ujung pantai tak jauh dari tempat kami.

"Kapal siapa itu?" tanyanya dengan ekspresi bingung. Aku hanya bisa tersenyum dan menggengam tangannya.

"Tentu saja kapal kita sudah siap berlayar?" seruku. Chika membelalakan matanya kepadaku, membalikan badannya dan berjalan menuju sepeda yang ku sandarkan di dekat batu.

"Mau kemana?" tanyaku sambil menggapai lengannya. Ia berhenti, mengambil napas dalam dan membalikan badannya ke arahku.

"Aku mau pulang. Aku tidak mau … berlayar," jawabnya dengan suara bergetar. Aku mencakup wajahnya agar mendongak ke atas menghadapku. Aku membaca ekspresi wajahnya yang terlihat ketakutan.

"Kamu takut?"

"Aku tidak mau naik kapal," senggahnya menatap lurus iris mataku, bulir air mata mulai jatuh dari sudut matanya. "Aku tidak ingin berlayar," lanjutnya dengan memberiku senyumannya yang terpaksa.

Aku menghapus air mata yang jatuh di pipinya dan mengelus pelan wajah cantiknya.

"Apa kamu takut?" tanyaku kembali yang kali ini mendapat anggukan pelan darinya. Aku pun memeluk tubuhnya, "jangan takut, Chika. Semua akan baik-baik saja. Ada aku di sampingmu nanti."

"Tapi, Aku masih tidak bisa melupakan kejadian waktu itu …"

"Kalau begitu jangan dilupakan. Apa kamu ingin melupakan kakek Jono?" Chika menjawab pertanyaanku dengan gelengan pelan dalam pelukku. Aku melepas pelukanku dan mencangkup kembali wajahnya dan membungkukan badanku sedikit kepadanya.

"Aku ingin menunjukan sesuatu kepadamu; pemandangan indah yang kakek Jono lihat terakhir kali dan ucapan terakhir kakek saat berlayar bersama pak Rusdi." Chika diam menatapku dengan tatapan kosong, "apa kamu percaya padaku, Chika?" Ia masih diam dalam lamunannya, "aku berjanji akan ada di sampingmu apapun terjadi dan tidak akan membuatmu merasa takut ataupun sedih," bisikku sambil mencium singkat bibir merahnya.

Chika mengerjapkan matanya pelan dan mengangguk ragu. Aku mengulas senyum di sudut bibirku sambil mengusap lembut kepalanya.

"Ayo!" ajaku. Aku mengambil sepeda dan menunggunya untuk naik di belakangku. Ia menatapku sejenak dengan menelan ludahnya, memakai kembali sandalnya dan naik di belakangku secara perlahan. "Apa kamu siap?" tanyaku.

Tanpa mendapat jawaban, Chika melingkarkan tangannya ke perutku dengan erat. Aku mulai mengayuh sepeda ontel itu dan menyusuri bibir pantai menuju dermaga kayu yang aku ajukan untuk membangunnya saat kuputuskan membeli kapal yacht tiga tahun lalu. Ketika kita berdua sampai, sudah ada orang yang menyambut kami dan mengambil alih sepeda yang kupakai untuk diamankan di sekitar sampai kami kembali. Aku menuntun Chika naik kapal dengan langkah pelannya yang penuh pertimbangan. Aku naik terlebih dahulu di atas kapal dan mengulurkan tangan ke Chika yang masih di dermaga.

"Semua akan baik-baik saja, Chika." Aku mencoba meyakinkannya kembali. Ia menatap lurus mataku dan tanganku bergantian, seakan mengumpulkan keberaniannya. Tak selang berapa lama, Chika meraih uluran tanganku dan memegangnya erat. Aku menuntunnya naik.

"See, everything's gonna be alright!" ucapku meyakinkannya kembali yang saat ini sudah ada di depanku. Aku menarik pelan tangannya dan memintanya untuk naik ke tempat kemudi begitu juga denganku yang mengikutinya dari belakang. Aku mengambil jaket pelampung dan memberikan kepada Chika saat sudah berada di tempat kemudi.

"Kamu bisa memakai ini." Aku membantunya untuk memakai pelampung di tubuhnya dan mengeratkan talinya atas permintaannya.

"Bagaimana dengan, kak Surya?" tanyanya saat aku selesai memasangkan di tubuhnya.

"Jangan khawatir. Aku perenang yang ahli," jawabku sambil mencubit hidungnya dengan gemas. Setelah menyiapkan di atas kemudi, aku memutar kunci mesin kapal dan menyalakannya dengan mulus.

"Kak Surya bisa mengendarainya?" tanyanya penasaran yang sekarang duduk di sampingku.

"Tentu saja. Jika bukan aku yang mengendarainya siapa lagi?!" jawabku sembari mendekatkan tubuhku padanya dan mencium pipinya. Aku pun menaikan tuas secara perlahan sambil memperhatikan navigator yang ada disana, memutar kemudi dan menyeimbangkannya mengikuti arus.

Kapal pun mulai berjalan seimbang, aku menaikan kecepatan kapal, menekan tombol pengatur kecepatan sambil tetap memegang kemudiku. Chika memegang erat lenganku setiap kali aku mempercepat kecepatan. Aku meliriknya sejenak sambil memberinya senyumku. Saat sudah di tengah lautan aku menghentikan kapalku di posisi yang aku rencanakan sebelumnya. Aku mematikan mesin kapal.

"Tunggu sebentar," ijinku yang turun dari ruang kendali untuk menurunkan pemberat ke lautan sehingga kapal tidak terbawa arus lautan. Setelah memastikan pemberat di posisi yang tepat, aku berjalan menuju deck kapal dan merentangkan tubuhku ke atas.

"Kemarilah, Chika. Kita aman disini," ucapku saat berbalik menghadap Chika yang masih duduk di tempat kemudi sambil melambaikan tanganku padanya. Ia menggelengkan kepalanya. Aku menghela napas, berjalan menuju tangga tempat kemudi, "turunlah Chika," pintaku pelan.

Chika berdiri dari tempatnya dan melihatku dibawah tangga. Ia masih diam sambil menggelengkan kepalanya. Aku segera naik ke tempatnya, meraih tubuhnya dan membopong tubuhnya pada lenganku. Ia memekik saat aku melakukannya, ia pun sedikit meronta.

"Diam atau aku jatuhkan kamu di laut," ancamanku berhasil membuatnya terdiam. "Pegangan yang erat," suruhku. Chika menaikan tangannya ke leherku dan mengalungkannya disana dengan erat. Aku berjalan menuju deck dan menurunkannya. Meski kakinya sudah turun, tangannya masih melingkar di leherku tanpa mau melepaskannya, aku pun meraih pinggulnya dan mendekatkan tubuhnya padaku.

"Lihat, kita aman disini," candaku. Ia menatapku kesal sambil mendengus.

"Jangan mengancamku seperti itu. Kak Surya terlihat seperti Leonardo Kandou."

"Aku memang Leondardo Kandou, nyonya Leo!" jawabku sambil mendesis mendengar ucapannya yang menggelikan.

"Jangan memanggilku seperti itu!" Chika memajukan bibirnya, menandakan dia mulai marah.

