1 1

Semua berawal dari ketukan pelan di pintu kamar Diki, kamar berukuran persegi yang dibagi menjadi dua ruangan itu tampak berantakkan. Berjalan pelan ke pintu, Diki melangkahi bungkus makanan instant yang tersebar di lantai. Pemuda berusia dua puluh tahun itu membuka pintu dan menatap tamu tak diundang itu.

Sinta si penjaga asrama berdiri dengan seorang pemuda jangkung di sampingnya. Koper besar di lantai memperjelas tujuan mereka di tempat itu.

"Diki ini Rian, mahasiswa yang baru selesai cuti, kau harus berbagi kamar dengannya karena tidak ada kamar kosong lagi." Sinta meninggalkan mereka setelah itu.

Diki tidak menjawab, hanya mengangguk lalu membuka lebar pintu kamar, membiarkan teman sekamarnya masuk. Rian cukup tampan, dengan rambut acak seleher dan poni tebal yang menutupi dahi, badan tegap berisi, dan tinggi yang melebihi anak laki-laki pada umumnya. Berbeda dengan Diki yang kurus pendek, dengan rambut lurus yang menutupi sebagian mata.

"Apa ini tempat sampah?" Suara baritton terdengar. "Aku tidak suka tinggal di tempat kotor."

"Maaf aku akan segera membersihkannya." Diki menunduk dan mulai memungut sampah di lantai. "Atau kau bisa meminta Sinta untuk mencarikan kamar lain." Kalimat ini Diki ucapkan dengan sangat pelan agar tidak menyinggung Rian.

"Aku juga ingin melakukannya, tapi sudah tidak ada kamar kosong atau orang lain untuk berbagi kamar." Rian menghela napas dan mendorong kopernya.

Asrama kampus terbatas untuk dua orang perkamar. Menjelang tahun ajaran baru tempat itu penuh dengan mahasiswa baru hingga hampir tidak ada tempat untuk mahasiswa lama yang baru kembali dari cuti.

"Diki kan namamu?"

"Iya."

"Mari buat aturan karena sekarang kita tinggal bersama. Pertama, jangan pernah menyentuh barang milik orang lain tanpa ijin. Lalu kau harus membersihkan sampahmu sendiri. Aku lebih tua darimu, jadi kau harus menunjukkan rasa hormat." Rian menidurkan koper lalu mengambil beberapa barang dari sana.

"Kau di jurusan mana?"

Rian membuka baju hingga tubuh polosnya yang terbentuk sempurna terlihat. Diki menatap tanpa berkedip, ini pertama kali dia melihat tubuh laki-laki yang terbentuk sempurna. Tanpa sadar dia menahan napas, jantungnya memompa dengan cepat, membuat darahnya berdesir, panas.

"Kenapa?" Rian menaikkan sebelah alis, menatap Diki dengan pandangan bingung.

"A.. aku jurusan sastra." Diki menggeleng, lalu menjawab dengan kikuk. Dia terlihat seperti orang bodoh. Terpana dengan bentuk tubuh Rian padahal dia bukan penyuka sesama jenis.

"Kita sama."

Diki mengangguk, dia telah selesai membersihkan lantai. Rian pergi ke kamar mandi, sedang Diki merebahkan tubuh di kasur. Jantungnya masih berdetak kencang, bahkan pipinya ikut memanas.

Terulang lagi, ini bukan kali pertama tubuhnya bereaksi dengan sesama jenis. Beberapa kali dia bereaksi ketika berdekatan dengan sesama jenis atau ketika tidak sengaja bersentuhan. Meski begitu, Diki yakin dia masih normal karena memiliki rasa tertarik pada lawan jenis.

Reputasinya akan semakin buruk, dia sudah cukup dijauhi karena penampilan yang suram, sekarang dia akan dicap menjijikkan karena menyukai laki-laki. Semoga Rian tidak menyadari perubahan eskpresi Diki tadi.

"Kau tidak mandi?"

Diki menoleh ketika pintu toilet terbuka, Rian muncul dengan rambut basah dan handuk pendek melingkar di pinggang.

"Tidak."

