1 The Escort

Hitam pekat.

Terduduk gamang di sudut ruangan besar tanpa sesulur pun kesedihan melekat. Tatap nanar jelas terlihat di matanya, terakhir kali menjadi sejarah dalam hidup. Biarlah obsidiannya menangkap refleksi nyata seseorang yang hampir sedekade tiada pernah dijumpainya. Memerah matanya menahan buncahan dahsyat dengan cekat suara, perih sangat bila berucap.

Seharusnya ia menangis seperti tiga saudaranya, saling merangkul, menyeka airmata yang tanpa henti mengalir dengan saputangan kain. Atau barangkali menemani-menguatkan ibunya yang entah telah berapa kali nyaris hilang kesadaran.

Alih-alih begitu, tubuhnya justru kaku. Sedu sedan di sekitarnya sama sekali tak mempengaruhi. Perasaan aneh yang meluap-luap, selaksa perangai yang hingga detik ini tak disenanginya terbayang macam foto-foto dalam diagframa lambat. Satu peristiwa ke peristiwa lain saling relevan.

Sesak timbul bukan karena rasa kehilangan, penyesalan, ataupun tersajak rindu. Melainkan di detik akhir, pria itu tak datang untuk mengakui dosanya. Kesedihan. Apatah pantas untuk menjabarkan remah hati hitamnya tentang pria itu? Mutlak kesedihan itu fana. Habis ditelan. Sebab yang ada hanya cabar negatif apatis akan utuhnya kebencian itu.

Terlalu rumit untuk diungkapkan, akan tetapi terlalu baik hati untuk dirinya genggam sendirian. Takkan ada satu pun yang mengerti. Ini getir kekanakan dari arogansi hidup yang didapatinya, ditanam oleh gunungan ego, dan termuat dalam jutaan potret sketsa.

Tawar hatinya demi memandang sebujur tubuh kaku terbaring damai. Peti terbuka, tampak di sana pria itu dalam balutan jas mewah sungguh gagah. Memejam rapat. Tak bernapas. Setiap orang dalam ruangan sedari tadi mengamati wajahnya, lantas cepat mengambil hipotesis sendiri. Tapi benarlah sudah yang mereka tarik simpul, akan jelas temukan kemiripan di parasnya saat coba bandingkan dengan kerupawanan pria itu. Dan ia benci.

"Semayamkan sekarang, sudah hampir petang. Aku akan jaga ibu kalian."

Suara parau mencicit itu mampu membuat tiga saudaranya menoleh, wanita sebaya itu baru saja menghampiri. Si sulung mengangguk lantas berdiri. Ia hanya menoleh tanpa minat sebelum akhirnya beranjak. Bukan untuk ikut memanggil petugas ambulans untuk jenazah segera diantarkan ke pemakaman keluarga, bukan pula untuk menatap wajah rupawan pria itu dari dekat, melainkan enggan melihat drama melankolis yang sama.

Emmanuelle. Adik perempuan dari pria itu--yang sedetik lalu berucap--kini menahan tangannya. Ia melirik tangannya sekilas, lantas menatap Emma dengan alis mengerut. Ia tak merasa apa yang dikehendakinya untuk pergi adalah hal yang tak wajar. Itu sungguh langkah benar, bukan?

"Pemakamannya... Sepuluh menit saja. Setelah itu kuizinkan kau pergi." pintanya dengan suara bergetar diujung kalimat.

Datar. Menurunkan tangan bibinya itu yang menahan tangannya dan pergi dari sana. Langkah ringan, satu hela sesak.

***

Munafik. Ia sendiri yang mengingkari. Hati dan benak tak selaras. Bagai dua kutub magnet yang saling menolak. Tak satu tuju.

Ia saksikan langsung, sendirian. Jauh di belakang kerumunan saudara, kerabat, dan wartawan yang berbaris tak rapi di belakang pembatas. Di sudut paling jauh, di sanalah ia berdiri menyaksikan bersekop-sekop tanah dijatuhkan dengan hati-hati di atas peti mati kayu pinus. Satu rangkaian doa dibaca dari buku pedoman kumal, dan tepat saat ini menghancurkan diri tanpa noktah sebagai akhiran.

Kilatan-kilatan cahaya kamera riuh bertabrakan di udara, suara tangis tak tertahankan.

Ia menunduk. Banyak yang tak dapat diucapkan. Menjadi suatu kesatuan terhimpun hening dalam hatinya. Sudahi perih, peti mati itu sudah sepenuhnya terkubur di tanah dengan nisan besar. Setidaknya ia telah meluluskan permintaan Emma. Dan dalih asal untuk apalagi dirinya masih belum beranjak dari tempat bahkan bukan lagi sepuluh menit.

Menghela getir lantas berbalik. Sejurus saja membekap mulutnya rapat-rapat. Menangis satu derai diikuti derai pilu lainnya. Tak kuasa bersandiwara dengan ego sendiri.

Untuk apa menangis?

Semakin ditahan justru semakin tergugu. Tanah saja yang ditatapnya, dunia tak boleh mendapatinya bahwa ia hanyalah seorang gadis naif. Malulah bila dunia menertawai tangisnya. Angkuh untuk diri mengakui bahwa hatinya tak benar-benar tawar.

Ia tak membekap mulutnya lagi. Menggigit bibir kuat-kuat untuk meredam Isak. Sesak akibat airmata sedu yang tertahan tak dipedulikannya.

"Untuk apa menangis?"

Ia mendongak. Dan kala itu, bersamaan dengan setetes airmata perih membasuh pipi. Ia menyadari seseorang telah menyaksikan kebodohannya. Tangis sedunya. Dihadapannya. Yang paling dibencinya.[]

avataravatar
Next chapter