webnovel

Hello, Future!

Melva Laksamana namanya. Gadis berparas cantik yang selalu tampil dengan wajah ceria. Selama ini Melva tinggal bersama Nabila dan Tyas—dua perempuan yang mengontrak di rumahnya. Selain cantik, Melva juga pandai entah dalam akademik maupun bergaul dengan lingkungannya. Pembawaannya yang friendly membuat gadis ini mempunyai banyai teman hingga orang-orang orang penting sekalipun. Melva yang tinggal menunggu waktu wisudanya, mengisi waktu senggang menjadi seorang video editor untuk matakuliah kewarganegaraan salah satu dosen di kampusnya dan juga mengajukan magang pada salah satu perusahaan yang baru masuk ke indonesia. Tak lain CEO perusahaan tempat ia magang adalah anak dosennya sendiri—Abrar Wijaya Kusomo. Laki-laki yang selalu berpenampilan rapi dan dikenal cukup dingin sekaligus tegas kepada karyawannya. Namun perlu digarisbawahi bahwa semua itu tidak berlaku untuk Melva. Melva mampu menghadirkan tawa pada bibir yang enggan untuk sekedar tersungging tipis. Selalu ada saja kelauan gadis yang selalu disebutnya aneh tersebut yang membuatnya tak bisa menahan senyumnya. Abrar sering memanfaatkan Melva untuk kepentingan bisnisnya, tentu saja dalam hal negosiasi mengingat relasi Melva yang tidak main-main. Padahal ia hanya gadis belia yang bahkan belum lulus kuliah. Itulah yang membuat Abrar heran dengan koneksi gadis tersebut. Menurut ayahnya yang tak lain adalah dosen Melva bahwa Melva adalah gadis yang pintar, bahkan cukup pintar mengingat gadis tersebut diangkat menjadi asisten kepala jurusannya. Bahkan Melva sering diajak kolaborasi atau dilibatkan dalam proyek di kampus. Melva sendiri tidak pernah keberatan ketika Abrar mengatakan bahwa ia memanfaatkan gadis tersebut. Justru ia mengatakan bahwa ia hidup atas asas kebermanfaatan. Namun satu peristiwa dimana Melva mendaratkan tamparan telak pada calon investor yang selama ini Abrar gadang-gadang untuk bekerja sama dengan perusahaannya membuat Abrar marah besar hingga tidak sadar mempermalukan gadis tersebut di tem

miss_n · Urban
Not enough ratings
17 Chs

Hello, Future! 6

Melva baru saja keluar dari ruangan yang membuat spot jantungnya bekerja dua kali-lipat. Bukan. Bukan ia bertemu dengan sang pangeran, melainkan ia baru saja selesai diintrogasi alias wawancara. Dan yang membuat dia menekuk wajahnya adalah karena pewawancara itu adalah Abrar dan HRD perusahaann yang didatangkan langsung dari Australia sana katanya mereka sengaja datang agar karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut tersaring dan terseleksi sesuai dengan standar perusahaan tersebut. Kenapa Melva mengetahuinya? Karena mereka sempat menjelaskan siapa mereka disana.

Sebenarnya bukan masalah pada siapa yang mewawancarainya. Tapi karena Abrar mengeluarkan pertanyaan yang sempat ia protes saat makan malam di rumah laki-laki itu. Entah Abrar sengaja atau tidak, karena ia menemukan senyum miring Abrar selepas melontarkan pertanyaan tersebut. Dan pertanyaan tersebut adalah 'Apakaha Anda sudah mempunyai pengalaman?' Jelas di CVnya bahwa ia tak pernah terjun ke lapangan secara langsung.

Namun terlepas dari itu semua Melva cukup tercengan karena saingannya ternyata sangat banyak, bahkan beberapa dari mereka yang ia ketahui saat berkenalan adalah lulusan luarnegeri dari kampus ternama. Ada gurat bangga dari wajah mereka ketika menyebutkan nama asal kampus mereka. Maka Melva juga tak mau kalah memamerkan kampus asalnya dan prestasi yang kampusnya raih yang sudah sangat mendunia. Melva bangga dengan mereka, karena bagaimanapun mereka sukses menempuh pendidikan mereka di luar.

