1 Dikejar duda

"Ra rame banget nih, kamu mau jajan apa? Aku liat manusianya juga udah enek. Pulang aja yu!" Sashi memegang erat tangan kiriku, sambil memijat-mijat keningnya.

"Heh Bambang. Siapa yang ngajak, siapa yang pengen pulang buru-buru. Bentaran dong. Lumayan nih banyak yang bening."

"Percuma banyak yang bening juga. Guenya pening. Ayo pulang Ra. Nanti aku masakin buat bukanya. Aseli gak bo'ong."

"Ya tapi, beli martabak dulu yah. Ngiler banget nih nyium baunya." Aku nawar ke Sashi. Kan sayang aja, ke tempat beginian gak beli makanan satu pun.

"Astaghfirullah, Heera. Coba tatap mata aku. Lihat!" dia membalikan badanku menghadapnya sambil menunjuk matanya sendiri yang sayu.

"Tatapan penuh kepeningan inih. Ayolah, Heera yang baik, rajin menabung." Pembujuk ulung bisa di bilang. Tapi aku juga sang pemegang prinsip. Jadi aku tak termakan bujukanmu Sashi.

"Sashi....beli martabak nya satu doang. Kamu nungguinnya sambil duduk. Sayang juga ke tempat beginian gak beli makanan. Sekali-kali lah kita yang tiap hari makan nasi sama kerupuk, beli martabak."

"Aduuuh.....jangan martabak deh. Batagor aja. Beli martabak lama banget, aku gak kuat Heera. Nanti kalau aku muntah disini, kamu mau ngapain?"

"Ya kabur lah, gampang!" dia meninju lenganku. Sambil mau jongkok.

"Astaghfirullah, lo beneran mau muntah Shi? Kalau mau muntah jangan di tengah-tengah begini, di pinggir aja!" Gak sadar aja si Sashi yang mau muntah di tengah kerumunan orang pencari takjil begini.

"Iya deh ayo pulang aja. Lagian kalau puyeng, ngapain ngajak ke sini coba?" aku menarik lengannya agar tak jadi jongkok. Bayangkan aja, kalau si Sashi muntah beneran di tengah keramaian begini, mana status kita berdua jomblo lagi. Bisa-bisa sepet jodoh deh kalau kitanya bikin ilfeel gini.

"Ra, katanya mau beli batagor. Nih ada abangnya."Sashi berhenti di pinggir gerobak abang batagor. Tepat di ujung pusat keramaian.

"Katanya mau pulang. Gimana sih bambang?"

"Kan ini udah di pinggiran. Gak terlalu rame."

"Aku pusing karena tadi tuh rame banget manusianya." Oke, daripada gak beli apapun, aku Tarik aja dia ke belakang gerobak batagor. Untung aja di kursi panjang nya ada yang kosong, jadi aku menyuruhnya duduk. Aneh banget si Sashi nih emang. Lihat manusia banyak katanya puyeng.

Sambil duduk dia pesan ke aku. "Aku satu, jangan pake saos. Sambelnya lima sendok. Nih uangnya." menjulurkan uang warna hijau. Aku ambilah.

"Mang batagor dua. Yang satu jangan pake saos, sambelnya lima sendok. Yang satu jangan pake saos jangan pake sambel." Aku memesan batagor di antara tiga pembeli lain yang sedang memperhatikan Abang batagor dari samping si Abangnya.

Ku perhatikan satu-satu di antara ketiga pembeli lain dan ke empat abang batagornya. Gak ada akhlak ya. Emang. Tapi sudah kebiasaan sih, jadi susah banget di rubahnya.

"Mbak Heera!" kaget banget cuy.. lagi ngeliatin orang. Di tanya orang. Langsung cengo nyari yang nanya dong.

Aneh juga kan, di tengah orang-orang sunda, di panggilnya Mbak.

Ternyata, yang nanya itu temennya atau yang nganter si pembeli yang pakai baju warna merah berpeci. Yang deket sama si abang batagor. Mungkin itu orang tadinya duduk, terus berdiri ngecek temannya yang lagi pesen.

