webnovel

Pilihan Itu Ada Rupanya

Setelah sebulan lebih menempatinya, rumah baru Olivia dan Elisa pun mulai berubah dari bentuk awalnya. Perabotan baru, tentu saja. Tapi koleksi, pernak-pernik, ornamen, lukisan, foto, wallpaper, hiasan dinding, bahkan kebun yang tadinya simpel juga sudah mulai terlihat seperti hutan hujan sekarang.

Kebanyakan diubah dengan manual, tapi sebagian lagi juga ada yang diubah dengan sihir. Misalnya rumput yang tadinya hanya hijau sekarang malah jadi berwarna oranye dan merah. Pokoknya rumah yang tadinya hanya berwarna putih dan abu-abu ini sekarang sudah berubah jadi mejikuhibiniu!

Bahkan walaupun perubahan-perubahan ini terasa aneh pada awalnya, lama-lama Elisa jadi terbiasa juga. Mungkin karena dia ketemu orang lewat yang tidak sengaja memuji rumahnya, dia jadi sedikit senang dan bangga.

Tapi terlepas dari semua itu, ada hal yang aneh yang belakangan ini disadari Elisa lagi. Yaitu fakta bahwa mereka tidak punya kegiatan apapun.

Elisa setidaknya masih sibuk bersih-bersih rumah, berkebun, dan masak tiga kali sehari. Tapi tidak sepertinya, Olivia benar-benar hanya diam di rumah.

Padahal sewaktu di istana--sewaktu masih jadi tuan putri--Olivia tidak pernah diam di kamarnya lebih dari tiga jam selain waktunya tidur. Bahkan saat dia harus bekerja, Olivia lebih senang melakukannya di luar atau setidaknya di halaman istana. Pokoknya kalau tidak diperhatikan, Olivia selalu saja menghilang entah ke mana!

Tapi sekarang, mencarinya sangat mudah. Karena Olivia hanya pergi ke kamar, ke sofa, dan ke dapur. Dia tiba-tiba jadi anak rumahan!

"Olivia, kau tidak mau pergi keluar? Jalan-jalan ke kebun binatang misalnya? Aku dengar orang-orang di dunia ini suka melihat gajah."

"Kapan-kapan, Aku masih harus naik level." Balas Olivia yang masih fokus dengan game-nya di televisi, salah satu kegiatan yang paling banyak menyita waktunya sehari-hari. Bahkan meski tidak tahu apapun, rasanya Elisa sudah bisa menebak kalau benda itu adalah salah satu hal yang paling berbahaya di dunia manusia.

"Anu, Olivia. Kita tidak bisa begini terus tahu." Balas Elisa. "Kita harus cari pekerjaan. Uangmu juga nanti ada habisnya."

"Kalau masalah itu tidak usah khawatir. Aku sebenarnya punya pekerjaan."

"Eh? Benarkah? Pekerjaan apa?"

"Trading."

"Tre..apa?"

"Yah, Aku beli dan jual saham, pokoknya begitu. Kau tidak akan mengerti."

"...Jadi maksudmu, kau hanya perlu duduk di rumah tapi kau tetap dapat uang?" Tanyanya dan Olivia langsung mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.

"Dunia ini aneh sekali. Padahal kalau di dunia kita, keluar rumah saja belum tentu dapat uang."

"Dunia manusia bagus kan?" Balas Olivia senang. "Dipikir-pikir Aku tidak ingat bagaimana dulu awalnya Aku ikut trading. Tapi saat kuperiksa ternyata uangnya masih terus mengalir. Pokoknya kalau tentang tagihan listrik, air, internet, dan sebagainya kau tidak perlu khawatir."

Terdiam sejenak, Elisa belum mau langsung percaya cerita Olivia. Walaupun rasanya dia memang tidak kelihatan berbohong. "Tapi tetap saja, kau tidak bisa terus-terusan di rumah." Katanya kemudian. "Tidak sehat untuk peredaran darah. Hanya dalam sebulan saja wajahmu jadi lebih pucat karena kau terus main game sampai dini hari."

Diomeli seperti itu, Olivia awalnya diam. Tapi saat Elisa sudah akan bicara lagi, Olivia langsung buru-buru bersuara. "Omong-omong Aku juga dapat uang lho dari main game. Kemarin Aku dapat item khusus dan ada yang mau beli—"

"Ganti baju! Sekarang!"

Selama sebulan ini, Olivia memang hampir tidak pernah keluar rumah sedikitpun. Tapi sebenarnya Elisa sendiri juga bukannya sering keluar. Karena pertama, Elisa masih agak gerogi kalau harus keluar sendiri. Dan kedua, dia juga belum segitunya ingat mengenai daerah di sekitar sini. Lalu ketiga, berkat bakat Olivia untuk online shopping, semua kebutuhan mereka biasanya sudah datang sendiri ke rumah.

Elisa juga awalnya agak terpana dengan semua itu. Karena tanpa harus keluar rumah, bahan-bahan makanan dan peralatan masak yang dia cari bisa langsung datang ke pintu mereka. Makanya selama beberapa minggu pertama, Elisa juga senang-senang saja mengikuti arahan Olivia.

Tapi selagi dia sibuk main-main dengan peralatan dan bahan-bahan masak yang ada di dunia ini, dia jadi tidak sadar kalau tuan putri kesayangannya ternyata sudah kecanduan game.

Padahal Elisa yang masih newbie hanya punya Olivia untuk jadi panduannya di dunia ini. Tapi Olivia yang master malah jadi anak rumahan dan tidak pernah mengajarinya apapun!

