webnovel

Hello, Capt!

Kapten Satria Raghatajasa, Nahkoda tampan yang tidak mengetahui apapun selain berlayar, mendapatkan kabar buruk bahwa rumah miliknya secara paksa akan dijual oleh sang nenek lantaran kesal cucunya itu tak pernah memiliki waktu untuk sekadar berkunjung. Sharazea, bekerja sebagai Editor novel romansa —yang justru sulit menjalin hubungan dengan orang lain— ditipu hingga mau tak mau menjadi seorang gelandangan dalam semalam. Memulai kehidupan baru bersama orang asing atas alasan tak masuk akal, perjanjian kontrak demi sebuah tempat tinggal. "Seorang pakar sosiologi mengatakan, orang menikah atas alasan tertentu. Salah satunya, mereka dapat keuntungan dibanding hidup sendirian. Jadi, aku menyetujuinya." "Menyetujui untuk menikah dengan saya?" Dua orang yang memutuskan menikah karena sebuah kebutuhan, bak simbosis mutualisme. Satria yang kebetulan mencari seseorang untuk merawat tempat tinggalnya selama ia bertugas, dan Sharazea yang sulit menolak tawaran setelah insiden kehilangan rumah, tak punya tujuan harus kemana. "Bagian pertama dari hubungan kami memang tak ubahnya hanya pernikahan di atas kertas perjanjian. Tapi aku ingin bagian kedua kami adalah cinta." Keinginan untuk dapat terus tinggal bersama, rasa kasih yang mulai tumbuh secara diam-diam dihati keduanya, bisakah mimpi menjadi sepasang dapat diwujudkan oleh mereka? Ujian pernikahan, sampai kegagalan dari menjalin hubungan, dapatkah perasaan cinta diantara keduanya sanggup menggugurkan kontrak yang mengharuskan mereka berpisah setelah dua tahun melewati hari-hari bersama? "Karena aku mencintaimu, itu sebabnya aku memilih menikah denganmu. Karena itu kamu, tidak ada alasan lain."

Paussbiru02 · Urban
Not enough ratings
15 Chs

Catch Me I'm Falling

Pria dengan kamera yang menggantung tepat di lehernya itu terlihat sibuk memotret, kesana kemari, apa saja yang menurutnya indah.

Bunga, pepohonan, pinggiran pantai yang tertata dengan begitu baiknya. Ia mengambil gambar dengan sangat baik, seolah kegiatan tersebut merupakan salah satu kegiatan yang memang telah lama ia tekuni.

"Desa kecil di pinggir pantai seperti ini memang tempat yang sangat pas untuk memberikan ketenangan —yang mana akan sangat dirindukan tatkala kembali, nanti. Saya heran, mengapa orang lain justru berpergian ke tempat lain dan tidak bisa melihat keistimewaan yang disediakan di tempat sederhana hari ini."

Hanya dengan merekam dan mengabadikan yang ada menjadi salah satu cara untuk membuat hal tersebut dapat tersimpan lebih lama. Diingatan. Salah satu alasan mengapa Satria juga menyukai hobi barunya tersebut, memotret banyak hal.

Setiap sudut tempat ini seperti sebuah karya seni, indah tiada tanding. Orang-orang sekitar seringkali menyebutnya sebagai tempat yang diciptakan kala Tuhan merasa bahagia.

Dan itu ... Diakui juga oleh Satria.

Ia masih terhayut pada kegiatan —rupanya juga merupakan salah satu hobby yang senantiasa dilakukan dikala sengggang— itu sebelum lensa kontak yang ia gunakan menangkap sebuah bayang gadis mungil di seberang jalan. Tanpa sengaja, karena mungkin juga ia satu-satunya orang yang melintas, membuat Satria tertarik padanya.

Pria itu secara tidak sadar menarik sudut bibirnya, tersenyum singkat. Kemudian memotret aktivitas tersebut, "Indah, luar biasa menawan." memuji, tidak pada hasil kerja kerasnya, melainkan pada objek yang menarik hatinya.

Ia masih belum menyadari siapa gadis yang menjadi titik pokus dari kegembiraan hatinya kala ini.

Satria sempat ingin berlalu, sesaat setelah mengambil gambar ia akan berpindah dan mencari tempat yang lain, sebelum ia menyadari ada yang salah diantara pertemuan singkat dan tidak sengaja tersebut.

Sebentar.

Kenapa gadis itu berjalan terus menunduk?

Apa ini hanya firasatnya belaka atau memang sosok tersebut tidak menyadari sesuatu mungkin akan mengejutkannya?

"Hei! Nona!"

"Nona! Nona, permisi!"

Satria awalnya ingin merasa tidak peduli dan berlalu begitu saja. Tetapi menutup mata untuk hal tersebut sepertinya bukan sesuatu yang tepat, "Aish!" dan pada akhirnya ia memilih berlari, dengan cepat —waktunya pas sekali, berhasil untuk menghentikan kepala mungil tersebut menghantam tiang besi yang menjulang tinggi.

Telapak tangannya itu seolah berubah menjadi sebuah benteng sederhana yang hadir —melindungi sang gadis dari sesuatu yang bisa saja menyakitinya.

"Hampir saja." ia bersyukur dengan lega, "Nona, maaf. Tapi di depanmu terdapat tiang besi yang —"

"Eh?" menyadari sesuatu, Satria tertegun. Sepertinya apa yang terjadi bukan hal yang baru ia alami.

"A-aum, hallo. Kita bertemu lagi." imbuhnya, tak lama setelah ditetap selidik oleh sosok yang berada di hadapannya.