"Eehh...Kang Zen. Beli batagornya jauh banget kang." Kang Zen, sosok lelaki idamanku di pondok dekat rumah Nenek, tempatku jadi santri kalong.

"Sambil ngabuburit Ra. Nemenin adik saya, mumpung di rumah katanya, pengen ngabuburit ke sini." Katanya sambil nepung punggung yang di kata adiknya itu. Kang Zen kemudian jalan sedikit ke arahku. Biar enak mungkin ngobrolnya.

"Tapi sebenarnya bukan saya yang ngabuburit terlalu jauh Ra. Kamu yang terlalu jauh. Rumah saya kan di daerah sini."

"Ooh..Kang Zen orang sini?" Aku melongo sambil menunjuk-nunjukan jari ku ke arahnya.

"Hmm..." hmm itu iya kali ya? "kamu ngapain di sini?" lanjutnya

"Ouh..itu, anu. Aku kerja di daerah sini Kang. Kang Zen aseli orang sini?" Gugup banget sih aku, jawab sang idola. Tapi aku tetap memastikan jawabannya yang hanya hm.

"Iya aku aseli orang sini. Terus mondok di Nurul Huda. Di dekat rumah Nenek situ kan?"

"Iya. Berarti sekarang Heera yang merantau ke daerahnya Kang Zen yah. Giliran kita."

"Iya. Nanti kapan-kapan main Ra, rumah saya di---"

"A ayo. Batagornya udah." Kata si adiknya itu sambil narik lengannya Kang Zen menjauh. Gak tahu kita lagi ngobrol apa, main tarik-tarik aja.

Tapi sebelum di tarik makin jauh, Kang Zen sempat pamit, "Saya duluan Ra," yang aku angguki

Fyuh, meskipun mengidolakannya dulu, tetap aja ada rasa canggung-canggung bahagia bisa ketemu lagi. Terus, kalau tadi waktu dia nyebutin alamatnya, aku mau deh seminggu sekali lewat sana, buat modus.

"Yu, Shi!" aku menggaet tangannya.

"Tadi siapa Ra?" kepuyengan dikepalanya sudah bisa mengeluarkan kekepoan.

"Kang Zen, yang rois'am itu."

"Kok aku gak ngeh yah." Sashi keheranan dengan dirinya sendiri.

"HEERA!" duh...di parkiran gini masih ada yang manggil lagi. Siapa lagi.

Aku mengedarkan pandangan menyusuri tempat parkir. Di depan sana ada Kang Zen lagi stand by di motor, tapi belum juga pulang. Tapi aku tahu, itu bukan suara Kang Zen. Kang Zen nya memunggungi aku. Ah, abaikan saja, mungkin Heera yang di maksud bukan aku. Secara, Heera-kan banyak. Ada Heera Saodah, Heera apalah-apalah.

"HEERA HINATA!" apakah Heera Hinata juga banyak. Duh, pasaran banget namaku.

"Shi, denger gak?" aku menatap Sashi dengan mata melotot dan alis bertaut.

Dia mengangguk. "Siapa sih. Lihat gak?" dia menggeleng.

Ketika aku sudah di deket Kang Zen, ada yang manggil aku lagi. Tapi dengan suara yang dekat. Pake banget lagi dekatnya.

"Aduuh...dari tadi gak jawab-jawab nih. Udah lupa ya ke Mr?"aku membalikan badan ke belakang. Tapi sebelumnya aku tersenyum dulu ke Kang Zen. Kang Zen guruku pas ngaji di pondok.

"Eh...Mr apa kabar?" aku bingung, kenapa si Mr, guru aku pas kursus mesti susah-susah manggil aku. Terus susah-susah nyusul sampe ngos-ngosan.

"Mr baik. Heera baik juga kan. Oh ini siapa?" kata beliau sambil melihat dan menunjuk Sashi dengan kelima jari tangannya.