Kemudian Melva melihat seorang OB yang sudah cukup tua kesusahan mendorong stroler tempat kain pel dan segala perlengkapan bersih-bersihnya. Dengan sigap Melva mendekati laki-laki dengan seragam biru bertuliskan office boy di punggungnya. Ia membiarkan ransel lusuh yang menemaninya sejak tujuh tahun lalu menggantung di depan tubuhnya bukan seperti layaknya dipakai.

"Assalamualai'kum, Bapak." Sapa Melva.

"Wa'alaikumussalam, Neng." Jawab Bapak Rusli, tertulis di dada baju bagian kiri.

"Mari, Pak, saya bantu." Ucap Melva sambil menarik bagian depan dari stroler perkakas tersebut.

"Lho, Neng, tidak usah." Tolak Bapak tersebut tidak enak.

"Ah, tidak apa-apa, pak. Lagian saya juga mau ke bawah."

"Neng sudah selesai wawancaranya?"

"Sudah dong, Pak." Kata Melva bangga, ia bahkan sudah lupa dengan kejengkelannya beberapa saat yang lalu. Ketika Melva menarik stroler tersebut ternyata benar-benar berat. Namun ada yang mengganjal karena seharusnya ini tidak masalah saat di tarik, maksudnya tidak akan seberat ini. Saat ia melihat ke bawah ke arah roda ia melihat ada kain yang menggulung di rodanya yang mempersulit roda tersebut berputar. "Sebentar, Pak." Cegat Melva kemudian berjongkok melepas kain yang sudah terlilit erat tersebut. "Ini ada kain yang terlilit di rodanya, mungkin itu yang membuatnya sulit bergerak dan akhirnya bertambah berat." Imbuhnya menunjuk ke arah kain yang berusaha di tariknya.

"Ya ampun, Neng. Bapak benar-benar tidak tahu." Bapak Rusli menepuk jidatnya sendiri, pelan.

"Bapak saja, Neng." Kata Rusli hendak mengambil alih.

"Saya saja, Pak." Cegah Melva ketika melihat Rusli hendak menjokok. Beberapa saat kemudian kain tersebut cukup tebal dan sedikit sulit untuk diurai. Namun bukan Melva namanya jika hal kecil seperti itu tidak mampu diselesaikan. "Bapak duduk di kursi itu dulu." Pinta Melva agar Rusli istirahan sejenak.

Hendak membantah, Melva langsung memotongnya. "Lilitannya cukup erat, Bapak istirahat dulu." Mau tidak Mau Rusli mengikuti perintah dari si neng muda yang baik hati membantunya. Bahkan menemukan biang masalahnya pada roda di bawah sana. Sementara itu Melva melihat Pak Rusli dengan senyum penuh arti. Sengaja ia berlama-lama untuk menyingkirkan kain tersebut agar Rusli bisa beristirahat sejenak.

"Sedang apa kamu di situ?" Abrar menatapnya heran. Laki-laki tersebut sudah digantikan oleh karyawannya yang lain untuk melanjutkan sesi wawancara bagiannya, ia hendak kembali ke ruangannya. Namun ia melihat seseorang yang seperti ia kenal sedang berjongkok dengan tangan yang terulur di roda stroler itu. Ternyata dugaannya benar bahwa itu Melva.

Melva mendongak untuk melihat pemilik suara bariton yang menegurnya. Hanya sekilas sebelum tangannya melanjutkan kerjanya. "Ada kain nyangkut di rodanya, Om, eh Pak." Jawab Melva.

"Kain nyangkut?" Ulang Abrar.

"Iya nih, Om, eh Pak." Jawab Melva ia sudah terbiasa menyebut Abrar dengan sebutan Om dan mulutnya terpleset saja dari tadi. Untung saat wawancara dapat terkondisi dengan baik. "Ini kainnya sudah melilit rumit." Katanya.

"Rumit?" Sejak tadi Abrar mengulang setiap inti dari kelimat yang ia keluarkan dengan membubuhkan tanda tanya di ujungnya membuat Melve meliriknya sekilas dengan tatapan sebal.