"Terserah padamu, Chika!" Aku tertawa melihat ekspresinya dan merasakan bibir manisnya yang begitu menggoda saat ini. aku melumat pelan bibirnya, yang ia balas dengan caranya yang lembut.

"Jadi, apa yang ingin ditunjukan dan diucapkan kakek?" tanyanya saat melepas ciuman kami begitu saja ketika aku masih menginginkannya. Aku menghela napas pendek sambil memutar mataku seakan berpikir.

"Jangan bilang, kak Surya membohongiku?!" katanya penuh curiga.

"Aku mencintaimu, Chika."

"Aku juga mencintai, kak Surya," jawabnya dengan muka meronanya yang berhasil membuatku memberikan senyuman bodoh, mungkin.

"Menikahlah denganku Chika. Izinkan aku menemanimu selalu menggantikan kakek," lanjutku mengulangi lamaranku padanya delapan tahun lalu. Chika terdiam menatapku bingung.

"Walaupun kita sudah menikah. Aku ingin melamarmu kembali dengan benar, di sini, di tempat terakhir kakek Jono berdiri." Aku melepaskan peganganku pada pinggulnya dan tangannya agar terlepas dari leherku. Aku merogoh kantong celana kain selutut dan mengeluarkan kotak kecil berlapis kain beludru warna biru tua yang tadi aku ambil bersamaan dengan kaca mata kami.

Aku merendahkan tubuhku dan mulai berlutut di hadapan Chika sambil mengulurkan kotak tadi yang sudah kubuka, dimana di dalamnya terdapat sebuah cincin yang sudah aku pesan khusus untuknya. Cincin mungil dengan desain cantik beserta diamond bening di tengahnya, sesuai dengan kemurnian dan rasa cintaku padanya.

"Menikahlah denganku Chika. Izinkan aku menemanimu selalu menggantikan kakek," ulangku. Chika menutup mulutnya dengan kedua tangan lentiknya. Butiran air mata mulai mengalir di sudut matanya, tubuhnya ikut merosot dan saat ini ia ikut berlutut di hadapanku.

"Tentu! Temani aku dan tepati janjimu padaku apapun yang terjadi, kak Surya, suamiku Leonardo Kandou." Perkatannya berhasil membuatku hampir hilang akal. Aku mengambil cincin dari kotaknya dan langsung menyematkan di jari manis tangan kanannya.

Senyuman merekah dari wajah Chika. Aku menarik tangan kanannya sehingga ia tersungkur pada dadaku. Aku memegang ujung dagunya dan mendekatkannya padaku sehingga aku bisa menciumnya. Bibir Chika kali ini menempel erat pada bibirku. Aku memperdalam ciuman kami saat ia membalasnya sambil mengigit pelan bagian bawahnya sehingga terdengar desahan dari mulutnya. Aku mengambil kesempatan itu dengan memasukan lidahku ke rongga mulutnya dan mencicipi rasa manis mulut mungulnya yang merah. Aku memegang kepalanya agar bisa lebih dekat padaku, tanganku yang lain menyusup ke dalam jaket pelampungnya sehingga dapat merasakan kehangatan punggungnya di balik kaos putihnya.

"Aku ingin melakukannya denganmu sekarang, di atas kapal," bisikku di sela ciuman kami. Chika menatapku lekat dengan napas tersenggal. Ia mengangguk pelan dengan muka meronanya yang berhasil menampilkan seringaian di sudut mulutku.

Aku pun berdiri begitu juga dengan Chika. Aku mencengkram pinggulnya mendekat pada tubuhku dan kembali mencium bibir manisnya. Tangan Chika kali ini melingkar sempurna di leherku, tanganku meraba tubuhnya menuju kedua pahanya dan membuatnya sedikit melompat sehingga aku bisa menggendongnya. Ia tersenyum ketika kedua kakinya melingkar erat pada pinggulku.

Aku berjalan masuk ke dalam bagian kapal dan mendudukkannya di atas sofa panjang berwarna krem. Aku melepas jaket pelampung yang ia kenakan dan membuangnya di belakangku. Aku kembali menciumi mulutnya, dagunya dan lehernya.

"Ahhh…" desahannya terdengar seksi ketika aku menemukan titik kenikmatan disana. Tanganku masuk menelusup di balik kaosnya dan meremas dada kirinya pelan, membuatnya meneluarkan desahannya. Aku menjauhkan tubuhku, melepas kaos putihnya melewati kepalanya dan menatap tubuh atasnya yang masih berbalut bra hitam. Aku mengecup pelan bibir dan pipinya kembali, sedangkan tanganku meraba lembut punggungnya, meraih kait branya untuk membukanya. Secara perlahan aku melepaskan bra hitam dari tubuhnya dan menatap lekat gundukan dadanya yang indah dengan putingnya yang menegang.

Kedua tanganku mencangkup kedua dadanya sambil meremas pelan. desahan kembali keluar dair bibirnya yang kutempelkan kembali pada bibirku. Aku mendorong tubuhnya hingga berbaring di atas sofa, masih mencium dan memainkan dadanya yang sesekali memelintir putingnya. Tangan Chika meraih kepalaku dan menjambak pelan rambatku saat aku mempermainkan puncak dadanya

Ciumanku pada bibirnya mulai berjalan turun ke dagu, lehernya dan berhenti sejenak di depan dadanya. Aku pun mengulum putingnya bergantian sambil sesekali mengigitnya pelan yang membuatnya memekik dan menaikan tubuhnya mempermudahku mengakses dada kenyalnya. Desahan seksinya berhasil membangkitkan libidoku dan juniorku di bawah sana yang mulai sesak.

Setelah puas bermain dengan dadanya, ciumanku berlaih pada perut datar dan pusarnya, sedangkan salah satu tanganku masih meremas pantatnya. Aku mendongakan kepalaku untuk menatapnya yang memejamkan mata dengan kedua tangan berpegangan pada pinggiran dan sandaran sofa. Aku menaikan ujung bibirku, segera aku melepas celana panjang Chika beserta dalamannya. Aku pun membuka kaos merah jambuku beserta celanaku dan menempatkan tubuhku diantara kakinya. Chika menatapku lekat sambil mengigit bibir bawahnya yang begitu merah saat ini.

"Jangan mengigitnya," ucapku sambil melepas bibir bawahnya dari kedua giginya dengan ibu jariku saat aku mendekatkan tubuhku kembali padanya. Tangan Chika pun segera meraih kepalaku, mengusap rambut dan wajahku dengan tatapan matanya yang terlihat begitu merayu. Tidak bisa menahannya lebih lama, aku mencium kembali bibir manisnya, sedangkan tanganku yang lain memijat bibir kewanitannya dan mencubit kecil klitorisnya yang membuatnya memekik kembali dalam ciumanku.

Bagian kewanitannya sudah basah dengan cairannya sendiri. Aku pun menetapkan pangkal juniorku tepat di depan dinding kewanitannya.

"Are you ready, babe?" tanyaku yang mendapat anggukan. Dengan bersusah payah aku memasukan juniorku ke dalam kewanitannya yang berkedut dan memijat kuat batang juniorku di dalam, yang berhasil membuatku menggeram. Secara perlahan aku memasukan dan mengeluarkannya dengan tempo lambat, membuatnya terbiasa, karena aku tidak ingin menyakitinya.