"Ini, teman Heera mr." aku menjawab secukupnya. Takut. Secara dia itu seorang duda, mana kelihatan banget lagi genitnya.

"Oh..iya iya. Heera, kamu udah ada calon?" duh tambah takut di tanya jodoh sama duda. Mending kalau dudanya, gelimang harta gitu. Inimah genit aja yang di banyakin. Tanpa fikir panjang, "Udah Mr. Alhamdulillah ya, Shi." Aku membawa-bawa Sashi supaya menjadi lebih meyakinkan dengan adanya saksi lain. Untung Sashi itu peka banget orangnya, dia langsung bilang iya, dan di iringi senyum yang begitu meyakinkan.

Walaupun aku udah mengada-adakan saksi, tapi tetap saja. Si Mr seperti yang tidak percaya. Akhirnya, "Astaghfirullah sampe lupa, Mr" aku menepuk jidat sambil melirik ke Kang Zen, "ini calonnya Heera, kenalin. Namanya Tama Zen." Aku memberikan senyum terbaik pada Kang Zen, biar Mr Deri gak curiga, kalau aku Cuma ngakungaku.

Gak tahu itu ide darimana, spontan aja udah.

Keberuntungan berada di pihak aku. Kang Zen dengan senang hati tersenyum. Walau sebelumnya dengan ekspresi kaget. "Kang, kenalin ini gurunya Heera. Namanya Mr Deri." Aku mengenalkan si Mr ke Kang Zen.

"Tama Zen, Mr. calon suaminya Heera Hinata. In syaa Allah nanti Dzulhijah." Kang Zen mengulurkan tangannya berjabat tangan dengan si Mr.

Mr, sama menjulurkan tangannya. Berjabat tangan.

"Ya udah, Heera. Mr pulang dulu." Duh... Mr ada-ada saja nih, masa langsung pulang pas aku baru ngaku-ngaku.

"Iya Mr,"

Setelah Mr Deri pergi. Sashi malah menertawakan sambil memukul-mukul tangan aku. Dia memang tak mengeti keadaanku. Tapi, inilah sahabat. Yang akan menertawakan dan akan selalu saling mengejek.

Aku memasang muka sedih, tapi sedih beneran sih. Mau nangis juga mikirin nasib, "Kang Zen.." ucapku lirih sambil nunduk, memilin ujung jilbab segi empat yang aku kenakan. Yang di panggil hanya menampilkan cengiran tetahannya.

"Maaf," kataku yang akhirnya keluar, "soalnya Heera takut. Si Mr itu duda. Mana dia itu genit banget." Oke sekarang aku tak mampu membendung air mata kesel.

Sashi malah semakin mengencangkan volume tawanya. Aku menoyor kepalanya.

"Iya, gapapa. Tadi wajah saya meyakinkan kan?" senyum tertahan karena ingin ngakak dari Kang Zen jelas sekali.

"Ekspresinya bagus banget Kang. Aku suka lihatnya. Bhaahahaha...." Sashi yang menimpali di iringi tawa membahananya.

"Kalau saya sih aseli-"Kang Zen berucap samar. Mendadak Sashi menghentikan tawanya. "Apa Kang?" tanya Sashi kemudian.

"oh..iya lucu." Jawabnya. "Kang maaf ya! Duh, jadi gak enak." Ucapku malu-malu. Malu-maluin malah. Menghindari godaan Mr Deri malah ngaku-ngaku calon istri Kang Zen. Mana tanpa persetujuan diawal lagi. "Maaf ya! Aku pulang dulu Kang." Aku bilangnya sambil menundukan kepala. Gak kuat untuk tegak. "Ayo, Shi!" aku menarik tangan Sashi yang masih melongo entah kenapa, padahal tadi dia ketawa kencang banget. "Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam." Jawabnya.

"Ra! Bapak kamu dimana?" setelah lima langkah, Kang Zen meneriakan pertanyaan.

Aku menoleh, "Dirumah" Sashi malah menjitak kepalaku setelah aku menjawab Kang Zen.

