webnovel

Hello, Future!

Melva Laksamana namanya. Gadis berparas cantik yang selalu tampil dengan wajah ceria. Selama ini Melva tinggal bersama Nabila dan Tyas—dua perempuan yang mengontrak di rumahnya. Selain cantik, Melva juga pandai entah dalam akademik maupun bergaul dengan lingkungannya. Pembawaannya yang friendly membuat gadis ini mempunyai banyai teman hingga orang-orang orang penting sekalipun. Melva yang tinggal menunggu waktu wisudanya, mengisi waktu senggang menjadi seorang video editor untuk matakuliah kewarganegaraan salah satu dosen di kampusnya dan juga mengajukan magang pada salah satu perusahaan yang baru masuk ke indonesia. Tak lain CEO perusahaan tempat ia magang adalah anak dosennya sendiri—Abrar Wijaya Kusomo. Laki-laki yang selalu berpenampilan rapi dan dikenal cukup dingin sekaligus tegas kepada karyawannya. Namun perlu digarisbawahi bahwa semua itu tidak berlaku untuk Melva. Melva mampu menghadirkan tawa pada bibir yang enggan untuk sekedar tersungging tipis. Selalu ada saja kelauan gadis yang selalu disebutnya aneh tersebut yang membuatnya tak bisa menahan senyumnya. Abrar sering memanfaatkan Melva untuk kepentingan bisnisnya, tentu saja dalam hal negosiasi mengingat relasi Melva yang tidak main-main. Padahal ia hanya gadis belia yang bahkan belum lulus kuliah. Itulah yang membuat Abrar heran dengan koneksi gadis tersebut. Menurut ayahnya yang tak lain adalah dosen Melva bahwa Melva adalah gadis yang pintar, bahkan cukup pintar mengingat gadis tersebut diangkat menjadi asisten kepala jurusannya. Bahkan Melva sering diajak kolaborasi atau dilibatkan dalam proyek di kampus. Melva sendiri tidak pernah keberatan ketika Abrar mengatakan bahwa ia memanfaatkan gadis tersebut. Justru ia mengatakan bahwa ia hidup atas asas kebermanfaatan. Namun satu peristiwa dimana Melva mendaratkan tamparan telak pada calon investor yang selama ini Abrar gadang-gadang untuk bekerja sama dengan perusahaannya membuat Abrar marah besar hingga tidak sadar mempermalukan gadis tersebut di tem

miss_n · Urban
Not enough ratings
17 Chs

Hello, Future! 7

Abrar memperhatihan tubuh seseorang yang berdiri menunggu lift untuk membawanya entah ke lantai berapa yang akan dituju. Tubuh yang berbalut gamis berwarna pastel senada dengan jilbab panjang yang menutupi hampir setengah dari tubuh mungilnya, ransel yang dipakainya secara terbalik, bukan di punggung justru di depan tubuhnya. Dangan jangan lupa sepatu kets dari salah satu brand ternama dunia entah keluaran pada abad ke berapa, Abrar sendiri sudah tak pernah melihat bahkan banyangannya dibelahan bumi manapun yang pernah ia kunjungi. Kecuali hari ini. Sepatu kets dengan warna yang sudah memudar namun tetap bersih dan terlihat terawat dengan baik.

Setelah ia tahu siapa pemilik tubuh itu Abrar sengaja berdiri tepat di samping gadis tersebut. Namun sepertinya gadis di sampingnya itu tidak menyadarinya, lihat saja sekarang bahkan pandangan gadis tersebut masih tertuju pada kertas di tangannya. Iseng, Abrar mengintip sedikit apa kiranya yang dibaca oleh gadis tersebut. Postur tubuhnya yang jauh lebih tinggi mempermudahnya untuk dapat melihat dengan jelas.

Seulas senyum terukir dibibir laki-laki tersebut saat tahu bahwa gadis itu sedang menghafal, terdengar suara kecil samar-samar dari mulutnya. Gadis itu akhirnya menengok ke arahnya, mungkin tidak sengaja karena lift juga belum kunjung terbuka. Matanya melotot dengan senyum jenaka yang biasa dilihatnya.