Makanya mulai hari ini Elisa akan berusaha merubah semuanya. Dan hal pertama yang dia lakukan adalah memaksa Olivia untuk menemaninya keluar rumah. "Lagipula, walaupun kau punya cukup uang, Aku tetap mau kerja." Kata Elisa saat mereka sudah di luar.

"Tapi kupikir kau suka masak di rumah."

"Yaa, Aku kan tetap bisa masak setelah pulang kerja." Balas Elisa sebisanya. "Kau juga harusnya tetap bisa main game-mu itu sambil kerja atau kegiatan apa gitu." Katanya lagi, tapi Olivia kelihatan sudah malas menjawabnya.

"Pokoknya untuk hari ini kau harus bantu Aku cari kerja."

Tapi bukannya menyahut, Olivia malah mengeluarkan handphonenya lagi. "Tapi kalau tidak salah kau juga bisa cari kerja dari internet."

"Apa? Tapi Aku tidak mau kalau harus yang dari rumah juga." Protes Elisa.

"Iya, iya. Coba kita periksa yang ada di dekat sini…" Katanya sambil sibuk menggeser-geser layar handphonenya.

"Oh, di situ sepertinya ada." Katanya lagi yang tiba-tiba malah menunjuk sebuah kafe di seberang jalan. Dan benar saja, di depannya ada papan bertuliskan 'dicari pelayan'.

"Sedekat ini? Kalau tahu begitu harusnya Aku sering-sering jalan keluar." Gumam Elisa pelan yang kali ini mulai menarik tangan Olivia untuk menyebrang jalan.

Sekilas, kafe itu agak mirip dengan restoran yang suka ada di dunia mereka yang lama, mungkin hanya perabotannya saja yang lebih mengkilap. Tapi suasana vintage-nya benar-benar membuat Elisa jadi merasa familiar dengan lingkungan di sini.

Sudah diputuskan. Kalau Elisa mau bekerja, sudah pasti harus di sini.

"Selamat datang. Berdua saja?" Kata perempuan berambut pendek yang langsung mendekati mereka dengan ramah. Dia terlihat seumuran dengan Elisa, tapi entah kenapa juga terlihat lebih muda. Mungkin karena dia lebih imut.

"Ah, iya. Anu, sebenarnya Aku ingin bekerja di sini. Apa lowongan pelayan itu masih ada?" Tanya Elisa.

"Benarkah?" Balas perempuan itu yang langsung terlihat sumringah. "Ada banget!" Katanya lagi yang sekarang malah menarik Elisa untuk pergi ke meja kasir. "Ayah, dia katanya mau bekerja di sini." Panggilnya.

"Benarkah?" Sahut pria paruh baya itu sama semangatnya dengan perempuan tadi. Padahal pria itu botak dan berkumis aneh, tapi entah bagaimana senyum lebarnya terlihat menggemaskan.

"Karena dua pelayan kami menikah dan langsung pergi, jadinya kami sedang kekurangan pelayan." Ceritanya. "Apa kalian berdua mau bekerja di sini?" Tanyanya kemudian sambil melihat ke arah Olivia juga.

"Ah, Aku tidak…" Olivia buru-buru menyahut.

"Kenapa? Kau juga kerja di sini saja. Daripada di rumah terus." Kata Elisa, meski Olivia malah mengerutkan wajahnya tidak senang. "Jangan mengeluh. Manusia itu harus bekerja tahu."

"Tidak. Kau saja yang kerja." Sahut Olivia yang kemudian kabur ke salah satu meja dan duduk di sana.

"...Yah, mungkin dia sudah sibuk dengan sekolahnya, tidak perlu dipaksa begitu." Kata perempuan tadi berusaha menghibur Elisa yang sedih.

"..." Tapi entah kenapa, Elisa tiba-tiba saja terdiam setelah mendengar perkataan itu.

"Kenapa? Adikmu kelihatannya masih sekolah? Salah ya?" Kata perempuan itu lagi agak hati-hati.

'Sekolah. Benar juga, pilihan itu ada rupanya.'

"Ah, tidak, tidak. Ha-ha. Dia memang adikku, dan… masih sekolah ha-ha. Benar juga, kalau sibuk sekolah kurasa tidak bisa kupaksakan ya ha-ha."

"Benar kan? Aku khawatir kalau Aku salah tadi." Balas perempuan itu lega. "Oh iya, namaku Hina. Namamu?"

"Aku Elisa. Dan dia Olivia."

"Elisa ya. Kalau kerjanya mulai besok bisa tidak?"

"Bisa! Sekarang juga bisa."

"Oh, kalau kau mau langsung bekerja, Aku pulang ya." Sahut Olivia yang ternyata mendengar itu.

"Tidak boleh. Mm, itu, anu, ah! Kita makan siang di sini saja, iya!" Kata Elisa yang akhirnya berhasil mencari ide untuk mencegah Olivia pulang ke rumah. Dan untungnya Olivia tidak menolak ide itu.

Selagi di sisi lain, Hina malah jadi tersenyum melihat mereka berdua. "Dia anak rumahan ya?" Tanyanya pelan pada Elisa.

"Iya. Pekerjaannya hanya main game di rumah, Aku hampir stres melihatnya." Jawabnya yang akhirnya membuat Hina tertawa kecil.

"Anak muda sekarang memang suka seperti itu. Yah, asalkan dia sekolah kurasa tidak masalah. Memangnya dia sekolah di mana?"

"…Dekat kok. Tidak jauh dari sini."