Begitulah pertemuan mereka bermula. Diki dan Rian tidak sering berinteraksi meski tinggal dalam satu kamar. Jadwal kuliah mereka sama tapi pergaulan mereka berbeda. Saat tidak ada kelas, Diki akan kembali ke asrama dan menghabiskan waktu sendirian, sedang Rian cukup terkenal. Laki-laki dan perempuan akan berkumpul dimanapun dia berada.

Keduanya bersikap seolah tidak saling mengenal di kampus. Beruntung Rian tidak pernah mengajak temannya ke asrama mereka. Diki akan sangat terganggu, dia tidak suka berada di kerumunan orang dan menjadi pusat perhatian. Sebisa mungkin Diki membatasi interaksinya dengan Rian karena merasa kurang cocok dengan sifatnya.

* * *

Diki mengerutkan alis ketika melihat nomor tak dikenal tertera pada layar ponselnya. Kelas malam selesai setengah jam lalu dan Diki baru saja sampai di pintu kamar asrama setelah sebelumnya mengunjungi toko buku. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, pasti nomor nyasar. Meski begitu, dia tetap menerima panggilan itu.

"Halo?!"

"Halo, ini Diki teman sekamar Rian kan?" Suara asing di seberang terdengar.

"Iya, ada apa?"

"Bisa datang ke kafe dekat kampus? Rian minum terlalu banyak dan tidak ada yang tahu di mana asramanya. Kami akan pergi ke tempat berikutnya, jadi..."

"Aku mengerti, kalian pergi saja aku akan tiba dalam beberapa menit."

Diki tahu maksud panggilan itu, andai saja mereka tahu bagaimana bentuk tubuh Diki, mereka tidak akan menyuruhnya melakukan hal ini. Tapi nasi telah menjadi bubur, sudah tugasnya sebagai teman sekamar untuk membantu Rian.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat itu karena jaraknya dekat dengan asrama. Di meja paling sudut Rian tertidur nyenyak dengan kepala di atas meja. Semua temannya telah pergi.

"Hei, bangun." Diki duduk di samping Rian lalu menepuk pipinya, tubuh kecilnya tidak akan mampu menahan tubuh Rian.

Rian akhirnya membuka mata setelah pipinya ditepuk beberapa kali. Wajahnya memerah, dengan napas berat, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. Pemuda itu menatap Diki yang langsung mengalihkan pandangan.

"Ayo pulang, kau bisa berdiri kan?"

"Iya." Rian masih tersenyum, memamerkan lesung pipitnya.

Baru sedetik, tubuhnya limbung dan langsung ditahan Diki.

"Berat." Diki mengalungkan tangan Rian di leher lalu memapahnya pelan. "Jangan tidur atau aku akan melepasmu."

"Jangan begitu, kau terlalu dingin untuk seseorang yang tidak bisa bergaul. Sesekali kau harus melakukan hal sepeti ini untuk lepas dari stress." Rian meracau, dia melangkah gontai, dan menyandarkan dagu ke kepala Diki. "Rambutmu harum, kupikir kau jarang mencucinya."

Wajah Diki memanas mendengarnya, apanya yang harum? Itu aroma keringatnya seharian ini. Orang mabuk memang suka sembarang bicara.

Setelah berjalan beberapa lama dengan ditemani suara tawa Rian, mereka sampai di depan asrama. Hanya perlu menaiki beberapa anak tangga dan mereka akan sampai. Kamar mereka berada di lantai tiga.

"Aku mau muntah."

"Jangan di sini, sedikit lagi kita sampai."

"Kau ternyata perhatian juga." Suara Rian terdengar jelas, bahkan napas berat beraroma alkohol dapat Diki rasakan di telinganya. "Kau seperti perempuan, kau juga suka laki-laki kan?"

Kaki Diki berhenti, dia ingin protes tapi ragu. Normalnya dia harus marah, atau paling tidak memberikan sebuah pukulan di perut Rian.

"Tidak."

"Kalau begitu." Rian berdiri dan mendorong Diki ke tembok, lengannya mengunci pergerakkan Diki. Mereka saling bertatapan dalam jarak dekat. Rian tersenyum lalu berbisik pelan sebelum menempelkan bibir mereka. "Harusnya kau menolak ini."

Diki terpaku, sesuatu yang lembut dan lengket membuatnya bungkam. Ini ciuman pertamanya dan rasanya memabukkan karena penuh dengan aroma alkohol.

* * *

avataravatar