webnovel

Hello, Future!

Melva Laksamana namanya. Gadis berparas cantik yang selalu tampil dengan wajah ceria. Selama ini Melva tinggal bersama Nabila dan Tyas—dua perempuan yang mengontrak di rumahnya. Selain cantik, Melva juga pandai entah dalam akademik maupun bergaul dengan lingkungannya. Pembawaannya yang friendly membuat gadis ini mempunyai banyai teman hingga orang-orang orang penting sekalipun. Melva yang tinggal menunggu waktu wisudanya, mengisi waktu senggang menjadi seorang video editor untuk matakuliah kewarganegaraan salah satu dosen di kampusnya dan juga mengajukan magang pada salah satu perusahaan yang baru masuk ke indonesia. Tak lain CEO perusahaan tempat ia magang adalah anak dosennya sendiri—Abrar Wijaya Kusomo. Laki-laki yang selalu berpenampilan rapi dan dikenal cukup dingin sekaligus tegas kepada karyawannya. Namun perlu digarisbawahi bahwa semua itu tidak berlaku untuk Melva. Melva mampu menghadirkan tawa pada bibir yang enggan untuk sekedar tersungging tipis. Selalu ada saja kelauan gadis yang selalu disebutnya aneh tersebut yang membuatnya tak bisa menahan senyumnya. Abrar sering memanfaatkan Melva untuk kepentingan bisnisnya, tentu saja dalam hal negosiasi mengingat relasi Melva yang tidak main-main. Padahal ia hanya gadis belia yang bahkan belum lulus kuliah. Itulah yang membuat Abrar heran dengan koneksi gadis tersebut. Menurut ayahnya yang tak lain adalah dosen Melva bahwa Melva adalah gadis yang pintar, bahkan cukup pintar mengingat gadis tersebut diangkat menjadi asisten kepala jurusannya. Bahkan Melva sering diajak kolaborasi atau dilibatkan dalam proyek di kampus. Melva sendiri tidak pernah keberatan ketika Abrar mengatakan bahwa ia memanfaatkan gadis tersebut. Justru ia mengatakan bahwa ia hidup atas asas kebermanfaatan. Namun satu peristiwa dimana Melva mendaratkan tamparan telak pada calon investor yang selama ini Abrar gadang-gadang untuk bekerja sama dengan perusahaannya membuat Abrar marah besar hingga tidak sadar mempermalukan gadis tersebut di tem

miss_n · Urban
Not enough ratings
17 Chs

Hello, Future! 16

Langit mulai menggelap, tak menyurutkan kaki yang terus melangkah pasti menuju rumah. Lantunan pelan dari mulutnya terhenti, matanya melebar, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seringaian riang. Ia semakin bersemangat untuk masuk ke rumahnya melihat sepasang sandal berwarna pink di depan anak pintu.

Tak lupa ketika kaki kanannya melewati pintu ia berucap salam yang menyerupai bisikan. Pintu tidak terkunci memudahkan untuk melancarkan rencana yang tadi sempat terlintas dalam otak cerdasnya. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat dua gadis yang duduk di di sofa sibuk dengan hpnya masing-masing. Namun, keduanya tampak rapi seperti hendak keluar.

"Assalamualaikum," ia sedikit mengeraskan suara. Seperti biasa ia menampilkan cengirannya. Niat untuk mengageti kedua mbaknya tidak terealisasi. "Mbak Tyas!" Serunya kemudian.

"Wa'alaikumussalam!" Jawab dua orang itu serempak.

"Mel!" Teriak Tyas tak kalah heboh.

"Mbak Tyas, aku rindu." Kata Melva mulai lebay, namun ia tak berbohong ia sangat merindukan mbaknya yang satu ini setelah ditinggal dua bulan ini.

Tyas memutar bola matanya namun tak urung membalas pelukan Melva yang mengerat. Nabila yang tadi fokus dengan ponselnya ikut memeluk kedua orang tersebut. Kemudian terkekeh dengan segenap tingkah absurd mereka.

"Belanja, yuk!" Kata Tyas mengurai pelukan. "Kami nungguin kamu, Mel. Lama banget pulang kerjanya.

"Oke. Aku ganti baju sebentar." Kata Melva langsung melipir ke kamarnya untuk berganti pakaian.

Ia baru ingat kalau bahan makanan sudah tidak lagi tersedia kulkas. Mie dan telur yang menjadi tumpuan hidup ketika akhir bulan datang juga sudah habis. Lagi, hari ini juga hari diskon. Jangan tanya kenapa ketiga orang tersebut mengetahui, jelas karena di kalender ponsel mereka sudah menambahkan pengingat setiap bulan di tanggal yang sama, supermarket yang mereka tuju selalu mengadakan diskon sebagian besar jenis barang. Terutama kebutuhan sehari-hari.