"Assalamualai'kum, Bapak CEO!" Sapanya kelewat semangat hingga beberapa karyawan yang baru datang melihat ke arah mereka. Sadar akan kesalahannya, ia juga menyapa karyawan-karyawan tersebut menunduk sopan. "Halo Mbak-mbak cantik dan mas." Sapanya.

"Wa'alaikumussalam." Abrar hanya menjawab salam.

Saat pintu akhirnya terbuka, Melva masih berdiri begitu pula dengan Abrar yang mengernyit heran kenapa Melva masih saja berdiri.

"Bapak tidak masuk?" Tanya Melva. Padahal Abrar baru akan mengajukan pertanyaan yang sama. Namun ia sudah keduluan. Ia masih sangat paham tata krama, laki-laki itu adalah bosnya, jadi sudah sepantasnya bosnya yang harus masuk terlebih dahulu.

Abrar yang paham akan situasi akhirnya melangkah lebih dulu baru kemudian di Melva dan beberapa orang yang tidak Abrar ketahui karyawan di perusahaan mana mereka. Sebab gedung yang menjadi tempat perusahaannya berdiri itu hanya ia sewa dua lantai yaitu di lantai enam dan tujuh dari 31 lantai yang tersedia di Gold Tower nama gedung tersebut.

"Bapak lantai berapa?" Tanya Melva.

"Tujuh." Jawab Abrar singkat, padat, teramat sangat Jelas. Melva membantu menekal tombol lift. Dari sekian banyak orang yang ada dalam lift tersebut tak ada yang bersuara atau sekedar saling menyapa. Inilah suasana canggung yang tidak Melva sukai.

Setelah keluar dari zona membosankan itu Melva langsung bergabung dengan beberapa orang yang merupakan karyawan baru seperti dirinya untuk melakukan brieffing pagi dan menentukan dimana mereka akan di tempatkan. Walaupun sudah jelas pada devisi mana mereka akan di tempatkan tetap saja dalam satu devisi akan mempunyai tugas yang berbeda.

Kedatangan Melva mampu menarik perhatian dari orang-orang yang tengah berdiri dengan blazer hitam rapi seperti layaknya orang orang kantoran. Semua mata memandanginya aneh, memperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Melva yang menyadari diperhatikan seperti itu mengangkat alisnya kemudian melihat penampilannya sendiri. Tak ada yang salah menurutnya. Gamis panjang, jilbab yang sudah ia setrika subuh tadi walaupun sudah ia mempunyai kebiasaan untuk menyetrika pakaiannya ketika diangkat dari jemuran dan sebelum masih lemari.

"Nona...."

Wanita yang berdiri di depan barisan sana melihat ke arah Melva dan hendak memanggil nama gadis tersebut. "Melva Laksamana. Melva saja, bu." Melva seolah mengerti akan maksud dari panggilan 'Nona' itu.

"Baiklah, Nona Melva. Anda dari devisi mana?" Tanya wanita itu. Dia bukan wanita yang judes yang penuh dengan intimidasi melainkan sangat terlihat ramah dan bersahabat. Tipikal HRD yang banyak diimpikan banyak orang menurut Melva.

"IT, Bu." Jawab Melva mantap. Ia menyebut devisinya dengan nada bangga.

"Apakah Anda tidak merasa bahwa Anda salah kostum di hari pertama kerja sekarang ini?" Tanya wanita itu lagi.

"Tidak." Jawab Melva ringan yang semakin mengundang tatapan nanar dari berbagai pihak. "Tidak, karena aku sudah menanyakan perihal berpakaian ketika wawancara minggu lalu. Dan perusahaan ini menegasnya memberi kebebasan kepada karyawan tentang bagaimana kami berpakaian dengan catatan kami harus rapi dan sopan." Melva menjelaskan panjang lebar.

Wanita itu terdiam, kemudian mengangguk singkat.

