webnovel

Hello, Future!

Melva Laksamana namanya. Gadis berparas cantik yang selalu tampil dengan wajah ceria. Selama ini Melva tinggal bersama Nabila dan Tyas—dua perempuan yang mengontrak di rumahnya. Selain cantik, Melva juga pandai entah dalam akademik maupun bergaul dengan lingkungannya. Pembawaannya yang friendly membuat gadis ini mempunyai banyai teman hingga orang-orang orang penting sekalipun. Melva yang tinggal menunggu waktu wisudanya, mengisi waktu senggang menjadi seorang video editor untuk matakuliah kewarganegaraan salah satu dosen di kampusnya dan juga mengajukan magang pada salah satu perusahaan yang baru masuk ke indonesia. Tak lain CEO perusahaan tempat ia magang adalah anak dosennya sendiri—Abrar Wijaya Kusomo. Laki-laki yang selalu berpenampilan rapi dan dikenal cukup dingin sekaligus tegas kepada karyawannya. Namun perlu digarisbawahi bahwa semua itu tidak berlaku untuk Melva. Melva mampu menghadirkan tawa pada bibir yang enggan untuk sekedar tersungging tipis. Selalu ada saja kelauan gadis yang selalu disebutnya aneh tersebut yang membuatnya tak bisa menahan senyumnya. Abrar sering memanfaatkan Melva untuk kepentingan bisnisnya, tentu saja dalam hal negosiasi mengingat relasi Melva yang tidak main-main. Padahal ia hanya gadis belia yang bahkan belum lulus kuliah. Itulah yang membuat Abrar heran dengan koneksi gadis tersebut. Menurut ayahnya yang tak lain adalah dosen Melva bahwa Melva adalah gadis yang pintar, bahkan cukup pintar mengingat gadis tersebut diangkat menjadi asisten kepala jurusannya. Bahkan Melva sering diajak kolaborasi atau dilibatkan dalam proyek di kampus. Melva sendiri tidak pernah keberatan ketika Abrar mengatakan bahwa ia memanfaatkan gadis tersebut. Justru ia mengatakan bahwa ia hidup atas asas kebermanfaatan. Namun satu peristiwa dimana Melva mendaratkan tamparan telak pada calon investor yang selama ini Abrar gadang-gadang untuk bekerja sama dengan perusahaannya membuat Abrar marah besar hingga tidak sadar mempermalukan gadis tersebut di tem

miss_n · Urban
Not enough ratings
17 Chs

Hello, Future! 2

Melva kembali mengetuk pintu padahal sudah sering diingatkan untuk masuk saja tanpa perlu mengetuk pintu lagi. Tapi dasarnya Melva kadang tidak enakan dan tetap menghormati pemilik rumah, jadi ia tetap melakukan hal tersebut saat datang ke rumah dosennya itu. Hari ini ia datang setelah dijemput oleh supir dari pemilik rumah gedongan tersebut, pasca kemarin ia dimarah oleh Bapak Wijaya dan juga Arini karena jalan kaki dari rumahnya, sangat jauh kata mereka. Padahal bagi Melva tidak sejauh itu, dan kalau pagi dia datang seperti ini bisa sambil olahraga. Namun tetap saja pendapatnya dilarang keras. Alhasil dia berdiri di depan rumah itu setelah tadi dijemput menggunakan mobil mewah entah kapan lagi mobil itu dibeli.

Pintu terbuka, seorang laki-laki sama seperti kemarin yang membuka pintu.

"Assalamualaikum, Om Abrar." Sapa Melva penuh semangat. Kali ini ia sudah tahu nama si om ganteng menurutnya itu. Tapi sayang seribu sayang, Om Abrar ini orang yang cuek dan sedikit dingin.

"Wa'alaikumussalam, kamu datang lagi."

"Iya, Om. Aku boleh masuk, Om?" Tanyanya karena Abrar masih menjulang di ambang pintu. Seketika laki-laki tersebut menyingkirkan badannya sedikit agar Melva bisa masuk.

"Kamu ngapain datang lagi?" Tanya Abrar. Dia benar-benar belum tahu gunanya gadis tersebut di rumahnya. Selain berkenalan, kemarin ia tak sempat menanyakan karena buru-buru ke kantor.

"Jemput rejeki, Om." Jawab Melva masih sama dengan jawabannya kemarin.

"Nama kamu Melva, kan?" Tanya Abrar lagi.

Melva mengangguk saja tanpa harus mengiyakan, karena ia yakin jika Abrar juga mengerti.

"Nama kamu cantik juga." KOmentar Abrar sekenanya saja.