Sesampainya di supermarket, Nabila langsung mengambil troli yang menjadi tempat barang belanjaan mereka. Sementara Melva dan Tyas bertugas untuk mengambil kebutuhan ketiganya. Mata Melva berbinar melihat tulisan-tulisan diskon yang menggantung atau yang tertempel di rak.

Lama mereka berkeliling dan sudah mengambil semua kebutuhan yanh sudah dicatat sebelumnya oleh Nabila. Melva menyipitkan mata memastikan bahwa orang yang tak jauh di barisan kasir di sampingnya adalah seseorang yang ia kenal. Cepat-cepat gadis tersebut maju ketika orang di depannya melakukan hal yang sama menunggu transaksi mereka.

"Assalamualaikum, Om." Sapa Melva dengan cengiannya. Tanpa canggung meski melihat seorang wanita bergelayut manja di lengan kiri Abrar. Ini pertama kalinya Melva melihat wanita tersebut, wanita yang berbeda dengan yang ditemuinya di mall tempo hari.

"Wa'alaikumussalam." Jawab Abrar dengan tatapan mata tajam. "Kamu membuntuti saya?!" Sewot Abrar kemudian.

Melva terkekeh tak merasa terintimidasi dengan kilat tajam di mata lelaki di depannya. "Jangan positif thinking dong, Om. Aku lagi belanja juga, berburu diskon. Om juga, kan?" Tuding Melva.

Abrar seketika melototkan matanya. "Enak saja, saya tidak semiskin itu sampai belanja tunggu diskon segala!" Ketus Abrar tak terima.

Tawa Melva akan meledak jika saja ia tidak cepat membungkam mulutnya sendiri. Membuat Abrar kesal seperti ada kesenangan tersendiri. Melva bahkan tak takut jika Abrar tiba-tiba memecatnya.

Wanita yang bergelayut di lengan kanan Abrar hanya melihat interaksi kedua orang tersebut tanpa maksud ingin menyela atau sekedar ikut nimbrung. Ia juga tidak merasa harus memperkenalkan diri meski ia penasaran dengan gadis berparas cukup cantik yang berani menyahuti Abrar.

Melva kembali sibuk dengan benda pipih dengan layar retak dimana-mana. Malu? Tentu saja tidak sama sekali. Daripada beli baru sementara benda itu masih berfungsi dengan baik, maka semua tak masalah. Lagipula mengikuti tren teknologi terkini bukan berarti harus memiliki. Karena kalau demikian hanya akan membuang-buang uang dan unfaedah sama sekali.

Ketika giliran Melva menghadap ke kasir, ia melihat kepada Abrar yang sedang mengeluarkan kartu dari dompetnya. Sedangkan empunya melirik Melva tajam dengan kekesalan yang nampak nyata di mata.

"Saya duluan!" Kata Abrar nampak enggan untuk pamit jika tidak mengingat asas kesopanan.

"Oke, Om. Hati-hati." Jawab Melva. Matanya kembali fokus pada total belanjaan yang terus bertambah di layar di depannya. Perasaaan yang dia masukkan hanya kebutuhan mandinya dan kedua mbaknya. Tumben sekali totalnya lebih dari lima....

Kok lebih dari enam ratus?! Jerit Melva dalam hati. Ayolah, meski ia ada simpanan sedikit. Tetap saja ia harus menyimpan berhemat demi melanjutkan studi ke tahap selanjutnya.

"Lho, saya tidak ambil ini perasaan, mbak." Kata Melva memegang salah satu jenis lulur. Sejauh yang ia ketahui hingga saat ini, kedua Tyan dan Nabila juga tidak memakai merk lulur tersebut. Ia mengerutkan keningnya dan membongkar seluruh isi tas belanjaan yang sebelumnya sudah di atur oleh kasir. "Sebentar, ya, Mbak. Sepertinya ada kesalahan." Melva berucap tak enak kepada kasir yang nampak mengulas senyum tulus.

Melva menyingkir dari barisan memberikan jalan untuk orang yang mengantri di belakanganya. Membawa serta tas belanja yang sudah di susun rapi dan juga troli yang masih tersisa beberapa barang di dalamnya. Ia mengeluarkan satu per satu beberapa barang ke dalam troli. Wajahnya nampak terheran-heran dengan beberapa barang yang dirasa tidak pernah ia masukkan dalam daftar kebutuhan yang harus ia beli.

Pantas saja jika total belanjaannya yang bahkan belum selesai dihitung membengkak luar biasa. Banyak barang yang tidak sesuai dengan list kebutuhan dan ia tidak tahu dari mana datangnya. Tidak mungkinkan barang tersebut masuk sendiri ke dalam trolinya sebelum ia bayar.

Orang-orang yang sedang mengantri menatapnya dengan berbagai makna. Entahlah, Melva tak ingin memikirkannya.

