webnovel

Hello, Capt!

Kapten Satria Raghatajasa, Nahkoda tampan yang tidak mengetahui apapun selain berlayar, mendapatkan kabar buruk bahwa rumah miliknya secara paksa akan dijual oleh sang nenek lantaran kesal cucunya itu tak pernah memiliki waktu untuk sekadar berkunjung. Sharazea, bekerja sebagai Editor novel romansa —yang justru sulit menjalin hubungan dengan orang lain— ditipu hingga mau tak mau menjadi seorang gelandangan dalam semalam. Memulai kehidupan baru bersama orang asing atas alasan tak masuk akal, perjanjian kontrak demi sebuah tempat tinggal. "Seorang pakar sosiologi mengatakan, orang menikah atas alasan tertentu. Salah satunya, mereka dapat keuntungan dibanding hidup sendirian. Jadi, aku menyetujuinya." "Menyetujui untuk menikah dengan saya?" Dua orang yang memutuskan menikah karena sebuah kebutuhan, bak simbosis mutualisme. Satria yang kebetulan mencari seseorang untuk merawat tempat tinggalnya selama ia bertugas, dan Sharazea yang sulit menolak tawaran setelah insiden kehilangan rumah, tak punya tujuan harus kemana. "Bagian pertama dari hubungan kami memang tak ubahnya hanya pernikahan di atas kertas perjanjian. Tapi aku ingin bagian kedua kami adalah cinta." Keinginan untuk dapat terus tinggal bersama, rasa kasih yang mulai tumbuh secara diam-diam dihati keduanya, bisakah mimpi menjadi sepasang dapat diwujudkan oleh mereka? Ujian pernikahan, sampai kegagalan dari menjalin hubungan, dapatkah perasaan cinta diantara keduanya sanggup menggugurkan kontrak yang mengharuskan mereka berpisah setelah dua tahun melewati hari-hari bersama? "Karena aku mencintaimu, itu sebabnya aku memilih menikah denganmu. Karena itu kamu, tidak ada alasan lain."

Paussbiru02 · Urban
Not enough ratings
15 Chs

Holidays Have Arrived!

Beberapa orang memasang ekspresi wajah yang sama, merasa bahagia dan bersukacita karena tidak lama lagi akan menjalani hari-hari libur panjang dan dapat berkumpul bersama dengan keluarga.

"Aku merasa sangat senang dan jujur saja tidak sabaran. Setelah sekian lama akhirnya kita semua mendapatkan jatah liburan. Aku akan melakukan semua hal yang sudah aku impikan selama ini dan membayar lunas keinginan tersebut selama berada di daratan."

"Tidak akan aku biarkan satupun terlewati. Kamu tahu sendiri, kapan lagi kita bisa kembali, tidak ada yang pernah mengetahui hal tersebut."

Setelah berlayar dan menggandrungi samudra luas tanpa melihat kehidupan di daratan —untuk waktu yang bahkan tidak dapat dihitung lamanya— impian dari mereka yang bertugas di atas kapal pesiar hanyalah satu, mendapatkan jatah libur dan menjadi manusia normal pada umumnya; berkumpul, mengunjungi tempat-tempat yang memberikan tubuh mereka perasaan rehat setelah terjebak di atas kapal, melakukan setiap impian yang telah lama direncanakan.

"Bukankah kata-katamu itu terdengar berlebihan? Kita di sini juga sebenarnya tidak seburuk itu. Tapi kamu membuatnya terdengar seperti selama ini kita telah terpenjara, kamu tahu?"

"Apa aku sangat terlihat seperti itu?"

Tidak semua orang dapat melakukan apa yang orang-orang hebat ini lakukan, tentu saja. Meskipun hal-hal yang diberikan kepada mereka juga tidak sembarangan dan terbilang cukup luar biasa; tempat tinggal dengan semua fasilitasnya, makan sepuasnya. Coffee atau sekedar snack hampir tersedia dua puluh empat jam, artinya apapun yang kita butuhkan dan inginkan selalu tersedia.