"A … Ah … Kak … Surya…" ucapnya tersenggal-senggal di antara desahannya, yang membuatku mempercepat tempoku naik turun menghujaminya. Kedua tangan Chika merengkuh tubuhku dan mencium bibirku sehingga suara eranganku tenggelam dalam ciumannya.

"Aaah..." Chika berteriak, disaat bersamaan cairan hangat mengalir membasahi batang juniorku. Aku menghentikan gerakanku menatap lekat wajahnya dengan bulir keringat pada dahinya. Aku mengusap keringatnya dan mencium dahinya. Aku mengangkat tubuhnya yang mulai tenang dan membuatnya duduk di atas pangkuan dengan menghadapku.

Aku mencium dan mengulum putingnya yang masih menegang di hadapanku sambil menggerakan tubuhnya naik turun di pangkuanku. Chika merengkuh tubuhku dengan desahan keluar dari mulut manisnya.

"Panggil namaku, Chika," bisikku di depan telinganya saat mendekatkan kepalanya padaku.

"Kak ... Sur ... ya," ucapnya terbata.

"Namaku Chika," bisikku kembali pada lekukan lehernya yang sedang ku ciumi, sedangkan tanganku masih sibuk mengangkat tubuhnya naik turun dalam pangkuanku, memompa juniorku di dalamnya yang sedikit lagi mencapai pelepasan.

"Kak ... Leo," ucapnya. Kepalanya menunduk mendekat pada daun telingaku, "Leonardo."

Suara pelannya yang begitu menggoda berhasil membuaat libido memuncak dan membuat suatu dorongan pada juniorku yang hendak terlepas. Aku mendorong tubuhnya kembali di atas dudukan sofa, membuatnya berteriak saat aku percepat gerakanku.

"Aaaah ... Chikaaaa" teriakku, bersamaan dengan jutaan spermaku yangmenyembur masuk ke dalam rahimnya. "Hah ... hah..." desahku mencoba mengatur napas.

"You're awesome, babe!" pujiku yang langsung roboh di atasnya tapi dengan satu tanganku yang masih menyangga badanku agar tidak menindihnya. Aku mengeluarkan juniorku dan menggeser tubuhnya merapat pada sofa sehingga aku ikut beristirahat sejenak di sampingnya dengan mendekap tubuh mungilnya. Suara dengkuran mulai terdengar, aku bangkit dari tempatku, mengambil selimut yang ada pada lemari kecil di samping kulkas mini di ujung dan membalutkan tubuh Chika yang tertidur kelelahan.

Aku mengambil dan menggenakan pakaianku kembali yang kubuang begitu saja di bawah. Setelah berpakaian lengkap aku memungut pakaian Chika, merapikannya dan meletakan di dekat sisinya. Aku keluar ruangan setelah mengambil satu botol sedang air mineral di tanganku. Matahari mulai menurun menandakan malam akan datang. Aku berjalan ke arah deck dan berbaring disana menatap matahari yang tidak begitu menyengat sore ini karena awan menutupnya sebagian. Hembusan angin perlhana berhasil membuat kelopak mataku terasa berat dan tanpa kusadari mulai terpejam perlahan.

"Kak Surya!" Panggilan merdu terdengar di telingaku. Aku membuka mataku perlahan dan mendapati Chika berbaring di samping dengan senyumnya yang menampilkan gigi kelincinya. Aku mengerjapkan kedua mataku untuk beradaptasi dengan cahaya sekitarku. Aku mencoba duduk dan melihat sekeliling. Langit mulai gelap dengan matahari yang sudah turun setengah seperti tenggelam dalam lautan, Chika yang ada di sampingku ikut duduk dengan pakaian lengkap yang sudah ia kenakan kembali.

"Kamu sudah bangun?" tanyaku. Ia mengangguk kepadaku pelan masih dengan senyumannya.

"Kenapa kak Surya tidur disini?"

"Aku tidak tidur, hanya ketiduran saat menunggu matahari tenggelam."

"Melihatnya sendiri tanpaku?" tanyanya dengan pandangan kesal. Aku tergelak pelan menatap wajahnya yang terlihat begitu manis di mataku.

"Tentu saja tidak. Aku akan membangunkanmu saat waktunya tiba, tapi aku ketiduran." Chika terkekeh mendengar alasanku. Ia mendekatkan tubuhnya padaku dan memelukku.

"Syukurlah kita tidak ketinggalan," ucapnya, dimana saat ini ia menatap lurus ke arah matahari yang mulai tenggelam di hadapan kami berdua. Aku membalas pelukannya dan mencium puncak kepalanya.

"Ya!" jawabku pelan sambil menikmati pemandangan indah di hadapan kami berdua.

"Chika!" sambut bi Suarti di depan rumah saat melihat Chika turun dari sepeda bersamaku, malam ini. Chika, setengah berlari, menghampiri bi Suarti dan melompat memeluk tubuh gempalnya.

"Bu Suarti, Chika kangen?!"

"Ibu juga, sayang. Bagaimana kabarmu? Kamu baik-baik saja kan? Kemana saja dirimu? Apa kamu tahu nak Surya mencarimu beberapa tahun ini?" tanya bi Suarti dengan pertanyaan-pertanyaannya yang selalu banyak setiap kali keluar dari mulutnya. Chika hanya tersenyum sambil mengangguk mendengarkan setiap kalimatnya.

"Chika baik-baik saja. Aku sudah kerja di ibu kota dan aku tahu kalau kak Surya mencariku," jawabnya sambil melirik ke arahku. Aku berjalan mendekat ke sampingnya dan merangkulkan lenganku pada pundaknya.

"Kamu harus tahu itu, sayang." Aku mengacak rambutnya pelan dan mencium puncak kepalanya yang membuatnya terkekeh. Bi Suarti memberikan senyuman ramahnya kepada kami berdua.

"Jangan bermesraan di luar, pamali. Ayo masuk Chika! Kamu pasti lapar. Ibu sudah memasakan masakan spesial untukmu." Bi Suarti mengajak Chika masuk dengan mengambil nampan makanan yang ia letakan di atas meja teras. Chika menghampirinya dan membantunya membawa masuk ke dalam rumah.

Kami bertiga makan malam bersama, menghabiskan makanan yang di buat bi Suarti untuk kami berdua. Ia juga tidak lupa bercerita panjang lebar mengenai perubahan di desa seperti; perbaikan jalan menuju pantai Lunci, masuknya listrik sehingga mempermudah kegiatan desa pada malam hari dan juga bercerita akan diriku yang datang mencarinya kesini, membeli beberapa lahan atau hal lainnya yang aku lakukan di desa ini. Chika mendengarkan ceritanya dengan seksama, sambil sesekali tertawa saat bi Suarti menceritakan kejadian lucu atau melirik ke arahku dengan tatapan tidak percaya akan cerita bi Suarti mengenaiku.

Sepeninggalan bi Suarti, Chika berjalan mengelilingi rumah, memperhatikan satu ruangan ke ruangan lain dan menilai setiap perubahan yang ada. Aku memberitahunya tentang penambahan kamar mandi di rumah yang membuatnya tertawa saat mengingat kejadian saat aku memintanya menemaniku ke kamar kecil.