"Iyalah, Om. Orangnya juga cantik ini." Jawab Melva asal sambil terkekeh pelan dengan jawabnnya sendiri. Abrar memutar bola matanya, gadis di depannya ini terbilang berani dan nggak ada malu-malunya, sejak kemarin Melva memang menjawabnya secara asal.

Melva langsung berlalu menuju belakang rumah mewah tersebut, yang menjadi markasnya bekerja. Disana sudah ada Arini yang masih berjemur ditemani mentari pagi. Pagi hari ini memang cukup cerah, walaupun ketika fajar tadi sang surya sempat malu-malu keluar dari balik sang awan yang sedikit kelabu. Padahal gadis berjilbab navy tersebut sudah berharap akan kedatangan sang hujan. Sekarang lagi musim kemarau, panasnya ibukota ini sama panasnya dengan omongan netijen, nusuk-nusuk gimana gitu.

"Assalamualaikum, Bu." Sapa Melva. Arini yang tadi memejamkan mata segera membuka matanya untuk melihat si pemilik suara.

"Wa'alaikumussalam, Sayang." Mekva segera menyalimi tangan wanita tersebut kemudian mencium pipinya.

"Bapak kemana, Bu?" Tanyanya. Tumben saja melihat Arini berjemur sendirian pagi ini. Biasanya juga ditemani oleh Wijaya dan tak pernah malu-malu menunjukkan kemesraan mereka meskipun usia tidak lagi muda. Bikin baper saja! Protesnya setiap kali keduanya menunjukkan hal tersebut.

"Masih tidur, Mel. Tadi malam belum tidur sampe subuh." Melva mengangguk mengerti. Kegiatan seorang dosen memang tak semudah yang terlihat. Tidak hanya mengajar, masuk ke kelas lalu semuanya selesai.

Ada tuntutan lain yang harus mereka penuhi seperti penelitian dan pengabdian kepada masyarakat seperti yang tertera salam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Karena jika mereka belum memenuhi tanggung jawab tersebut, maka mereka tidak sepenuhnya dianggap sebagai dosen tapi hanya sebagai tenaga pengajar saja. Apalagi status Bapak Wijaya Kusumo saat ini sudah menjadi Guru Besar. Maka tuntutannya juga akan berbeda pula. Sedikit banyak Melva tahu tentang kehidupan menjadi seorang dosen. Oleh karena itulah cita-citanya. Selain karena tanggung jawa yang diemban itu menantang, menjadi seorang dosen itu menuntut agar ia terus belajar, tidak ketinggalan informasi, dan dapat mencari solusi. Tidak sedikit dibutuhkan oleh pemerintahan untuk menjadi problem solver dengan melihat masalah atau fenomena yang terjadi.

Melva sering kali kesal dengan teman-temannya atau kakak tingkatnya yang curhat dan mengeluh tentang dosen yang sangat sulit ditemui lalu mereka akan berujar 'dosen itu emang kerjaannya apa coba? sampai mau konsul saja kita harus nunggu satu minggu kemudian.' Keluhan seperti itulah yang kerap kali ia dengar. Ingin sekali ia meneriaki 'Emang dosen itu tugasnya ngurusin lo aja? Lo aja ogah ngurusin diri sendiri!' tapi hal itu urung ia lakukan karena mungkin jika ia menjawab seperti itu mereka akan terluka. Tapi ia sering memberikan sedikit penjelasan bahwa mereka para dosen nggak hanya mengurusi kalian mahasiswa. Melainkan karena banyak hal yang harus mereka kerjakan. Mereka juga sama seperti mahasiswa, punya tugas dan deadline, bedanya mahasiswa masih bisa tawar menawar jika diberikan tugas. Tapi dosen? Mereka mau nggak mau, siap nggak siap harus memenuhi hal tersebut, nggak ada istilah tawar-menawar, nggak ada istilah undur-mengundur waktu.

Tapi namanya juga mahasiswa yang bisa merangkap jadi netijen yang julitnya sudah keterlaluan ada saja mereka menjawab ketika Melva memberi pengertian tersebut. Karena mereka melihat dosen yang memposting kegiatan mereka sedang berlibur bersama pasangan mereka. Melva mungkin jika tidak tahu dia juga akan berkomentar yang sama. Namun apa yang ada di media sosial belum sepenuhnya benar. Karena bisa jadi hal tersebut ingin berbagi kebahagiaan, lihatnya saja sangat jarang, kan dosen yang menjadikan media sosial untuk curhat urusan mereka yang bejibun? Atau itu adalah foto dulu yang mereka stok untuk dibagikan pada masa sekarang.