***

Setelah brieffing pagi tadi, di sinilah Melva sekarang. dalam ruangan sekitar tiga kali empat meter full AC dan berbagai macak pernak-pernik komputer. Hanya ada enam orang dalan ruangan tersebut, ada enam meja yang saling berhadapan dengan komputer di atasnya. Melva mendapatkan komputer pada sisi kanan paling pinggir. Hanya ada tiga perempuan termasuk dirinya. Ia sudah mengenal dan memperkenalkan diri pagi tadi, tepatnya dikenalkan oleh Bu Hanin yang memimpin brieffing dan sempat menanyakan perihal pakainannya.

Orang-rang di lingkungan barunya terumatam dalam devisi IT menyambutnya dengan baik walaupun mereka sempat protes terhadap cara berpakaian Melva. Dasarnya Melva memang orang sangat friendly, jadi tidak sulit baginya untuk menyesuaikan diri.

"Melva, kamu nggak ke kantin?" Tanya Mbak Rida namanya, rekan satu devisinya. Wanita satu anak masih berumur tiga tahun yang katanya ingin dijodohkan dengan Melva.

"Nanti aja, Mbak." Kata Melva melihat Rida sejenak sebelum matanya kembali menatap layar komputer di depannya.

"Ya sudah, nanti kalau mau nyusul kita di lantai cafetaria lantai 5, ya, Mel." Ujar Rida.

Melva mengangkat ibu jarinya, "Siap, Mbak cantiq." Sengaja memakai Q diujung kata cantiq yang ia ucapkan.

Tinggallah ia seorang dalam ruangan tersebut, matanya fokus pada berbagai macam folder yang teramat sangat berantakan menurutnya. File-file banyak tidak disusun sesuai dengan kegunaan dan fungsinya. Inilah pekerjaannya sekarang karena sejak pagi ia belum menerima tugas yang terllau berat kecuali fotocopy beberapa dokumen tadi. Tenang saja, mereka tidak mengerjai Melva dengan menyuruhnya fotocopy atau buat kopi, hanya saja tadi ia sendiri yang menawarkan diri karena belum ada pekerjaan yang dapat diberi. Melva masih diminta untuk belajar menyesuaikan diri dan pelan-pelan belajar bagaimana devisi tersebut bekerja.

Lalu dering telepon berbunyi membuyarkan konsentrasi gadis tersebut. Tanpa berpikir panjang, gagang telepon yang berada di atas meja kerja kepala devisinya itu ia dekatkan ke telinga sehingga berganti menjadi suara orang di sana.

"Selamat siang, Melva di sini." Jawabnya. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya untuk memastikan bahwa sekarang masih waktunya istirahat.

"Oh iya, Mbak Melva. Saya Dita, dari bagian Finance, Mbak. Komputer saya kok nggak bisa akses data yang ada di server ya, Mbak?"

Melva langsung melihat pada komputer Toto yang merupakan kepala Devisni IT. "Sebentar, ya, Mbak Dita. Saya coba menghubungi Pak Toto sebentar, saya masih belum punya akses ke sana soalnya." Jelas Melva. "Sebentar lagi saya hubungi Mbak Dita lagi." Tambahnya, sementara satu tangan lainnya yang bebas memegang ponsel dan mencari nama Toto di WAG yang tadi ia dimasukkan oleh Rida.

Setelah ketemu segara gadis tersebut mendial nomornya. Tak lama seorang laki-laki di seberang sana menjawab teleponnya. Kemudian ia menjelaskan situasi Dita yang tadi melapor. Setelah mengakhiri, Melva langsung keluar dari ruangannya menuju lift yang akan membawanya ke bagian Finance di lantai tujuh.

Dilantai tujuh ternyata lebih luas, dari tempatnya berdiri ia dapat melihat aktivitas beberapa orang-orang yang berada di lantai tersebut karena hanya di batasi dengan kaca bening sebagai sekat masing-masing ruangan. tidak seperti di lantai enam. Tepatnya hanya ruangan IT saja yang terkesan tertutup karena selain pintu semuanya semuanya tembok putih yang di cat sedemikian rupa hingga membentuk pola abstrak yang mungkin bernilai seni tinggi. Sementara Melva tidak ada seni-seninya, ia justru pusing melihat pola-pola yang ada.

"Kamu mau jadi patung berdiri di situ?" Suara itu mengalihkan perhatiannya. Ia juga baru sadar jika ia sudah berdiri entah berapa lama di tempatnya berdiri.