"Apa kata kakek saat melihat beberapa perubahan di rumahnya?" ucap Chika lirih sambil menatap bingkai foto kakek Jono di ruang depan.

"Ia pasti bahagia apalagi melihat dirimu yang yang tumbuh menjadi wanita cantik," jawabku sambil memeluk tubuhnya dari belakang.

"Hah..." desahnya saat meletakan bingkai foto di atas meja.

"Ada apa?"

"Aku ingin berziarah ke makam ibu dan..." Ia membalikkan tubuhnya yang masih aku peluk untuk menghadapku, "Aku ingin memperkenalkan kak surya padanya."

"Jika kamu menginginkannya, kita bisa kesana setelah bersenang-senang disini."

"Benarkah?" tanyanya dengan mata berbinar. Aku menganggukan kepalaku meyakinkan bahwa perkataanku bisa ia pegang.

"Tunggu sebentar." Aku melepas pelukanku, masuk ke dalam kamar dan mengambil ponselku yang aku taruh di atas nakas di kamar sejak kami datang kemari. Aku menyalakan ponselku, mencari kontak seseorang dan menghubunginya.

"Selamat malam, pak Made," sapaku saat seseorang di sebrang sana mengangkat panggilanku.

"Selamat malam, pak Leonardo. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ya tentu saja. Tolong batalkan penerbanganku ke Singapura dan ubah penerbangan ke Surabaya."

"Baiklah, saya akan atur. Apa ada lagi?"

"Itu saja." Aku pun memutuskan sambunganku. Saat berbalik, aku melihat Chika yang sudah berdiri di ambang pintu kamar.

"Kita akan pergi ke Surabaya setelah dari sini dan mengunjungi makam ibumu. Ah bukan, maksudku ibu kita." Aku mengayunkan ponselku sambil tersenyum bangga. Kebahagiaan langsung tersirat dari wajahnya, Chika berlari menuju arahku dan langsung memelukku erat.

"Terima kasih. Aku benar-benar menyukai kak Surya. Kak Leonardo Kandou, suamiku." Chika mengulurkan tangannya pada leherku dan berusaha menciumku dengan berjinjit pada kedua kakinya. Aku pun menundukkan kepalaku sambil meraih pinggulnya dan membantunya untuk menciumku.

"Aku juga menyukaimu, nona Leo," candaku yang membuatnya mendaratkan pukulan pelan pada pundakku.

Sungguh momenku bersamanya adalah suatu momen terbaik dalam hidupku dan tidak akan pernah aku lupakan sampai akhir hayatku.

Mereka berdua merendahkan tubuh dan berjongkok bersamaan di samping sebuah makam dengan rerumputan yang tumbuh lebat di atasnya. Kartika membersihkan helaian daun kering di atas makam ibunya yang entah berapa tahun tidak pernah ia kunjungi. Leo yang berada disampingnya, membantu membersihkan dan mencabut beberapa rumput yang ia nilai terlalu panjang dari pada yang lain. Kartika meletakan keranjang kecil berisi bunga yang ia beli sebelumnya.

"Maaf. Maaf karena Chika baru bisa kemari, ibu." Kartika mengusap lembut batu nisan di depannya, "Sekarang, Chika bahagia, karena aku sudah menikah dengan orang yang sangat Chika sukai dulu."

Leo yang saat ini ada di samping Kartika, meraih tangannya dan meremas lembut sehingga Kartika menolehkan kepala ke arahnya. Kartika memberikan senyum lembutnya kepada Leo yang menatap lurus iris hitam matanya.

"Pria ini." Kartika membalas pegangan tangan Leo, "Pria yang sama dengan orang yang Chika sukai dulu dan berhasil membuatku jatuh cinta padanya sekali lagi, kak Surya, Leonardo Kandou. Chika berjanji akan menjadi seorang istri terbaik untuknya dan menemaninya sampai akhir apapun yang terjadi."

Perkataan Kartika sangat menyentuh hati Leo saat ini, sehingga membuatnya ingin menangis. Leo menarik tubuh Kartika, mendekap lembut tubuhnya masuk pada dadanya dan mencium puncak kepala maupun dahinya.

"Terima kasih," ucap Leo setelah melepaskan pelukannya kepada Kartika dan menatap kembali batu nisan di samping Kartika dan Kartika berantian. "Terima kasih karena melahirkan wanitaku dan meninggalkannya kepada kakek Jono sehingga ia bisa bertemu denganku. Aku berjanji akan selalu mencintainya dan menjaganya selama aku hidup di dunia yang sama dengannya," lanjut Leo sembari mencium punggung tangan Kartika yang masih dalam genggamannya.

Setelah mengucapkan janji mereka satu sama lain, Leo dan Kartika menebarkan bunga-bunga di atas gundukan tanah pada makam sembari membasahi tanah tersebut dengan sebotol air yang mereka bawa.

"Bisa tinggalkan aku sebentar disini?" pinta Kartika kepada Leo.

"Tentu saja, Chika." Leo mengecup singkat bibir Kartika dan berdiri meninggalkannya untuk berbicara sendiri di makam ibunya. Ia berjalan keluar makam dan berdiri di pintu depan, tanpa disadari seorang pria berjalan mendekatinya dari belakang dengan kedua tangan yang ia simpan di kantong celana jeans miliknya.

"I don't know that you have taken." Suara tingginya yang khas berhasil membuat Leo membalikkan badan menatap dengan seksama pria tersebut yang sangat ia kenal. Kenar dengan kemeja berwarna hijau lembut polos dengan lengan yang digulung sebagian.

"What are you doing in here?" tanya Leo tanpa menanggapi ucapan Kenar sebelumnya.

"Hanya urusan bisnis dan mengunjungi makam kenalan," jawab Kenar santai dengan menaikan kedua bahunya. "Bagaimana denganmu? Kita kira kamu sedang berlibur ke Singapura," lanjutnya.

"Kita?"

"Ya. Alex, Reno dan Gading memaksa Rekka untuk memberitahu keberadaanmu, karena beberapa minggu ini kamu absen di setiap pesta sejak pesta tahun baru, dimana kamu menghilang begitu saja."

"Lalu?"

"Mereka menghampirimu kesana dan tidak tahunya aku bertemu denganmu disini. Bersama seseorang wanita, berciuman dan berpelukan di depan makam."

"Syukurlah, aku mengubah rencana." Leo menghela napas lega karena menuruti permintaan Kartika untuk ke Surabaya bukan Singapura, dimana nantinya dapat menghancurkan rencananya.

"So, who's the unlucky lady in there?" Kenar menaikan kedua alisnya dan melirik ke belakang Leo, dimana Kartika tengah berjalan mendekatinya. Leo berbalik sambil menyambut Kartika yang mendekat. Kartika mendelik bingung ke arah Kenar, dimana sepertinya ia pernah melihat wajahnya.

"Kartika. My special lady," ucap Leo pelan. Ia pikir memperkenalkan Kartika kepada Kenar bukanlah suatu masalah, karena Kenar berbeda dengan ketiga temannya yang tidak lebih dari lelaki brengsek seperti dirinya, dulu. Leo berjalan mendekat kearah Kartika, meraih tangannya dan menuntunnya mendekat ke Kenar yang masih berdiri di tempatnya.

