1 Siapa Dia?

Sudah berapa tahun usiaku?

Kenapa setiap pagi aku masih harus minum susu?

Oh Mama ayolah anakmu ini sudah beranjak dewasa namun Mama masih saja memperlakukanku seperti anak TK. Eh kok rasa-rasanya dejavu ya? Seolah-olah yang terjadi saat merupakan sebuah kebalikan.

Tunggu, kalau tak salah ingat mungkin aku pernah mengatakan kalau sebesar apapun seorang anak, di mata orang tua mereka aku adalah seorang bayi bukan?

Haha maaf hampir saja aku melupakan fakta penting itu. Ah, kita belum saling mengenal jadi ijinkan 'Mama Boy' ini memperkenalkan diri.

Lee Jie-soe.

Nama yang begitu indah bahkan dengan marganya juga kan?

Itu nama belakang Papa. Kata Mama, dulu saat memberikan nama itu Papa mempertimbangkan keinginan beliau yang ingin agar anak-anaknya kelak memiliki marga.

Aish, kedengarannya Papanya adalah orang yang so sweet bukan?

Heleh itu mah hanya cerita versi dirinya sendiri. Kalau kalian tanya langsung pada Mama maka ceritanya sudah jelas akan berbeda haha.

Baiklah. Berhenti untuk perkenalannya, sekarang waktunya untuk mendaftarkan diri di sekolah menengah atas ini.

Di antara ribuan murid yang berlarian sambil membawa berkas laporan mungkin hanya aku satu-satunya yang terlihat santai. Iya secara langsung aku memang terlihat santai padahal aslinya tak jauh beda, deg-degan dan bingung harus bagaimana.

Namun, Mama sudah mewanti-wanti agar aku bersikap kalem saja dan memasukkan kedua tangan ke saku Hoodie yang tengah kupakai saat ini. Bahkan segala gaya pakaianku ini hasil karya Mama.

Sungguh aku tak paham kenapa setiap kali hendak berangkat sekolah dia harus melewati tes penampilan terlebih dahulu. Bukankah Mama benar-benar imut? Ahaha, andai saja aku lahir bersama dengan sang Papa mungkin akan lebih baik jika menjadi saingannya.

"Suu Suu!"

Aku berdecak kesal saat mendapat panggilan itu. Jelas itu ditujukan untukku dan aku tau siapa yang tengah memanggil dengan sebutan seperti itu.

"Hm," jawabku yang masa bodoh jika terdengar cuek.

Boleh menghujat kalau aku ini anak mama yang serba manja. Tapi memang begitulah faktanya, Mama tak pernah menuntutnya untuk menjadi anak baik namun lantaran sering mendengar cerita Mama secara tak sadar aku mulai membiasakan diri menjadi anak kesayangannya.

Walaupun aku sangat yakin meski tampil apa adanya Mama juga masih sangat menyayangiku. Namun, selama aku tak merasa terbebani bukankah menyenangkan hati Mama sudah seharusnya menjadi kewajiban?

"Dih Tante Putri nggak akan marah kali kalau lo biasa aja. Nggak perlu sok cuek gitu gue bukan orang baru nyet," ujar Gibran.

Ya dia Gibran anak kandung dari Bibi Annisa—teman Mama semasa SMA, yang beberapa waktu lalu pindah kemari mengikutiku dan Jeno putra Tante Tania—teman SMA Mama juga.

Selama ini kami bertiga, aku Gibran dan Jeno memang jarang berjumpa namun sering berkomunikasi dan membahas segala cerita lewat grup WhatsApp jadi ya sekali ketemu seakan-akan sudah sangat dekat. Dan untuk masalah ia yang ingin menjadi anak perfeksionis demi menyenangkan hati Mamanya, hal itu pasti Gibran dengar dari Paman Dewa.

Ah, silsilah pertemanan mamanya cukup rumit tapi yang mamanya bilang itu benar. Semuanya masih kerabat sehingga tidak ada yang perlu dicemaskan.

Tapi ngomong-ngomong, sejak kapan sang Paman satu itu seperti ember bocor? Baru satu menit dia mendapat cerita dan menit berikutnya sudah diketahui oleh seluruh dunia.

Namun dibandingkan dengan Paman Dewa—suami Bibi Annisa, ya lebih baik Om Galen—suami Tante Tania, kemana-mana selalu bawa Mamanya Jeno jadi mereka tak bisa terlalu dekat. Apalagi Tante itu sedikit rempong, nyebelin banget suer.

Tenang saja dia masih tau batasan karena sejauh Mamanya masih berlanjut menceritakan tentang anaknya Bu Dian.

