1 Cewek yang Sama

"Saya keluarkan kamu, dari sekolah ini." Bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, mendengar keputusan dari kepala sekolah.

"Pak, semua ini bukan salah saya," ujarnya membela diri.

"Sudah banyak kesempatan yang saya berikan, dan kamu selalu mengecewakan. Maaf, kepercayaan saya sudah hilang!"

Dengan air mata yang tertahan, gadis itu keluar dari ruangan kepala sekolah. Pantaskah dia dikeluarkan untuk kesalahan yang tidak sengaja dia perbuat? Meysa Putri Amalia, gadis cerdas nan pemberani yang dikeluarkan dari sekolah karena tak sengaja membuat salah seorang temannya masuk ke rumah sakit. Padahal, semua ini murni kecelakaan, tapi banyak pihak yang tidak terima akan hal itu.

"Papa sudah dengar semuanya." Suara serak seorang lelaki membuatnya mendongak.

"Papa yakin, kamu tidak bersalah. Besok kita cari sekolah baru, dan tentunya dengan lingkungan pertemanan yang lebih bagus daripada di sini," imbuhnya.

Lelaki itu yang selalu mengerti dirinya. Dalam perjalanan pulang, mobil yang dinaikinya berhenti tiba-tiba. Membuat kepala gadis itu terbentur.

"Papa bisa nyetir gak, sih, sakit," rengeknya.

"Siapa sih, berhenti sembarangan di tengah jalan." Papanya segera turun dari mobil.

Meysa lihat dari kaca mobilnya, segerombol geng motor berhenti tepat di persimpangan jalan sana. Menghalangi mobil papanya yang hendak melintas. Dari dalam mobil, tampak mereka berani memarahi sang papa, bahkan sampai mendorongnya. Gadis itu tak terima tentunya.

"Hey! Jangan berani sama orang tua, ya!" bentaknya.

"Papa gak kenapa-kenapa?"

Papanya mengangguk.

"Ini cewek siapa lagi, mau ikut campur segala urusan kita. Mending pulang, terus tidur siang," ejeknya.

Meysa tak terima, gadis itu menendang motor yang ada di sampingnya, hingga menjatuhkan pengemudinya. Anak geng motor itu terpancing, tapi ditahan oleh seorang cowok seperti ketua dari geng itu.

"Jangan melawan wanita, dia bukan tandingan kita. Ayo, pergi," ajaknya.

Meysa bisa melihat jelas, wajah cowok itu, dengan kulit putih bersih dan wajah datarnya, meninggalkan Meysa dan papanya begitu saja.

"Apa kita perlu ke rumah sakit, sepertinya Papa terluka," ujarnya begitu melihat kondisi sang papa.

"Tidak perlu, lebih baik kita pulang saja."

Pagi ini, Meysa datang ke sekolah baru. Harusnya dia diantar oleh wali muridnya. Tapi, sayangnya papanya harus dinas ke luar kota, begitu pun dengan mamanya yang sibuk mengurus adik kecilnya di rumah.

"Kayak anak terlantar, ngeselin banget sih!" Gadis itu menendang botol plastik yang ada di depannya, tak sengaja mengenai kepala satpam penjaga gerbang.

"Yah, kena!"

"Hey, kamu kemari," panggil satpam itu.

"Aduh, Meysa, baru hari pertama belum juga masuk, sudah buat ulah lagi," ujarnya menepuk jidat sendiri.

"Iya Pak, ada apa ya?"

"Masih saja bertanya, kamu 'kan yang lempar botol ini?"

"Bukan saya Pak, mungkin terbang kali, kena angin," jawabnya beralasan.

"Halah ngaku saja!" Satpam itu melihat Meysa dari atas kepala sampai bawah kaki. Membuat gadis itu kebingungan dan berpikir negatif kepadanya.

"Bapak mau macam-macam, ya? Inget umur, anak istri di rumah," cetusnya tanpa berpikir panjang.

"Kamu bukan murid sini, ya? Lihat saja seragam kamu berbeda, kamu anak pindahan?"

"Lah sudah tahu masih saja nanya!"

"Anak siapa sih, kamu, berani banget gak punya sopan santun!" hinanya.

Bukan sekali atau dua kali, Mesya mendapatkan perkataan itu, tapi gadis itu tak pernah mengambil pusing dan lebih tidak peduli.

Bahunya ditepuk seseorang dari belakang, membuatnya terkejut.

"Meysa, Lo pindah ke sini?"