"Chika, Kenalkan ini Kenar. Salah satu temanku dan seorang produser muda di Quarter Ent.," kata Leo memperkenalkan Kenar kepada Kartika. Kenar mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Kartika sebaaimana mestinya. Tanpa menyambut uluran tangan tersebut, Kartika malah mengangguk sambil melayangkan senyuman kepada Kenar, dimana saat ini kedua tangannya mencengkram pelan lengan Leo. Leo yang memahami Kartika menyambut uluran tangan Kenar menggantikan Kartika membuat Kenar menaikan sebelah alisnya dan tertawa.

"Jadi apa kalian sudah punya rencana, bagaimana menghabiskan liburan kalian berdua di Surabaya?" tanya Kenar dengan senyuman ramahnya.

"Entahlah, mungkin kita berjalan-jalan di sekitar sini atau kamu ada rekomendasi tempat bagus?" tanya Leo kepada Kenar.

"Hmm ... banyak tempat yang bisa kalian kunjungi disini. Kalian bisa pergi ke kebun binatang, monumen kapal selam, tugu pahlawan dan musium saat siang hari; untuk malam hari kalian bisa pergi ke carnival atau pergi ke festival makanan. Jika kalian masih di sini sampai sabtu, mungkin kalian bisa mampir ke acara Janu Jazz. Aku bisa membawa kalian masuk dengan cuma-cuma karena aku mengurusi sebagian acara tersebut."

"Saran yang bagus." Leo menganggukan kepalanya seakan menimbang semua saran Kenar dan tatapannya berubah sesaat ia mengingat sesuatu, "tak kusangka kamu benar-benar ada urusan disini. Aku mengira kamu kemari karena menguntit wanita pujaanmu setiap sebulan sekali."

"Jangan sembarangan bicara. Pasti si mulut besar, Reno yang memberitahumu. Sejak kapan kamu mempercayai berita murahannya?"

"Sejak kamu selalu menutupi masalahmu sendiri dan menghilang setiap sebulan sekali." Kenar hanya mendesis dan memutar matanya mendengar alasan bodoh Leo.

Disisi lain, Kartika hanya bisa diam mendengar percakapan mereka berdua yang terlihat begitu akrab satu sama lain, karena Kenar pria kedua yang membuat Leo berbicara santai selain Rekka. Kartika sudah pernah bertemu beberapa teman Leo dimana mereka memiliki karakter dan sifat berbeda dan begitu bertolak belakang dengan Leo yang di kenalnya. Hal ini membuat Kartika berpikir bahwa dia tidak begitu mengenal kehidupan Leo, bahkan Leo tidak pernah membicarakan apapun tentang dirinya sama sekali.

Aku tidak bisa terus penasaran seperti ini. Aku harus menanyakan semua kepadanya; mengenai temannya dan keluarganya yang tidak aku ketahui sama sekali. Suara batin Kartika meyakinkan dirinya.

"Baiklah, aku harus pergi dulu. Sepertinya pekerjaan sudah menantiku," ujar Kenar setelah membaca pesan di ponselnya yang baru saja ia baca. Ia pun berbalik meninggalkan Kartika dan Leo di depan pintu makam setelah melambaikan tangan kepada mereka berdua.

Leo pun mengajak Kartika kembali ke hotel tempat mereka untuk membersihkan diri. Karena kata orang kita harus membersihkan diri setelah mengunjungi makam ataupun rumah duka agar kesedihan tidak menempel pada tubuh kita.

"Apa hubungan kak Surya dengan Kenar?" tanya Kartika kepada Leo setelah ia keluar dari kamar mandi hotel untuk membersihkan tubuh dan sudah menggenakan kaos abu-abu berlengan pendek.

"Kenapa kamu menanyakannya?" tanya Leo, karena tidak biasanya Kartika bertanya mengenai dirinya selama Kartika telah menerima dirinya.

"Karena aku ingin mengenal lebih jauh mengenai kak Surya. Keluargamu, teman-temanmu dan kehidupanmu yang tidak aku ketahui. Sedangkan, kak Surya mengetahui semua tentang diriku dan aku merasa itu tidak adil," ucap Kartika yang duduk di pinggiran ranjang sembari memberi tatapan memohon kepada Leo yang berdiri di depannya.

"Jadi, istriku ini merasa tidak adil dan penasaran saat ini?" Leo tersenyum karena Kartika akhirnya bertanya akan dirinya. Ia kira Kartika tidak akan pernah peduli dengan dirinya, tapi kenyataan akan rasa penasaran Kartika membuat Leo bahagia. Ia ikut duduk di samping Kartika, mengambil helaian anak rambut pada wajahnya dan mengaitkan di belakang daun telinga Kartika.

"Tentu saja. Aku selalu penasaran tentang kak Surya. Semuanya." Kartika menatapnya dengan semangat menggebu.

"Baiklah apa yang ingin kamu ketahui?"

"Pertama, aku ingin kak Surya menceritakan tentang diri kakak sendiri seperti; tempat lahir, keahlian, kesukaan dan hal yang dibenci. Kedua kak Surya bisa menceritakan mengenai keluarga kakak, sekolah kakak, teman-teman kakak dan apapun."

"Jika aku menceritakan tentang diriku, kita akan butuh waktu seharian untuk menyelesaikannya. Apa kamu tidak ingin keluar berjalan-jalan menikmati kota ini?" Leo mencoba mengalihkan perhatian Kartika, namun gagal karena Kartika saat ini menggeleng cepat.

"Aku ingin mengetahui semuanya, kita masih ada waktu besok jika ingin berjalan-jalan," jawab Kartika masih dengan pendiriannya.

"Ceritaku akan sangat membosankan dan akan membuatmu tertidur nantinya. Apalagi kamu akhir-akhir ini mudah sekali tertidur."

"Walaupun membosankan ataupun membuatku tertidur, aku akan tetap mendengarkannya." Kartika menatap lurus ke manik mata Leo. Leo pun hanya bisa menghela napas panjang, menyerah akan pendirian Kartika.

Leo memindah posisinya dengan bersandar pada sandaran ranjang dan meminta Kartika untuk menemani di sampingnya. Kartika bangkit dari tempatnya duduk, jalan memutari ranjang dan naik ke atas sembari duduk, setengah bersandar pada lengan Leo yang terbuka lebar. Leo mendekatkan tubuh Kartika padanya sambil mendekapnya.

"Baiklah, kita mulai dari mana dulu?" bisik Leo pada dirinya. "Nama. Namaku Leonardo di ambil dari nama seorang seniman yang terkenal, Leonardo da vinci, karena ibuku tergila-gila dengan karyanya terutama lukisan The Virgin of the Rocks. Sebagai informasi ibuku seorang pelukis muda yang senang mengembara dan bertemu dengan ayahku. Seperti kisah klise lainnya, mereka bertemu, jatuh cinta dan menghasilkan diriku. Namun mereka meninggal karena kecelakaan ketika aku berumur tujuh tahun. Aku tinggal bersama kakekku, Raden Djaja Kandou perintis dan pendiri perusahaan yang sedang kupegang, bersama dengan tante Rima anak perempuannya, adik ayahku. Aku benci apapun yang berhubungan dengan cokelat karena warnanya mengingatkanku akan kotoran hewan dan baunya yang memuakan." Leo menyeringatkan wajah ketika mengingat aromanya di kepala.