Contohnya saja Bapak Wijaya Kusumo, orang super sibuk seperti beliau sangat jarang ada waktu menikmati liburan yang sebenarnya. Padahal di umur-umur seperti beliau sudah harus istrirahat dan menikmati masa tua bersama sang keluarga tercinta. Moment yang diupload ke media sosialnya adalah foto yang entah diambil kapan, tapi di uploadnya baru sekarang yang menunjukkan mereka sedang berlibur. Padahal di balik foto itu beliau mencuri-curi waktu ketika perjalanan dinas ke luar negeri. Pintar-pintar memanage waktu saja. Lagipula bagi Bapak Wijaya Kusumo dan Istrinya, Arinindya Kusumo perjalanan dinas itulah yang menjadi liburan terindah. Selama ini Bapak Wijaya Kusumo tidak akan melakukan perjalanan dinas tanpa sang istri tercinta. hanya saja dua tahun ini Bapak Wijaya Kusumo memutuskan untuk mengajak Arsyad, Asistennya, mengingat kondisi Arini yang tidak memungkinkan untuk ikut. Hal ini kadang-kadang membuat Melva sedih, melihat keduanya jauh padahal tidak tebiasa.

***

Melva masih berkeliaran di rumah tersebut sampai sore ini, selain karena ia tidak ada kegiatan lain yang akan dia kerjakan sesampai di rumah. Ia juga ditahan sampai nanti makan malam tiba, jadi ia tak punya alasan untuk pulang lebih awal padahal pekerjaannya sudah selesai sebelum ashar.

Pekerjaan yang dilakoni oleh gadis berusia 22 tahun tersebut adalah editor untuk konten video pembelajaran untuk mata kuliah yang diajarkan oleh Bapak Wijaya Kusumo, Kewarganegaraan. Sebabnya adalah teman-temannya dulu sering protes karena Kewarganegaraan termasuk dalam matakuliah yang membosankan. Jadi tanpa malu-malu Saat masih berada di semester dua, Melva menyampaikan isi hati teman-temannya dan juga dirinya sendiri tentu saja. Namun karena ia tidak hanya menyampaikan masalah yang di hadapi ia juga diam-diam merekam dosennya itu saat laki-laki paruh baya tersebut menyampaikan materi di kelas.

"Prof, izin. saya boleh merekam agar nanti saya bisa belajar lagi." Ia memutuskan untuk merekam secara terang-terangan karena beberapa kali pertemuan kualitas gambarnya tidak bagus.

Wijaya saat ini melihatnya dengan tatapan pasrah. Bukannya dia sadar bahwa banyak selama ini mahasiswanya banyak yang bosan. Namun laki-laki itu tidak tahu cara apa lagi yang harus dipakainya. Hanya ada beberapa anak saja yang mengikuti kelasnya dengan baik. Termasuk Melva saat itu, Melva jugalah yang sering membuat kelas hidup dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diluardugaan.

"Prof, aturan negara kita sudah jelas, undang-undangnya ada tapi kenapa masih saja banyak kemiskinan? Kenapa masih saja ada korupsi?" Tanya Melva heran. "Aturan yang berlaku nggak hanya untuk masyarakat kecil, bukan? Mereka seperti tidak mendapat haknya."Tambahnya.

Teman-temannya yang lain menatap ngeri kepada Melva, karena pertanyaan itu lebih kepada protes daripada bertanya. Wijaya dikenal sebagai dosen yang cukup kejam oleh mahasiswa-mahasiswa yang pernah diajarnya. Itu karea ia tak tahu lagi agar sebelum dan saat di kelas mahasiswanya bisa memberi perhatian untuk matakuliah yang diampunya tersebut.

"Kembali lagi kepada manusia itu sendiri mereka tidak sadar diri dan banyak yang mengalami myopia terhadap hukum yang ada. Bukan rakyat miskin yang tidak mendapatkan haknya, namun mereka enggan untuk tahu hukum-hukum yang berlaku sehingga terkesan bahwa hukum atau peraturan yang ada tajam ke bawah tumpul ke atas." Jawab Wijaya. "Akan tetapi bukan sepenuhnya salah mereka juga, kita semua tahu bahwa hukum yang ada juga bertele-tele, harus melapor kesana-kemari baru mendapat penanganan. Oleh karena itulah pemerintah tidak tinggal diam dan terus memperbaiki." Tambahnya diplomatis.

Melva mengangguk.

"Ada pertanyaan atau tanggapan?"

