1 Pengiring kecil 1

Pengiring kecil 1

.

.

.

Kitagawa Ayaka terbaring di antara mayat-mayat itu. Ribuan jumlahnya.

'Dunia sudah gila,' pikirnya samar.

"Manusia seperti daun kering, yang hanyut ditiup angin musim gugur."

Ia sendiri seperti satu di antara tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di sekitarnya.

Ia mencoba mengangkat kepala, tapi hanya dapat mengangkatnya beberapa inci dari tanah. Ia tak ingat, apakah pernah merasa begitu lemah.

"Sudah berapa lama aku di sini?" Ia bertanya-tanya.

Lalat-lalat mendengung di sekitar kepalanya. Ingin ia mengusirnya, tapi mengerahkan tenaga untuk mengangkat tangan pun ia tak sanggup. Tangan itu kaku, hampir-hampir rapuh, seperti halnya bagian tubuh yang lain.

'Tentunya sudah beberapa lama tadi aku pingsan,' pikirnya sambil menggerak-gerakkan jemarinya satu demi satu.

Ia belum begitu sadar bahwa sudah terluka. Dua anak panah menancap erat di bawah pahanya.

Awan gelap mengerikan berlayar rendah di langit.

oOo

===[Malam sebelumnya]===

.

.

.

Kira-kira antara tengah malam dan fajar, hujan deras mengguyur daratan Mishima.

Sekarang ini lewat tengah hari, tanggal enam belas Oktober.

Sekalipun topan telah berlalu, sekali-sekali siraman hujan segar masih menimpa mayat-mayat itu, termasuk wajah Ayaka yang tengadah. Tiap kali hujan menyiram, ia membuka dan menutup mulutnya seperti ikan, mencoba mereguk titik-titik air itu.

"Seperti air yang digunakan untuk mengusap bibir orang yang sekarat," kenangnya sambil melahap setiap titik air yang datang.

Kepalanya sudah hilang rasa, sedangkan pikirannya seperti bayang-bayang igauan yang melintas.

Pihaknya telah kalah. Ia tahu betul itu.

Sasaki Karina, yang dikiranya sekutu, ternyata diam-diam telah bergabung dengan Pasukan Barat.

Ketika ia menyerang pasukan Fukuyama Mokomichi pada senja hari, jalan pertempuran pun berubah. Ia kemudian menyerang tentara panglima-panglima yang lain---Nagasawa, Kadena, dan Nakama. Maka sempurnalah keruntuhan Pasukan Timur.

Hanya dalam setengah hari pertempuran sudah dapat dipastikan siapa yang sejak itu akan memerintah negri.

Dialah Matsuyama Haruma, daimyo (tuan tanah) Gotemba yang perkasa.

oOo

Bayangan kakak laki-lakinya dan penduduk desa yang sudah tua-tua mengambang di depan matanya.

'Aku akan mati,' pikirnya tanpa rona sedih.

"Jadi, beginikah rasanya?"

Dan ia pun merasa tertarik ke arah kedamaian maut, seperti anak-anak terpesona oleh nyala api.

Tiba-tiba salah satu mayat yang dekat dengannya mengangkat kepala.

"Ayaka!"

Bayang-bayang dalam kepala Ayaka menghilang.

Seolah terbangun dari mati, ia pun menoleh ke arah suara itu. Ia yakin itu suara teman karibnya.

Dengan segenap kekuatan, ia mengangkat tubuhnya sedikit dan ia paksakan keluar suara bisikan yang hampir tak terdengar itu, karena kalah oleh titik-titik hujan.

"Tomomi, kaukah itu?" Lalu ia rebah, terbaring diam, mendengarkan.

"Ayaka! Betul-betul kau masih hidup?"

"Ya, hidup!" serunya, tiba-tiba keluar suaranya.

"Dan kau? Kau sebaiknya jangan mati juga. Jangan berani-berani!" Matanya lebar terbuka sekarang, dan senyuman tipis bermain di bibirnya.

"Mana bisa aku mati! O, tidak!"

Sambil terengah-engah karena merangkak menyeret badan dengan susah payah, Tomomi pun mendekati sahabatnya, setapak demi setapak.

Ditangkapnya tangan Ayaka, tapi yang ia cengkram dengan kelingkingnya sendiri hanyalah kelingking temannya itu.

Sebagai sahabat, sejak kanak-kanak mereka sering mematrikan janji dengan cara itu.

Ia pun lebih mendekat lagi, dan kemudian menggenggam tangan sahabatnya itu seluruhnya.

"Sungguh aku tak percaya kau hidup juga! Tentunya hanya kita yang selamat."

"Jangan begitu terburu-buru! Aku belum mencoba berdiri."

"Mari kubantu. Ayo kita pergi dari sini!"

Tetapi tiba-tiba saja Ayaka menarik Tomomi ke tanah dan menggeram, "Pura-pura mati! Celaka lagi!"

Bumi pun mulai menderum, seperti kawah gunung.

Lewat tangan mereka berdua tampak angin pusaran sedang mendekat. Dan semakin mendekat.

Baris-baris penunggang kuda sehitam arang meluncur langsung menuju mereka berdua.

"B*j*ng*n! Mereka kembali!" kata Tomomi sambil terus mengangkat lutut, seolah-olah bersiap melompat.

Ayaka langsung menangkap pergelangan kakinya, hingga hampir-hampir mematahkannya, serta merenggutnya ke bumi.