"Sungguh? Padahal Cokelat itu enak sekali," komentar Kartika tidak percaya. Ia saat ini duduk tegap menatap Leo dengan kedua alis yang hampir bertemu.

"Oh ayolah, warnanya gelap seperti itu, apalagi saat lelehannya terjatuh di atas roti, seperti kotoran ayam."

"Astaga lelehannya tidak seperti kotoran ayam. Memang kak Surya pernah melihat kotoran ayam? Jangan merusak pikiranku akan kenikmatan cokelat dengan kotoran," ujar Kartika sedikit kesal dengan persepsi aneh Leo mengenai cokelat.

"Kamu mau mendengar cerita tentangku atau berdebat mengenai cokelat yang memuakan itu?" geram Leo kepada Kartika yang menuduh merusak pikirannya.

"Tentu saja mendengarkan cerita mengenai kak Surya," jawab Kartika lembut kembali bersandar pada tubuh Leo kembali.

"Aku tidak suka dilawan maupun diperintah."

"Aku tahu itu," jawab Kartika sepontan yang berhasil membuat Leo memutar matanya.

"Orang yang kamu temui tadi, Kenar Walandow seorang produser muda. Aku bertemu dengannya di kafe milik Reno dan aku membantunya membeli saham perusahan musiknya saat hampir jatuh. Sejak itu kami saling mengenal satu sama lain. Dia orang baik."

Kartika mengangguk setuju mendengarkan cerita Leo. Dia juga bisa melihat pria tadi terlihat begitu ramah padanya, meski ia secara tidak sopan tidak bisa menerima uluran tangannya. Walaupun ia menginginkannya, tubuhnya menahan untuk menyambut uluran tangan Kenar padanya.

"Aku tidak suka suasana sepi, karena mengingatkanku dengan keadaan rumah yang begitu kaku dengan segala aturan. Saat SMA, aku mulai membrontak dengan aturan yang menyesakkan. Aku suka pergi ke pesta yang hingar bingar bersama yang lain; Alex, Gading, Reno dan Rekka walau Rekka lebih menemaniku sebagai penjaga, minum sampai mabuk dan bermain wanita bersama yang lain, tapi tenang saja aku selalu memakai pengaman, jadi tidak ada Leonardo junior sampai saat ini." Leo mengatakannya dengan nada bangga. Kartika bangkit kembali dari tempatnya dan menatap kesal, atau lebih tepatnya melotot marah. Leo tertawa kecil melihat ekspresi Kartika.

"Dulu. Sebelum aku menikah denganmu dan kamu menerimaku sebagai suamimu, Chika. Setelahnya aku tidak pernah lagi pergi ke pesta, minum sampai mabuk ataupun bermain dengan wanita lain selain dirimu," akunya karena setelah Kartika menerimanya, ia tidak sekali pun menginjakan kakinya pada pesta manapun. Bahkan dia langsung pulang ke tempat Kartika saat pekerjannya selesai karena ia tidak bisa jauh lama-lama dari Kartika.

"Bohong. Kamu membohongiku. Aku melihatmu sedang bermesraan dengan wanita lain setelah pernikahan kita." Kartika mencoba mengingatkan Leo mengenai kejadian sebelum pesta tahun baru dimana seorang wanita asing mencumbunya di dalam ruangannya, di atas pangkuannya.

"Aku sengaja melakukannya untuk membuatmu cemburu dan aku berhasil bukan?" akunya kembali, karena saat itu ia memang sengaja melakukannya di kantor, dimana ada Kartika di sebelah ruangannya. Namun ia tidak menceritakan kejadian bersama pelacur murahan di Makasar, karena menurutnya tidak perlu, saat itu ia juga sedang kesal kepada Kartika yang menolaknya di malam pertama pernikahan mereka, ia juga tidak benar-benar melakukannya dengan pelacur yang dibawa Alex. Kartika memukul dada bidang Leo dengan kesal akan jawabannya dan berhasil membuatnya meng-aduh kesakitan.

"Bagaimana dengan Jessi atau Jessica atau siapapun yang datang setelah itu?" tanya Kartika kembali, karena Leo tidak menjelaskan apapun mengenai kejadian itu padanya. Ia pun tidak berani menanyakannya saat itu, karena dirinya sendiri tidak bisa menerima Leonardo yang mengaku sebagai kak Surya waktu itu. Namun beda keadannya sekarang, dimana ia sudah menerima Leo lahir dan batin sehingga ia menuntut penjelasan.

"Jessica Windler maksudmu? Dia bukan tunanganku. Memang tante Rima sempat menjodohkanku padanya tapi aku sudah menolak perjodohan itu karena aku sudah menemukanmu. Sebagai informasi, dia itu dulunya wanita gendut yang suka menguntitku sampai kamar mandi ketika aku SMA dan mengikutiku saat kuliah di London sebelum aku memegang perusahaan. Dia adik kelasku. Memang kamu kira aku mau dijodohkan dan menikah dengan penguntit seperti dia?"

"Kak Surya tidak berbohong padaku?" tanya Kartika khawatir. Leo mendesah pendek mendengar pertanyannya yang belum sepenuhnya percaya akan dirinya.

"Dengar dan tatap mataku, Chika." Leo membalik tubuh Kartika sehingga Kartika ada di atas tubuhnya, mencangkup wajahnya dan menatap langsung iris matanya, "Kamu satu-satunya wanita yang kuinginkan, wanita yang aku cintai, wanita yang tidak akan pernah aku sakiti dan kamu adalah istriku. Aku tidak akan pernah berbohong padamu. Aku akan selalu jujur padamu, Chika. Apapun yang terjadi kamu harus percaya padaku," lanjut Leo meyakinkan Kartika dengan kesungguhannya dan juga sebagai janjinya sendiri akan Kartika.

"Ya. Aku akan percaya padamu," jawab Kartika dengan wajah merona. Lagi-lagi, Leo selalu mampu membuat jantungnya berdetak begitu cepat, dimana saat ini aliran darahnya mengalir sungguh cepat membuat tubuhnya terasa panas. Ia menginginkan Leo saat ini. Menginginkan sentuhan Leo pada dirinya.

Kedua tangan Kartika mengulur dan meraih kepala Leo. Ia mulai menempelkan bibir merahnya kepada bibir Leo dan berhasil membuat Leo terkejut. Leo mengerjapkan matanya mencoba mencerna apa yang terjadi. Namun ciuman hangat Kartika membuatnya lepas kendali dan melupakan apa yang ia pikirkan. Tangan kiri Leo saat ini berada di tengkuknya dan menekannya hingga ia bisa memperdalam ciuman Kartika padanya, memasukan lidahnya ke dalam mulut Kartika tanpa penolakan, sedangkan tangan kanannya turun ke punggung Kartika, pahanya dan menyusup kedalam dress kuning yang di kenakannya. Leo meraba langsung kulit punggung Kartika dan mencari kait bra yang langsung ia lepaskan.