"Saya setuju dengan pendapat Prof. Oleh karena itu penting untuk kita tahu tentang hukum-hukum di negara ini. Salah satu wadahnya berarti dengan mata kuliah kewarganegaraan ini, bukan, Prof?" Sahut Melva. Ia sengaja menekan kata Kewarganegaraan pada kalimatnya agar teman-temannya peka. Buktinya sekarang mereka walaupun pura-pura, kelabakan sendiri dan menatap buku didepan mereka setelah memberikan tatapan membunuh ke arah Melva.

"Benar sekali. Fungsi adanya mata kuliah ini salah satunya itu, sehingga tidak akan protes dikemudian hari. Juga kalian punya dasar ketika kalian ingin menyampaikan aspirasi kalian." Diam-diam Wijaya tersenyum dengan mahasiswanya yang satu ini. Setiap pertemuan ada saja ulahnya agar teman-temannya tidak bosan dan memperhatikan dosen yang menjelaskan di depan.

Namun Melva merasa aga percuma melakukan itu. Temannya-tetap melakukan itu berulang-ulang bahkan setelah ujian tengah semester. Dan lihatlah nilai mereka, hampir anjlok kayak nilai rupiah yang beberapa minggu terakhir ini semakin melemah. Ia mencoba untuk mengedit video yang sudah ia rekam, membuatnya lebih menarik mengingat sebagian waktu teman-temannya dihabiskan di depan gadget atau laptop, secara mereka adalah jurusan TI. Ia membagikan video tersebut di grup kelas dan teman-temannya yang lain yang kebetulan mengambil matkul yang sama. Respon mereka cukup membuat Melva tercengang karena komentar positif dan mengatakan bahwa itu lebih menarik dan tidak membosankan.

Pertemuan kedua pasca ujian tengah semester, ia pun menyampaikan isi hati mwakili teman-temannya kepada Bapak Wijaya Kusumo. Dasarnya Melva sesantai itu, nggak ada takut-takutnya. Menurutnya toh juga ia melakukan hal yang benar, entah akibatnya apa, itu dipikirin nanti. Karena sukses itu tidak bisa sendiri, ia butuh teman-temannya untuk saling support.

"Ada apa, Melva?" Tanya Wijaya ketika Melva mengejarnya setelah keluar dari kelas.

"Saya izin minta waktu Prof 10 menit untuk menyampaikan aspirasi kami ke Prof." Jawab Melva, seberani-beraninya Melva, tetap saja gadis itu merasa gugup.

Akhirnya Wijaya mengajak mahasiswinya tersebut untuk duduk di bangku dekat mereka berdiri yang sering digunakan oleh mahasiswa untuk sekedar duduk atau ngumpul bersama teman-teman mereka. Dosen juga sering melakukan hal yang sama jika ingin lebih dekat dengan mahasowa-mahasiswanya.

"Silahkan." Pinta Wijaya.

"Jadi begini, Prof. Teman-teman sering kehilangan konsentrasi mereka dalam kelas, saya mewakili teman-teman untuk minta maaf untuk itu.

"Bosan maksud kamu?" Tanya Wijaya. Ini bukan hal baru melihat mahasiswanya bosan, jika bukan matakuliah wajib mungkin nggak ada mahasiswa yang akan mengambil mata kuliah tersebut.

Merva tersenyum simpul merasa tidak enak. "Tapi, Prof, mungkin teman-teman akan sedikit bersemangat dengan jika ada sentuhan teknologi di dalamnya."

"Maksud kamu?"

"Jadi kemarin saya menyebarkan rekaman video kelas minggu lalu. Tapi beberapa saya edit tanpa mengurangi makna dari penyampaian dengan durasi yang singkat. Dan teman-teman seperti welcome terhadap cara seperti itu. Karena teman-teman termasuk saya lebih banyak menghabiskan waktu di depan gadget atau laptop dan lebih tertarik akan hal tersebut." Jelas Melva pelan agar tak menyingung dosennya tersebut. Meski ia tahu risiko jika pendapatnya di tolak, ya sudahlah tinggal ngulang semester depan dan cari uang kalau beasiswanya di cabut.

Wijaya mengangguk mengerti. "Bisa kamu kirimkan ke saya sampel video yang kamu edit?"

"Baik, Prof. Segera saya kirim ke emailnya Prof." Kata Melva dengan semangat empat lima.

"Kalau menurut saya layak, bisa jadi pertimbangan untuk ke depannya. Terima kasih, Melva."

Nah, kan! apa yang sering dia bilang e teman-temannya bahwa bapak Wijaya itu tidak killer, dia baik dan dapat menerima saran dari mahasiswa dengan baik dan pikiran terbuka. Teman-temannya saja yang sedikit lebay. Gara-gara nilai mereka jelek jadi menjudge dosen Killer padahal itu salah mereka juga yang nggak memperhatikan.

***

Tbc