"Iya rumit kayak hidup Om." Gumamnya pelan namun masih bisa didengar jelas oleh Abrar.

"Apa kamu bilang?" Sarkas Abrar.

"Saya tidak bilang apa-apa, Pak." Sanggahnya. Kemudian ia menarik kain tersebut dan akhirnya terlepas, menggoyang-goyangannya diudara dengan tangan kanan dengan senyum bahagia karena ia berhasil. "Berhasil!" Ucapnya, lalu Melva menghampiri Bapak OB tadi.

"Sudah, Pak!" Serunya, matanya berbinar bahagia.

Pak Rusli bersyukur, tapi bapak tersebut menatap tidak enak kepada Melva dan ia baru menyadari kehadiran Bosnya yang berdiri dan menatap tajam ke arah mereka berdua. "Terima kasih, Neng. Terima kasih banyak." Kata Rusli. Ia menunduk memberi hormat pada Abrar yang masih berdiri di dekat stroler tersebut. Melva meletakkan kain itu bersama dengan benda-benda kebersihan di atas stroler.

Melva membuka tas yang menggantung di depannya. "Ini buat bapak." Kata Melva mengulurkan sebuah kotak berisikan beberapa kue dan air yang di dapatnya sebelum wawancara tadi.

"Wah, jangan neng. Terima kasih." Rusli semakin tidak enak apalagi ada si bosnya di situ yang masih menatap mereka datar.

Melva tak menyerah, "Saya sudah ambil nih, Pak, saya pasti tidak bisa habis ini." Ada berbagai jenis kue dalam kotak tersebut. "Nanti mubazir. Kalau bapak nggak ambil saya mau nangis aja." Ancam Melva. Abrar menelan salivanya agar tidak tertawa saat ini juga. Siapa yang memberi, siapa yang nangis. Lagian ancaman macam apa itu?

Akhirnya Rusli menerima kotak berisikan kue-kue tersebut. Senyum Mengembang. Rusli pamit kepada bosnya dan Si Neng baik katanya sambil membawa serta strolernya yang sekarang jauh lebih mudah dan ringan.

"Saya juga pamit, Pak Bos, saya mau pulang." Kata Melva setelah mengantar kepergian Rusli dengan matanya hingga bapak tersebut masuk dalam lift yang entah membawa Rusli ke lantai atas atau bawah.

"Mau pulang kemana kamu?"

Emangnya kalau saya pulang ke hati Om, saya bakalan dikasih pintu? Gumam batinnya. "Pulang ke rumah, Pak Bos." Jawab Melva selanjutnya.

"Saya kira kamu mau pulang ke hati saya." Lucu? Tentu saja jika laki-laki itu berkata sambil tersenyum atau tertawa. Masalahnya Abrar mengatakan hal tersebut datar saja. Krik-krik-krik.

"Nggaklah, Pak, tatapan bapak aja sudah dingin apalagi hati bapak, kayak di antartika bisa-bisa saya beku." Melva menanggapi dengan kekehan jenaka seperti biasa.

"Memangnya kamu sudah pernah pergi?" Tanya Abrar.

Kekehan Melva berhenti lalu menatap Abrar penuh tanya, "Kemana, pak?"

"Ke Antartika lah."

"Oh, saya kira ke hatinya, Bapak. Saya kayaknya mending ke hatinya bapak daripada Antartika. Setidaknya ada Ibu Arini yang akan memeluk saja jika saya kedinginan." Abrar tertawa sejenak. Untung saja sepi di lantai tersebut, bisa-bisa hilang image cool yang sudah ia bangun.

Selama kurang dari sebulan ini ia belum pernah bertemu dengan satupun karyawan yang dengan berani menjawabnya, mengajaknya bercanda apalagi. Pun ketika di Ausie tak ada satu karyawan pun berani menjawabnya jangankan untuk menjawab mereka menatap matanya saja enggan. Hanya Melva seorang. Catat, HANYA MELVA! Sepertinya memuseumkan gadis itu adalah ide yang tepat.

***

Tbc