"Jeno nggak ikut?" tanyaku mengalihkan topik.

"Paling juga dia di anterin sama nyokapnya, lo kan tau gimana posesifnya emak-emak satu itu. Hadeh untung aja gue punya kakak kalau enggak mampus dah harus di gituin."

Entah kenapa aku bisa tertawa ngakak mendengar penjelasan Gibran ini. Ya memang dia memiliki kakak yang juga masih anak SMA, kata mama dulu Paman Dewa memang ingin anak gadisnya masih sekolah ketika adiknya mulai masuk SMA. Padahal kalau tak menuruti keinginan konyol Paman mungkin kakaknya Gibran yang cantik itu kini sudah bisa menjadi wanita kantoran haha.

Namun ada bagusnya karena entah gimana ceritanya kami kini bisa menjadi adik kelas kakaknya Gibran. "By the way mau ngambil jurusan apa?"

Dapat kulihat Gibran seolah sedang memikirkan sesuatu padahal aku tau kalau dia hanya sedang membodohiku. Kenapa kukatakan dia sedang membodohiku, karena kami bertiga sudah diwajibkan masuk ke jurusan IPA.

Lagi dan lagi orang tua kami lah yang memutuskan segalanya. Tak apa, toh memang sudah tahan banting kok kami bertiga.

"IPA aja deh," jawab Gibran.

Aku menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban sok polos itu keluar dari mulutnya. Hadeh punya temen gini amat, by the way temanku dari SMP tak ada yang meneruskan sekolah kemari jadilah teman-temanku nanti hanya dua kunyuk ini.

Mama bilang bertiga lebih baik, selalu saja Mama yang sok mengatur padahal Bibi Annisa jauh lebih tua darinya. Terkadang aku heran, kok betah sih mereka temenan sama Mama-ku?

"Lo udah daftar online kan nyet?" tanya Gibran yang kubalas dengan anggukan.

Aku, eh maksudnya kan kami bertiga memang sama-sama sudah mendaftar tadi malam lewat website resmi PPDB. Atas saran dari Bibi Annisa—mamanya Gibran kami mendaftar melalui jalur prestasi.

Wekaweka padahal nilai ijazah kami tak bagus loh namun berkat semangat Mamanya bocah ini aku jadi sangat yakin saat ini.

"Kita tinggal ngumpulin doang terus lo ngapain masih berdiri di sini sejak tadi?"

Aku menahan tawa mendengar pertanyaan yang Gibran ajukan tadi. Maunya sih segera mengumpulkan data-data yang sudah ku print dadakan tadi pagi.

Namun ternyata ada aturan baru di mana harus ada panggilan terlebih dahulu sebelum mengumpulkan berkas pendaftaran ini.

"Lo nggak lihat?"

"Lihat apaan sih, Suu Suu?"

"Eh anjir udah gue bilang nggak suka dipanggil susu ya, berasa manusia sengklek gue," kataku kesal.

Ya habisnya dia memanggilku begitu sih. Jadinya kan fokusku teralihkan.

"Jielah kan biasanya juga Om Gallen masih sering manggil lo dengan sebutan Suu Suu. Cocok banget njir manggil lo kek gitu hahaha," celoteh bocah sialan ini.

Aku hanya bisa mengelus dada mencoba menyabarkan hati agar tak menghajar anak orang detik ini.

"Dah lah nyet diem aja lo tuh."

"Iye gue diem nih."

"Nyari minum yok!" ajakku yang mungkin sedikit bersemangat.

Yang tadi dipanggil urutan nomor 54 dan urutan nomerku 230 jadi sabarkan hati lagi saja.

"Emang kantin buka?"

"Ya kagak lah nyet."

"Lah terus nyari minum di mana?" tanya Gibran padaku.

"Di kamar mandi wahhahahak," jawabku lantas aku terbahak-bahak sambil menikmati dia yang terus mengumpat dan mengatakan kalau aku setan. Ya salah siapa dia nggak fokus tadi wekaweka.

Dug!

Hampir saja aku memeluk Gibran lantaran ada seseorang yang menabrak bahuku dengan begitu kencang.

"Woy setan bang—"

Umpatan-umpatan yang telah kusiapkan seolah hilang di detik yang sama saat dia mendongakkan wajahnya.

"Maaf," ucapnya lantas berlalu pergi begitu saja.

Bahkan setelah punggungnya menghilang ditelan kerumunan orang aku masih tak dapat mengalihkan pandangan. Dia, siapa?

Apa dia bidadari surga yang dikirimkan tuhan sebagai menantu Mama?

-BERSAMBUNG-

avataravatar
Next chapter