Leo membalik tubuh Kartika hingga posisi mereka berubah, dimana saat ini Kartika ada di bawah tubuhnya. Dengan napas memburu Leo menyerang mulut mungil Kartika hingga membengkak, turun ke rahangnya dan leher indahnya. Leo tak segan untuk menghisap leher Kartika dengan aroma tubuhnya yang sangat tercium disana, membuat Kartika mengeluarkan desahan dari mulutnya setiap kali Leo menyentuh titik sensitifnya dan memberinya tanda merah, tanda kepemilikannya. Sedangkan kedua tangannya sibuk meremas gundukan dadanya yang kenyal di dalam dress miliknya tanpa halangan.

Seperti yang Kartika rasakan, darah Leo berdesir begitu cepat dan panas saat ini. Ia benar-benar mengingkan Kartika untuknya dan hanya miliknya.

Ia duduk di kursi yang telah disediakan dengan menggenakan gaun merah berenda dan rambut hitam panjangnya yang terurai teratur ditaruhnya di depan. Ia menghela napas pendek menunggu tamu yang lain datang karena pasangannya harus memastikan persiapan acara malam ini agar berjalan lancar sebelum acara dimulai. Seorang wanita dengan dress panjang berwarna perak menarik kursi di sampingnya dan langsung duduk seperti suatu kebiasaannya.

"Kamu sudah datang? Aku mengira kamu akan datang agak terlambat," tanya wanita yang baru datang yang tak lain Crystal kepada Kartika yang sudah duduk dari tadi di meja itu.

"Kak sur ... maksudku kak Leo ingin memastikan persiapan acara."

"Jangan kaku seperti itu. aku sudah tahu kalau kamu memanggilnya kak Surya dan dia memanggilmu Chika. Siapa sangka Chika yang selalu menjadi bahan omongan ternyata dirimu." Crystal mengedipkan matanya kepada Kartika, sehingga membuat wajahnya memerah malu.

"Jangan bicara yang tidak-tidak," ujar Kartika sambil memgang kedua pipinya yang terasa panas.

"Kenapa kamu duduk disini?" tanya Crystal sambil menaruh tas tangannya di atas meja.

"Tentu saja aku duduk disini. Lihat ada namaku disini. Memang aku harus duduk dimana?"

"Duduk di tempat keluarga besar Kandou." Crystal menunjuk meja terdepan yang masih kosong.

"Untuk apa?"

"Kamu ini bagaimana? Kamu sudah menikah dengannya, tentu saja kamu termasuk keluarga besarnya, bukan?" geram Crystal. Kartika segera menutup mulut Crystal dengan telapak tangannya dengan panik.

"Jangan keras-keras. Bagaimana kalau ada yang mendengarmu?"

"Biar saja. Apa dia belum memperkenalkanmu pada keluarganya?" tanya Crystal lagi setelah melepas tangan Kartika dari mulutnya. Kartika memberi senyuman kecilnya sembari menggelengkan kepalanya.

"Apa-apaan lelaki itu? Kalian sudah menikah hampir dua bulan dan kamu belum di kenalkan dengan keluarga besarnya?" geram Crystal sembari menggeretakan giginya dan mengepalkan tangannya kesal.

"Sudahlah, Crys. Dia akan mengenalkankku pada keluarganya nanti, tidak sekarang."

"Kamu percaya begitu saja padanya?"

"Ya. Lagipula jika ia memperkenalkanku pada keluarganya, aku tidak akan bisa siap menghadapi tatapan mereka. Apalagi jika rekan yang lain tahu. Mereka pasti begitu memperhatikan dan mengamatiku. Aku tidak suka menjadi pusat perhatian orang, bisa-bisa aku mati di tempat sangking takutnya," jawabnya sambil menunjukkan wajah ngeri saat ia membayangkan tatapan semua orang mengarah padanya. Ia pasti bisa pingsan di tempat atau tindakan paling parah ia kabur sambil berteriak ngeri.

Crystal yang mengerti bagaimana keadaan Kartika yang begitu takut dengan tatapan ataupun sentuhan orang asing padanya, hanya bisa menghela napas pendek sambil menepuk pelan pundak Kartika di sampingnya.

"Gaunmu cantik," puji Crystal.

"Terima kasih. Ini pilihan kak Surya. Aku tidak mengerti masalah gaun atau apapun. Selama ini kamu yang selalu membantuku untuk memilih," kata Kartika. "Gaunmu juga indah, pas dengan bentuk badanmu," lanjut Kartika yang membalas pujiannya. Mereka tertawa karena pujian masing-masing. Kartika yang mulai kelaparan mengajak Crystal mengambil kudapan di meja tea break buffet dibelakang meja para tamu, karena tidak tahan menunggu acara makan dimulai.

"Jadi bagaimana dengan persiapan pestanya?" tanya Leo yang saat ini ada di balik panggung bertanya kepada Eva, salah satu pengurus pesta valentine perusahaan hari ini.

"Semua sesuai dengan rencana dan ini daftar tamunya." Eva menyerahkan daftar tamu ditangannya kepada Leo. Leo mengambil dan membacanya sekilas. Matanya setengah terbelalak menatap dua nama yang tertera disana.

"Pergilah dan panggil Rekka kemari," perintah Leo kepada Eva. Eva pun pergi meninggalkan Leo dan memanggil Rekka sesuai perintahnya.

"Ada apa?" tanya Rekka yang sudah berdiri di sampingnya dengan menggenakan setelan jas putih.

"Siapa yang mengundang si ular kemari?" Leo menunjuk nama Rima, tantenya ada di urutan atas.

"Dia selalu hadir di acara ini. Apa kamu lupa? Dia penggagas acara ini saat dia muda."

"Bagaimana dengan ini?" tanya Leo kembali dimana saat ini ia menunjuk nama Jessica Windler dalam daftarnya.

"Mungkin Dimas yang mengundangnya. Dia ketua pelaksana acara ini." Rekka menjawabnya dengan santai.

"Sialan, kenapa mereka harus di undang saat aku ingin mengumumkan hal penting," bisik Leo frustasi sambil mengacak rambutnya.

"Apa kamu mau menundanya?" tanya Rekka yang tahu apa pengumuman yang dibicarakan Leo nanti malam di hadapan karyawannya.

"Hah ... tetap pada rencana," ujar Leo menghela napas, "urusan tante Rima biar kupikirkan nanti." Leo menutup daftar tamu yang di tangannya dan menyerahkan kepada Rekka. Ia merapikan rambutnya, mengancing setelan jasnya berwarna marun dan pergi meninggalkan belakang panggung untuk menyapa tamu yang mulai berdatangan.

Dua puluh menit kemudian acara dimulai. Semua pengunjung duduk di tempat yang telah tersedia. Sang MC pun mempersilahkan Rima memberikan sepatah kata sebagai perintis acara yang menjadi agenda tahunan perusahaan. Tepukan tangan mulai terdengar di seluruh ballroom, Leo dengan malas memberikan tepuk tangannya pelan.