Dalam sekejap mata, para penunggang kuda sudah terbang melewati mereka. Beratus-ratus kaki kuda yang berlumpur dan menyimpan maut mencongklang dalam formasi, menyepelekan para pasukan yang sudah tewas.

Sambil menyuarakan pekikan-pekikan perang, dan dengan zirah serta senjata berdentingan, para penunggang kuda itu melaju terus.

Tomomi berbaring menelungkup dengan mata terpejam, dengan harapan kosong semoga mereka tidak terinjak-injak, sementara Ayaka menatap tanpa berkedip ke langit. Kuda-kuda itu begitu dekat dengan mereka, hingga mereka dapat mencium bau keringatnya. Kemudian semuanya berlalu.

Secara ajaib mereka tidak terluka dan tidak dikenali, dan untuk beberapa menit lamanya keduanya tinggal diam tak percaya.

"Selamat lagi!" kata Ayaka sambil mengulurkan tangan kepada Tomomi.

Masih merangkum bumi, pelan-pelan Tomomi memutar kepala, memerlihatkan seringai lebar yang sedikit bergetar.

"Ada yang berpihak pada kita, itu pasti," katanya parau.

oOo

Kedua sahabat itu pun saling bantu berdiri dengan susah payah. Pelan-pelan mereka melintasi medan pertempuran, menuju tempat aman di bukit-bukit berhutan, terpincang-pincang dan berangkulan.

Di sana mereka rebah, dan sesudah beristirahat sebentar, mulailah mereka mencari-cari makanan.

Dua hari mereka hidup dari buah berangan liar dan daun-daunan yang dapat dimakan di dalam lubang-lubang basah di Lembah Kannami.

Makanan itulah yang membuat mereka tidak mati kelaparan, tapi perut Ayaka jadi sakit, dan usus Tomomi tersiksa. Tak ada makanan yang dapat mengenyangkannya, tak ada minuman yang dapat menghilangkan dahaganya, tapi ia merasa kekuatannya pulih kembali sedikit demi sedikit.

Badai tanggal enam belas itu menandai akhir topan musim gugur. Kini hanya dua malam sesudahnya, bulan yang putih dingin sudah memandang muram ke bawah dari langit yang tak berawan.

Mereka berdua mengerti, betapa berbahaya berada di jalan, dalam cahaya bulan terang. Bayangan mereka akan tampak seperti bayangan sasaran yang dapat dengan jelas dilihat oleh patroli yang sedang mencari orang-orang yang berkeliaran.

Keputusan untuk mengambil risiko itu datang dari Ayaka.

Melihat keadaan Tomomi yang begitu buruk---katanya lebih baik tertangkap daripada terus mencoba berjalan---agaknya memang tidak banyak pilihan lain.

Mereka harus berjalan terus, tapi jelas pula bahwa mereka harus menemukan tempat untuk menyembunyikan diri dan beristirahat. Maka perlahan-lahan mereka pun berjalan menuju tempat yang menurut mereka adalah arah menuju kota kecil Shimizu.

"Bisa kau bertahan?" tanya Ayaka berulang-ulang.

Dilingkarkannya tangan temannya itu ke bahunya sendiri untuk membantunya berjalan.

"Kau baik-baik saja, kan?"

Napas berat temannya itulah yang mengkhawatirkannya.

"Mau istirahat?" tanya Ayaka menawarkan.

"Aku baik-baik saja," jawab Tomomi lirih.

Tomomi mencoba kedengaran berani, tapi wajahnya lebih pucat daripada bulan di atas mereka.

Bahkan dengan lembing yang digunakannya sebagai tongkat pun ia hampir tidak dapat melangkahkan kaki.

Beberapa kali ia meminta maaf merendah-rendah, "Maaf, Ayaka. Aku tahu, akulah yang melambatkan jalan kita. Betul-betul aku minta maaf."

Beberapa kali pula Ayaka hanya menjawab dengan kata-kata, "Lupakan itu."

Tapi akhirnya, ketika mereka sudah berhenti untuk beristirahat, ia pun menoleh kepada temanannya dan cetusnya,

"Coba dengar, akulah yang mestinya minta maaf. Pertama-tama, akulah yang menjerumuskanmu ke sini, ingat tidak?

Kau ingat, bagaimana aku menyampaikan rencanaku padamu, bahwa akhirnya aku akan melakukan sesuatu yang bakal betul-betul mengesankan ayahku? Aku sungguh tak bisa menerima kenyataan bahwa sampai meninggalnya, Ayah tetap yakin aku tak akan pernah mencapai sesuatu. Aku ingin perlihatkan padanya! Ha!"

Tomomi terdiam mendengar ucapan dari sahabatnya itu.

Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membahas itu nanti ...

***

(***Bersambung***)

###

Ní hâo, rán rán menyapa pembaca ^^

Aku mencoba untuk mengembangkan imajinasiku dengan ikut terjun ke genre action. Kupikir ini merupakan hal menarik karena aku memilih Jepang sebagai latar lokasinya, dan mengambil riset sekaligus memelajari kebudayaan Jepang guna membuat tulisan ini semakin hidup ^^

Penasaran dengan apa saja yang telah kusiapkan dalam kisahnya?

Ikuti terus yaa ^^

____________________

***Jangan lupa like dan tinggalkan komentar kalian di bawah yaa, agar author makin semangat ^^ ***

xiè xiè,

JiāngXiâoRán

avataravatar