"Masih se-daerah sama rumah Nenek nya kang. Yang dekat pondok Nurul Huda tuh. Tapi di kotanya. Di dekat masjid kota Al-Imam." Sashi menjelaskan posisi rumahku. Orangtuaku.

Sashi melepaskan peganganku di tangannya. Kemudian menghampiri Kang Zen. Hebat yah, yang tadi puyeng-puyengan. Sekarang malah meninggalkan. Mana tadi ketawa keras banget lagi.

Dia dan Kang Zen sama-sama megeluarkan Hp dari saku. Beberapa detik kemudian, Kang Zen berterimakasih pada Sashi, yang di angguki oleh Sashi.

"Shi! Ayo! Keburu Adzan maghrib," Sashipun kembali ke aku.

Aku menggenggam erat tangannya. Menumpahkan kekesalan. "Sakit Ra."

"Kamu tadi udah apa sama Kang Zen? Malu-maluin aku lagi?"

"Enggak Bambang. Udah aja nanti lihat." Ujarnya "Jangan di gituin tangan gue. Sakit Ra!"

"Katanya kamu tadi di dalam pasar, puyeng-puyeng mau pinsan. Tadi aja ketawa ngakak bener. Sekarang aneh. Kenapa sih sebenarnya?"

"Puyeng aku langsung reda pas lihat kamu kena genitnya Mr Deri. Terus pas kamu ngaku-ngaku calonnya Kang Zen, puyeng aku langsung hilang semua. Sembuh total." Aku mencubit lengan atasnya.

"Kamu tadi gak ngeh, Kang Zen bicara apa? Pas aku tanya ke dia, 'apa' tuh?" kali ini wajahnya terlihat lebih serius.

"Emang kenapa Shi?" aku malah balik tanya. "Terus tadi pas Kang Zen tanya 'bapak kamu dimana' kenapa jawabnya rumah?"

"Reflks aja nyebut rumah," jawabku jujur. Sashi malah menjitakku, lumayan keras lagi. "Sakit Sashi!"aku memberitahu perasaan kepalaku yang dia jitak dengan nada tinggi.

"Kamu itu, cewe Ra. Kenapa enggak peka? Kang Zen itu tadi bilang gini, 'Kalau saya sih aseli' itu berarti dia nganggapnya beneran Ra. Ah, gak asik lu. Dasar jomblo."

"Itu tahu Kang Zen bicara apa. Malah nanya lagi 'apa'."

"Itu namanya memastikan HINATA. Terus pas tadi dia nanya Bapak lo dimana, itu artinya dia mau minta restu sama Bapak lo. Untung disini ada gue. Jadinya lu untung. Tadi juga nomor lu udah aku kasih ke Kang Zen." Aku mematung sejenak, saat dia membeberkan ucapan yang terakhir.

ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR

Sashi yang di depanku menoleh ke belakang. Kemudian menarik tanganku. "Ayo udah buka Ra, malah ngelamun di jalan lagi."

Sashi membawakan air teh tawar hangat untukku. Menyodorkan gelasnya ke wajahku. Laknat memang dia.

Entah apa perasaanku saat ini. Antara kesel, marah ingin bejek-bejek Sashi sampe bonyok. Tapi juga bahagia. Kang Zen itu idolaku ketika aku jadi santri kalong dulu. Mungkin sekarang juga aku masih mengidolakannya. Secara, ku ikuti akun istagramnya. Dan ku simpan semua fotonya dalam note. Kemudian di sandi, agar Sashi tak bisa membukanya. Mana tadi juga dia tanya Bapakku lagi. Haduh...beruntung sekali aku tadi ngaku-ngaku jadi calonnya.

Lebih untungnya, Sashi berada di pihakku. Dia yang kadar pekanya tinggi sangat-sangat menguntungkanku. Dia yang memberitahukan alamat rumahku , memberikan nomor hp ku. Uh, jadinya aku ingin mantengin terus hp.

avataravatar