Punya banyak teman dari berbagai negara. Pengetahuan dan pengalaman sudah pasti tidak main-main. Bisa jalan-jalan hampir keseluruh belahan dunia. Terakhir gaji telah dijamin, siapapun yang mendengarnya pasti merasa tertarik dan selalu berkata bahwa sebuah keberuntungan bisa Berada di posisi mereka.

Tapi seperti memegang koin dengan ke dua sisinya. Setiap pekerjaan dimanapun atau kapanpun pasti ada sisi positif dan negatifnya. I'll tell you briefly.

Minimal, harus memiliki mental dan fisik yang prima. Karena ketika memutuskan untuk bekerja di kapal pesiar, nantinya kita akan bekerja dengan tekanan yang cukup tinggi dan intense, dari tamu, atasan, bahkan teman kerja. Kita harus dihadapkan dengan culture yang berbeda.

"Ah, apapun itu, aku tetap merasa bahagia."

"Yah, kamu bisa berbahagia sebanyak yang kamu mau. Sekarang, ayo lekas turun. Kita tidak bisa membuang-buang waktu begitu saja, bukankah begitu?"

Semua itu harus diterima dengan baik, coba melewatinya dengan pemikiran positif. Hanya dengan melakukan hal tersebut mereka dapat bertahan dan menjalaninya dengan

"Apa rencanamu setelah ini, Kapt?" suara lain dari kru di kapal itu mengisi keriuhan yang ada. Di tengah aktivitas bersiap untuk turut dan menyambut bagaimana udara daratan menyapa mereka.

"Entahlah, saya belum memikirkannya. Belum ada ide apapun."

Seorang pria —dengan seragam putih kebanggaan miliknya berjalan dengan gagah melewati beberapa kru kapal yang memberikan sapaan hangat kepadanya. Dibalik kacamata hitam yang ia kenakan, mata dan bibirnya tersenyum, menawan.

"Kalau begitu, bukankah akan sangat menyenangkan jika kita mengunjungi tempat-tempat yang sudah kurekomendasikan sebelumnya, Kapt?"

"Maksudmu ke tempat 'yang seperti itu'?"

Tatapan penuh selidik diberikan oleh sang Kapten pada salah satu rekannya ini, mencurigai ada niatnya tertentu yang ia miliki, "Sudahlah, lupakan."

"Sepertinya saya sudah memiliki salah satu rencana yang baik yang bisa kita lakukan untuk mengawali liburan. Ini terpikirkan tepat detik yang lalu," tersenyum picik, ekspresi wajahnya tidak menunjukkan bahwa memang benar ide tersebut adalah ide yang luar biasa.

"Jangan bilang bahwa rencanamu adalah berselancar seperti liburan yang sebelumnya. Jika memang benar seperti itu aku akan menolak dengan keras, Kapt!" memberikan sanggahan, terlihat jelas bahwa rekannya itu amat sangat tidak menyetujui dengan apa yang diam-diam sosok yang dipanggil Kapt itu pikirkan.

Membulatkan matanya sempurna, merasa bahwa tidak ada yang salah dengan apa yang menjadi salah satu pilihannya, "Kenapa? Kegiatan yang akan kita lakukan ketika berlibur dengan berselancar juga merupakan pilihan yang tepat."

"Bukankah waktu itu kau bilang kegiatan tersebut merupakan hal yang menyenangkan? Apakah semua itu berbohong padaku karena merasa terintimidasi?!" maju selangkah demi selangkah, memberikan rentetan pertanyaan dengan mata tajamnya, berada di dalam moment seperti itu adalah hal yang begitu ingin dihindari bagi setiap orang.

"T-tidak, Kapt! Mana mungkin aku berani berbohong padamu, mana mungkin aku berani menipu seniorku. S-siap, salah!"