"Mbak," suara seseorang mengusik lamunannya sesaat.

Melva otomatis mengangkat pandangan dari troli untuk melihat pemilik suara. Seorang wanita dengan menggendong anak kecil yang tadi memanggilnya.

"Tadi mas yang bicara sama mbak yang memasukkan barang-barang tersebut ketika mbak fokus kepada hp mbak." Katanya, wanita tersebut menangkap kebingungan Melva tadi. Dan ia menjelaskan apa yang ia lihat sebelumnya bahwa Abrar adalah pelaku utama. Memang siapa lagi yang bicara kepada Melva tadi.

Melva menghirup udara sambil berucap istighfar mengisi rongga dadanya yang memburu. Bosnya yang kadang-kadang tidak tertebak keusilannya.

"Terima kasih, Bu." Kata Melva. Kini ia sudah tahu dalang barang belanjaan ghoibnya yang tiba-tiba ada di dalam keranjang. Melva kembali mendorong troli setelah menyelesaikan pembayaran dan mengonfirmasi kesalahan beberapa barang.

Sesampainya di luar supermarket, Melva langsung menceritakan kronologi keterlambatannya dan langsung disambut tawa oleh Tyas dan Nabila. Melva memberenggut saat kedua orang tersebut justru terlihat terhibur di atas penderitaannya.

"Jangan tertawa lagi." Tegur Melva kesal.

"Aduh, benar-benar, ya, Ukhti. Aku tidak menyangka bosmu seperti itu." Kata Nabila di sela-sela tawanya seperti enggan untuk berhenti. Apalagi jika Melva menceritakan pasca penerimaan gaji bulan kemarin, yang ada kedua orang tersebut akan dengan senang hati berbahagia hingga nanti.

Bahkan sesampainya di rumah, Melva masih memberenggut kesal. Entah kepada Abrar atau kepada Nabila dan Tyas. Melva akhirnya fokus pada layar laptop jadul yang baru dibuka. Laptop yang ketebalannya seperti burger.

***

Tak ada yang spesial pagi ini kecuali Melva yang dipanggil oleh Abrar untuk menghadapnya ke ruangan laki-laki itu. Toto tadi menyampaikan pesan bosnya tersebut untuk menjelaskan isi proposal yang ia ajukan. Bukankah seharusnya ia harus menjelaskan dulu kepada Toto sebagai atasannya di bagian IT?

"Kamu kenapa nggak magang sebagai sekretaris bos aja sih, Mel?" Tanya Liam, rekan seruangannya yang lebih senior. Laki-laki keturunan bule tampan yang kerap menjadi bahan obrolan beberapa pegawai. Benar, Melva baru sadar jika Liam menjadi salah satu most wanted di gedung tersebut. Baru banget sadar pagi tadi dan ia sendiri mengakui jika laki-laki tersebut memang tampan.

Liam tidak berniat untuk menyinggung, hanya saja daripada bekerja dengan bagian IT, Melva lebih banyak dipinjam oleh big boss mereka.

Melva mengangkat bahu, "Aku tidak mau, Mas." Jawab Melva sambil tersenyum. Ia membereskan mejanya untuk segera pergi menyapa Abrar yang mungkin sudah menunggunya.

Liam itu pendiam, jarang sekali laki-laki ini melemparkan tanya kepadanya atau sekedar basa-basi. Kemarin-kemarin Liam jarang terlihat di kantor dan menghabiskan waktu di luar untuk melaksanakan tugasnya bersama Randi--rekan kerjanya yang lain. Melva tak ingin menebak apapunya yang dipikirkan laki-laki tersebut terhadapnya.

Melva sempat melirik Astri yang duduk di samping Liam. Perempuan tersebut tidak pernah lagi menampakkan wajah bersahabat dengannya.

Adam berada di luar ruangan Abrar, di mejanya. Baru kali ini ia mendapati Adam berada pada meja aslinya. Biasanya laki-laki ini selalu berada di dalam ruangan kebanggaan Abrar.

"Assalamualaikum, Bang Adam!" Sapa Melva dengan gayanya yang selalu ceria penuh suka cita.

"Wa'alaikumussalam, Mel." Jawab Adam baru mangangkat pandangan ketika suara yang tak asing baginya masuk ke gemdang telinga. "Tunggu di sini dulu, ya, Mel. Pak Bos lagi ada tamu."

"Siap, laksanakan." Jawab Melva mengambil tempat duduk di sofa panjang dekat dengan meja Adam.

Sementara laki-laki berperawakan tinggi itu kembali menatap layar komputer di depannya. Ia melirik Melva yang duduk dengan tenang. Sudah tersedia air minum di sana hingga ia tak perlu repot untuk melayani tamunya.

***

Tbc