"Maaf?"

Dan, sesuai dugaan, gadis itu tidak mengenali wajahnya. Wajar saja, sebenarnya. Pertemuan mereka juga hanya berlangsung satu kali, dan pada saat yang bersamaan, dihadapkan dengan kondisi yang tidak terlalu membuat mereka bisa mengenal satu sama lain —kebetulan kali itu dengan cepat terlupakan begitu saja.

"Ini saya. Maaf, karena tiba-tiba menghentikanmu seperti tadi. Saya benar-benar tidak menyangka bahwa yang saya lihat justru sosok yang pernah saya temui."

"Kamu gadis yang nekat ke tengah laut cuma untuk ambil sepatu yang hayut itu, 'kan?"

Eh?

Di satu siai, Zea tidak tahu bagaimana pria itu dapat mengenalnya. Ia juga tidak mengerti sama sekali dengan apa yang sosok di hadapannya ini katakan. Bagaimana seseorang yang notabenya adalah orang asing itu bisa menyapa Zea seolah-olah ini adalah pertemuan kedua mereka.

Apakah sebelum itu keduanya pernah terlibat pada pertemuan tanpa sengaja yang Zea lupakan?

Sebentar, biar ia ingat.

Gadis nekat?

Apa maksud pria ini dengan mengatakan Zea adalah seorang gadis ceroboh yang nekat menghabisi diri hanya karena sepatu kaca?

Sepatu kaca.

Ah!

Kini Zea seperti teringat sesuatu. Nampaknya ia mengenali siapa yang menyapanya kala ini.

"Knight in surfing armor?" pekiknya, tidak menyangka dengan apa yang ia lihat saat ini. Sungguh sebuah pertemuan yang tidak ia duga sebelumnya. (Ksatria dengan baju zirah selancar?)

Mendengar Zea melarihkan kalimat yang nampaknya sangat konyol tersebut —entah bagaimana gadis itu bisa dengan percaya diri menjuluki Knight kepada pria yang baru ditemuinya itu— membuat pria dengan senyuman manis tersebut tersenyum hangat.

Bagi Zea, seseorang yang sudah ia anggap sebagai pahlawan sebab datang secara tiba-tiba dan menyelamatkan dirinya dari keburukan yang bisa saja terjadi hari itu adalah pertemuan terbaik yang pernah terjadi di dalam hidupnya.

Ia masih tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi bila pria tersebut tidak memegang tangannya —tepat ketika ia hampir tenggelam di tengah lautan.

Namun terlepas dari itu, Zea masih sangat menyayangkan karenanya tidak dapat menemukan kembali sepatu kaca kesayangan pemberian sang Ibunda. Yah, memang kecerobohannya. Hukuman ini harus ia ingat sampai waktu-waktu berikutnya.

"Saya nggak nyangka kamu bakalan kasih saya julukan seperti itu, tetapi terdengar lucu dan tidak buruk. Saya menyukainya."

"Senang bertemu denganmu lagi, not quite Cinderella." pria berwajah tampan itu mengulurkan tangannya sebagai sebuah perayaan atas pertemuan kembali mereka berdua.

Not quite Cinderella, selain julukan istimewa yang diberikan oleh gadis itu rupanya Satria memiliki nama panggilan yang tidak kalah menggemaskan.

Mata dan bibirnya tersenyum, menandakan kejujuran. Bahwa apa yang ia katakan beberapa saat yang lalu adalah hal yang benar. Ia bahagia, merasa perlu bersyukur kita karena bisa dihadapkan kembali dengan sosok yang ia kira hanya akan menjadi bagian tanpa sengaja yang terjadi di dalam hidupnya.

Entahlah, apakah kejadian ini hanya terjadi tanpa sengaja atau memang semesta tengah menitipkan sesuatu kepada cerita yang sepertinya sebentar lagi terangkai sedemikian rupa, tetapi melihat pria itu membuat suasana hati Zea yang sebelumnya memburuk menjadi lebih baik.

Dan juga bila diperhatikan dengan baik, berkali-kali pria ini sudah membantu Zea dan menyelamatkan gadis itu dari hal-hal berbahaya karena tingkah cerobohnya.

Tidak sekali, ini yang kali kedua.

"Dua kali melihatmu, sepertinya saya akan dengan mudah mengenalimu. Kamu memang gadis yang luar biasa."

"Pertama kali bertemu sudah bermain-main di tengah lautan, sekarang hampir saja mengadu kekuatan antara tiang besi tersebut dengan wajah lucu yang tentu saja akan remuk saat menghantam tiang sekuat baja ini."

"Apa hobbymu adalah mencoba hal-hal ekstrim di luar kemampuan manusia dan semacamnya? Jujur saja, saya mulai penasaran. Saya ingin jadi ingin tahu lebih banyak tentangmu"

Tepat ketika kalimat itu meluncur mulus seperti tanpa beban, Zea terbatuk. Ia bahkan sampai kesulitan bicara karenanya.

Bagaimana pria itu bisa sangat santai mengatakan semua hal tersebut?

Pribahasa tentang 'Kesan pertama akan sangat berpengaruh dan selalu diingat.' adalah hal yang benar. Zea mengalaminya. Dan saat ini ... Ia benar-benar malu sekali. Kesan pertama yang ia tinggalkan memang berbeda dari pada pertemuan pada umumnya, ia mengakui itu.

"Apa itu sebuah pujian?"

"Um?"

"A-ah, lupakan. Senang bertemu denganmu juga. E-um, harus kupanggil apa? Aku tidak mengetahui namamu."