"Kak Leo..." Alice yang duduk di sebelah Dimas menendang kaki Leo yang ia luruskan di balik meja, sehingga membuatnya menatap arah Alice, "Itu kak Kartika, kan?" Alice menunjuk ke arah Kartika yang duduk tidak jauh dari tempatnya bersama Crystal dan Rekka.

Dengan wajah sedih Leo menganggukan kepalanya, karena ia tidak bisa mengajak Kartika duduk disebelahnya. Melainkan si gendut Jessica yang dengan seenaknya duduk di kursi sampingnya yang harusnya kosong.

"Kalau begitu aku kesana," ucap Alice bersemangat dan langsung melesat meninggalkan mejanya untuk menghampiri meja Kartika.

"Kartika itu sekertarismu itu bukan?" tanya Jessica yang ikut melihat ke arah Kartika saat Alice menunjuk tadi. Aku diam tidak menjawab pertanyannya, malah aku tidak memperdulikan keberadannya.

"Ya, dia sekertaris baru Leo, membantu pekerjaan Rekka." Dimas yang tidak ditanya menjawab pertanyaan Jessica.

"Alice mengenalnya?"

"Entahlah, Aku sendiri tidak tahu." Dimas menjawabnya lagi. Leo yang ada diantara mereka hanya menghela napas panjang dan segera berdiri saat namanya dipanggil. Sontak Jessica dan Dimas diam memperhatikan Leo dan ikut bertepuk tangan mengikuti yang lain.

Leo melangkah ke panggung dengan langkah pastinya sambil memberi seringaian kepada Rima yang turun dari panggung dan berpapasan dengan dirinya. Ia membetulkan jasnya saat di atas panggung, membuat beberapa karyawti ber-Ah ria menikmati pesonanya. Ia jua membetulkan posisi mic yang tadi digunakan Rima agar sejajar dengan tinggi badannya.

"Ehem..." dehemnya sebelum berbicara. Membuat karyawati semakin menggila hanya mendengar suara beratnya yang terdengar gagah.

"Cih ... mereka belum tahu saja gimana menyeramkannya saat kak Leo berteriak seperti toa," dengus Alice yang tak tahan melihat tingkah karyawati di ruangan itu. Rekka dan Kartika yang mengerti maksud Alice hanya bisa menahan tawa mereka.

"Selamat malam dan selamat datang kepada tamu undangan," sapanya sembari tersenyum menampakan gigi putihnya yang rata. "Saya sangat berterima kasih atas kehadiran dan antusias kalian akan acara tahunan perusahaan dan secara pribadi saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Rima sebagai pengagas awal ide acara ini beserta pidatonya tentang sebuah cinta." Leo berhenti sejenak memberi waktu pengunjung bertepuk tangan kepada Rima yang berdiri dari tempatnya sambil melayangkan senyuman.

"Seperti yang tadi dibicarakannya mengenai cinta, saya disini ingin menjawab berbagai pertanyaan yang sering terdengar di perusahaan ini mengenai pasangan saya." Leo terdiam memandang semua penonton yang mulai antusias begitu juga dengan Jessica yang duduk di tempatnya.

Jessica memandang tante Rima tak percaya akan maksud ucapan Leo yang tersembunyi. Tante Rima tersenyum kepada Jessica sembari menggengam tangannya bangga. Disisi lain Dimas menatap dongkol ke arah Jessica dan ibunya. Ia bersandar pada tempatnya duduk dengan suasana hati yang mulai buruk.

Sedangkan Kartika saat ini sedang sibuk berbicara dengan Alice sambil memakan makanan di depannya, tanpa mendengar ucapan Leo barusan.

'Sialan, kau Alice. Jangan mengalihkan perhatian Chika disaat penting,' batinnya mulai memaki Alice yang kini duduk di sebelah Kartika.

"Pada kesempatan bahagia ini, saya akan memperkenalkan secara resmi pasangan yang nantinya akan menemani saya sampai akhir. Wanita yang telah lama saya cintai dan saya cari beberapa tahun terakhir ini." Leo diam memberi jeda sambil memperhatikan suasana dimana saat ini Alice sudah berhenti berbicara dengan Kartika.

'Bagus!' batin Leo bersorak akan waktunya yang tepat.

"Kartika Aldila," ucap Leo lantang membuat semua penonton terdiam dan berikutnya semua mata tertuju ke meja yang di tunjuk Leo, "Kartika Aldila, tunangan saya."

Kartika tercengan tak percaya dengan apa yang ia dengar di tempatnya duduk. Hal yang ia takutkan terjadi, semua mata kali ini tertuju padanya. Keringat dingin mulai muncul perlahan di tubuhnya.

"Kak Kartika, naiklah ke atas panggung," ucapan Alice menyadarkannya. Ia menelan ludah dan menatap bingung ke kanan dan ke kiri. Rekka yang duduk di dekatnya hanya bisa menghela napas pendek, sepertinya lelaki bodoh di atas panggung tidak memperingatkan Kartika sama sekali akan rencananya.

"Crystal, bantu Kartika ke atas panggung," bisiknya kepada Crystal yang duduk di sampingnya. Crystal mengangguk. Ia meraih tangan Kartika untuk membantunya berdiri. Alice yang ada di samping Kartika ikut membantu, malahan dia yang menuntun Kartika naik ke atas panggung dan menyerahkannya kepada Leo yang menantinya, menggantikan tugas Crystal yang kembali duduk di tempatnya.

"Di hari spesial dan disini, saya ingin semua tamu undangan menjadi orang pertama akan kabar gembira dalam hidup saya," sambung Leo yang di sambut tepukan hangat para karyawan dan tamu undangan kecuali para karyawati yang menjadi penggemarnya.

Jessica yang merasa di permalukan langsung berdiri dari tempatnya dan keluar ballroom. Ia tidak terima atas apa yang dilakukan Leo kepadanya kali ini. Ia segera pengambil ponselnya dan menghubungi seseorang saat sudah berada di luar ruangan.

"Hallo?" Suara lelaki menyapa di sebrang sana.

"Apa kamu masih berminat mengenai informasi perusahaan RDK Corp.?" ucap Jessica segera tanpa basa basi.

"Bukankah kamu tidak tertarik bekerja sama denganku?"

"Dulu, tapi tidak sekarang. Aku akan membantumu mencari semua informasi yang kamu inginkan tapi dengan satu syarat."

"Apa itu?"

"Singkirkan wanita murahan yang telah merebut Leo dariku."

"Wanita murahan? Banyak wanita murahan di sekitarnya."

"Wanita murahan yang mengaku sebagai tunangannya malam ini."

"..."

"Bagaimana? Apa kamu bisa melakukannya?"

"Fine. Setelah kamu memberikan informasi yang aku butuhkan."

"Baik." Jessica langsung memutus sambungan dan bergegas pergi meninggalkan tempat yang telah mempermalukannya saat ini.

Di dalam ruangan, tepatnya di ujung meja makanan, Seseorang yang sedari tadi menata makanan menatap geram ke arah panggung, tempat Leo merangkul tubuh indah Kartika. Tubuh yang selalu ia inginkan selama ini.

"Lihat saja, aku akan mengambil milikku kembali," bisik lelaki itu dengan tatapan menyala.

I am getting old!

KeySiswantocreators' thoughts