Klung!

Klung!

Ibaratkan seperti sebuah keajaiban, nada dering yang tiba-tiba terdengar memecah kegentingan di antara keduanya menghentikan perdebatan kali itu. Diselamatkan, rekan yang sudah mengeluarkan keringat karena merasa gugup itu, merasa amat sangat bersyukur karena sang senior mendapatkan panggilan di waktu yang amat pas.

"Um, Halmoni." Kapten Satria, berujar dengan cara bicaranya yang begitu sopan, dilihat dari siapa yang menerima panggilan.

Halmoni —merupakan sebuah sebutan yang diberikan kepada sosok yang lebih tua, seperti seorang nenek— menjadi satu-satunya keluarga yang akan melakukan tugas dengan bertanya serta menyambut Kapten Satria ketika upacara kepulangannya telah tiba.

"Um, Satria sampai dengan selamat. Semuanya berjalan dengan lancar."

"Belum ada rencana apapun, Halmoni. Satria akan mampir ke rumah ketika jadwal pekerjaan telah kosong."

"Halmoni, " lirih panjang, mendadak mendesah berat. Dari ekspresi yang ditunjukkan oleh pria itu —seperti merasa sedikit frustasi dengan apa yang terjadi dan apa yang ia dengar, keduanya pasti sedang terlibat dalam perbincangan yang cukup serius, "Satria sudah mengatakan akan mengunjungi rumah tersebut ketika memang ada waktu senggang yang bisa digunakan. Halmoni tidak perlu khawatir."

"Lalu apa Satria harus mencarikan seseorang yang bisa menggantikan tanggung jawab Satria untuk merawat rumah itu, menjaganya, dan mengurusnya, agar Halmoni bisa merasa percaya?"

"Baiklah, jika itu yang Halmoni inginkan. Satria siap menerima tawaran untuk menikah daripada harus kehilangan rumah tersebut, Halmoni puas?!"

Tidak lama setelahnya telepon itu ditutup. Kapten Satria tiba-tiba ambruk dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua kakinya menunduk dalam, "Astaga, semuanya selalu berjalan keluar dari apa yang direncanakan." ungkapnya, terlihat sangat kesal.

"Apa kau baik-baik saja, Kapt? Maaf, karena aku tidak sengaja mendengar perbincangan antara —"

"Saya baik-baik saja, Ham." potong Satria cepat, "Hanya sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Kamu tahu, saya selalu kesulitan bertemu dengan keluarga dan memilih untuk mendatangi tempat yang lain ketika masa liburan tiba."

"Saya tidak pernah memiliki rumah untuk pulang, Ham. Saya menolak untuk memilikinya. Karena ketika seseorang yang telah ditakdirkan untuk terus-menerus berlayar, memiliki rumah hanya akan membuat perasaan menyesal dan menganggap diri sendiri menjadi menyedihkan tumbuh secara perlahan."

Ham —dengan nama lengkap Ilham, sosok yang telah lama menemani Satria bertugas selama berlayar itu mendekat dan menepuk pundak Sang Kapten dengan percaya diri, "Sejauh ini, Kau bisa melewati semuanya dengan baik, Kapt."

"Tidak masalah, apapun bentuk permasalahan yang saat ini tengah kau hadapi, aku percaya lagi dan lagi kalau akan berhasil mengatasinya." memberi keyakinan, sesuatu yang amat sangat dibutuhkan Ketika seseorang telah merasa patah dan berputus asa.

"Omong-omong, " Satria mengangkat pandangannya, "Dimana saya bisa menemukan seseorang yang bisa saya percayai untuk menyewa rumah yang saya miliki selama bertugas? Apa ada cara untuk mencarinya? Mencari orang itu?"

"Um? Mencari? Mencari —"

"Mencari penyewa. Saya membutuhkan seseorang yang bisa saya ajak kerjasama, dan bisa saya percaya."