"Lah, kita satu sekolah?" Gadis itu tak menyangka akan berada dalam satu lingkungan yang sama dengan Bima, sahabatnya sekaligus tetangga dekat rumahnya.

"Asikk!! Kenapa Papa gak bilang kalau mau nyekolahin gue di sini. Yok, anterin ke ruang guru," ajaknya bersemangat.

Tapi, berbeda dengan ekspresi wajah Bima, cowok itu terlihat mencari keberadaan seseorang di sekitar Meysa.

"Lo, gak diantar sama wali gitu?"

"Biasalah. Sibuk urusan masing-masing, dari dulu 'kan emang begitu, gak usah kaget," jawabnya.

Bima menggangguk paham. Keduanya lantas masuk ke dalam ruang kepala sekolah. Ini hari pertama dia mendaftar, di sekolah itu sekaligus hari pertamanya masuk kelas.

"Itu kelas Lo," tunjuk Bima ke arah sebuah kelas yang terdengar berisik dari kejauhan.

"Tunggu," cegahnya begitu Meysa hendak langsung masuk ke sana.

"Ada apa?"

"Lo hati-hati ya, di kelas itu. Soalnya banyak anggota geng motor di sana, ketuanya pun ada di kelas itu. Jangan sampai, Lo cari masalah sama dia, kalau gak hidup Lo gak akan tenang di sekolah ini, ingat baik-baik pesanku ini, Mey," tuturnya menginginkan yang terbaik untuk sahabatnya.

"Tenang saja kalik, ini Meysa, gak takut sama apapun!"

Gadis itu tak begitu mendengarkan apa yang dinasehatkan oleh Bima.

Begitu masuk ke dalam kelas itu, suasana yang semula berisik, kini menjadi hening seketika. Semua pandangan tertuju ke arahnya. Padahal, seorang guru ada di dalam kelas itu, tapi semua murid tak ada sedikitpun rasa takut.

"Permisi, Bu ...."

"Oh, kamu yang tadi di kantor kepala sekolah? Sini masuk," suruhnya.

"Perkenalkan diri kamu di depan teman yang lain," sambungnya.

"Hai semua, gue Meysa Putri Amelia. Biasa dipanggil, Mey," ujarnya menuruti perintah guru itu.

"Itu bukannya cewek yang kemaren nantangin kita?" bisik Edo pada Arya, teman sebangkunya.

"Iya, dia yang nantangin kita kemaren," jawabnya.

"Gila, kita sekelas sama dia, Bro!" sahut Tama.

"Lan, Aslan!!!" panggilnya kepada seorang cowok yang duduk di bangku pojok sana. Bukannya mendengarkan dia malah sibuk mencoret-coret meja, menghiasinya dengan gambaran tidak jelas.

"Husttt!!! Aslan!!"

Terlalu keras panggilan itu, membuat guru yang ada di depan sana mendengarnya.

"Itu yang di belakang, gak usah gibah!! Sekarang waktunya jam pelajaran," cetusnya disuruh suara tertawa seisi kelas.

"Mey, kamu cari bangku yang kosong untuk kamu tempati ya," ucap guru itu.

"Baik, Bu."

Matanya menatap ke seluruh penjuru kelas. Tidak ada bangku kosong, kecuali bangku paling belakang dengan seorang cowok yang duduk, satu kakinya terangkat ke atas kursi lainnya.

"Awas, gue mau duduk," suruhnya.

Cowok itu mendongak, melihat ke arahnya.

"Gue bilang awas, kaki Lo, menghalangi tempat duduk gue," ulangnya.

"Apa Lo bilang? Tempat duduk Lo?" Aslan mendekatkan telinganya seolah mengejek ucapan cewek itu.

"Bu, cowok ini gak mau pindahin kakinya di kursi saya." Meysa nekat melaporkan kelakuan cowok yang bahkan tak dia ketahui namanya.

"Aslan!! Jangan cari masalah kamu, cepat beri tepat untuk murid baru duduk!"

Kini dia tahu, nama cowok itu adalah Aslan. Dengan wajah kesalnya, dia menurunkan kakinya, lantas Meysa bisa duduk di sana.

Jam kosong.

Kesempatan bagi semua anak untuk bolos sekolah, tidak semua hanya Aslan dan kawan-kawan saja, biang kerok di sekolah itu.

"Tunggu," cegahnya menahan lengan Aslan yang hendak bangkit.

Baru kali ini ada cewek yang berani memegang tangannya, apalagi mereka baru saja kenal. Aslan terlihat malas, menanggapi cewek itu.

Bersambung ....

avataravatar
Next chapter