"Saya sedang cari ruang finance, Pak." Julur Melva. Ingin sekali ia menanyakan kepada Abrar, tapi rasanya tidak enak mengingat Abrar itu Big Boss di situ. Setelah lama berdebat dengan batinnya sendiri, akhirnya ia iseng menanyakannya siapa tahu Bosnya tersebut sedang berbaik hati, "Bapak bisa memberi saya petunjuk tidak?" Tanyanya pelan.

"Tidak. Cari sendiri!" Sentak Abrar tanpa berpikir. Lalu pergi meninggalkan Melva yang terbengong mendengar jawaban langsung tanpa jeda laki-laki itu.

Akhirnya ia mencari sendiri, tenyata menanyakan Abrar bukanlah solusi atau ia yang salah sendiri. Ia mengedikkan bahu melanjutkan pencariannya ternyata ruangan tersebut ia temukan dengan Dita yang sudah menunggu di depan ruangan.

"Ini bukan karena servernya, Mbak." Melva mulai mejelaskan. "Tapi ini karena aplikasinya di block, mungkin pas mbak buka aplikasi lain yang ternyata adalah virus."

"Iya, Mbak Melva. Tadi sebelum saya buka itu memang ada pesan gitu tapi aku abaikan aja soalnya biasanya gitu." Dita seolah membenarkan apa yang Melva katakan.

Melva mengangguk, "Melva aja, Mbak." Matanya sibuk meneliti dan mengetikkan sesuatu yang tidak Dita mengerti. Melva sendiri sudah paham, Dita bukan satu-satu orang yang akan menanggapi hal tersebut jika ada semacam pesan peringatan yang muncul komputer. Kebanyak dari orang terutama mereka yang tidak punya background IT juga sering kali mengabaikan saja pesan tersebut tanpa mau repot membacanya.

Beberapa saat kemudian Melva menyelesaikan dengan baik pekerjaan pertamanya. Dita yang sudah berkeringat karena takut data yang sebelumnya ia kerjakan tidak tersimpan. Karena data itu cukup penting untuk proposal yang akan divisinya ajukan.

"Sudah, Mbak Dita. Datanya yang mbak kerjakan juga masih ada. Nanti kalau ada pesan semacam itu lagi yang mbak tidak mengerti kirim saja ke saya, Mbak. Nanti biar saya bisa bantu." Melva tersenyum.

"Terima kasih banyak, Melva. Terima kasih banyak." Dita tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya karena itu artinya ia tidak akan akan dimarahi.

"Permisi, kamu Melva, bukan?" Tanya seorang laki-laki berkacamata yang masuk dengan membawa cangkir berwarna putih di tangan kanannya.

Melva mengangguk membenarkan.

"Kamu dipanggil ke ruangan Pak Abrar." Lanjutnya.

"Siap, Pak." Kata Melva penuh semangat.

"Mas Dion saja. Masa saya masih muda begini dipanggi Pak sih." Celetuk lagi-laki tersebut yang langsung mendapatkan lemparan kertas dari rekan-rekannya yang lain sekaligus sorakan protes dari mereka.

"Baik, Mas Dion. Permisi semua. Saya memenuhi panggilan Bos Abrar dulu." Sambungnya pelan seolah takut terdengar oleh banyak orang. Padahal suaranya sangat jelas terdengar oleh satu ruangan itu.

"Sering-sering main ke sini, Melva. Nanti Mas traktir!" Seru Dion ketika Melva sudah di ambng pintu. Untuk kedua kalinya Dion mendapatkan lemparan kertas dari teman-temannya. Ia mendengus menatap sinis satu persatu teman devisinya tersebut.

"Iya, Mas Dion. Kalau divisi ini sudah jadi taman aku bakalan main ke sini lebih sering." Jawab Melva membuang kata saya baginya mereka welcome terhadapnya sebagai teman sepejuangan.

"Adem banget lihat yang kayak gitu di kantor ini." Celetuk salah satu mereka lagi pasca menghilangnya Melva dari runagn tersebut, dan langsung mendapat toyoran dari Dita dan cibiran dari Dion.

***

Tbc