6 Mengingat Masa Itu

Hapus. Hapus. Hapus!

Begitulah Indira mencoba mengingat-ingat detail kebersamaan dengan Ferdian pada masa-masa kemarin itu, masa sebelum kepergiannya ke Singapura, mengingat-ingat dengan detail bagaimana indahnya awal cinta mereka bersemi, masa-masa sekolah dan bagaimana mereka setiap saat setiap hari menyirami dan memupuk cinta itu dengan segudang kebersamaan. Betapa masih terngiang kenangan romantis bersamanya dalam bianglala itu, betapa masih jelas ketika berduaan menonton bioskop di Twenty One salah satu Mall yang terkenal di Kota Pahlawan, menikmati adegan demi adegan film action disertai adegan romantisnya film itu. tapi kini telah sirna tergerus waktu. Waktu yang tak lagi ia dapati bersamanya.

Kini ... dirinya disini sendiri, sang pangeran telah berada di luar negeri. Titik-titik air mata tak dapat dikesampingkan lagi. Keluar sesuka hati.

Malam yang syahdu tampak bagi sepasang bola mata cokelat nan sayu yang dimiliki Indira karena lelah, ketika menatap langit dipenuhi dengan moleknya Bulan serta dihiasi gemerlap bintang-bintang di angkasa yang menyemburkan alunan cahaya lembut terurai memperindah rentetan Bima galaksi. Berbanding terbalik dengan kekalutan hatinya yang penuh dengan harapan dan kerinduan akan kekasih yang dicintainya.

"Indira! matikan lampunya sayang, segera istirahat, kamu lelah sayang setelah seharian kuliah, terus baru selesai les anak-anak kan?" Teriak Mama Indira di balik pintu kamarnya.

"Iya Ma habis ini, terima kasih" jawab Indira singkat.

Indira memang setelah ditinggal Ferdian pergi, sesuai janjinya. Ia menyibukkan diri dengan kuliah dan ambil jadwal les untuk anak-anak yang makin ditambah jumlah anak didiknya agar lebih sibuk lagi. Sehingga tak akan banyak waktu untuk merindu dan mengingat kekasihnya itu. Malam ini dia belum bisa tidur, rasa rindu yang begitu mendalam tak mampu ia sembunyikan. Ia mencoba menghubungi Ferdian dengan ponselnya setidaknya bisa memupus rasa kangennya sementara waktu. Ia raih ponselnya dan segera menekan tombol nomor yang ia maksud.

"Halo, siapa ini?" terdengar suara manja seorang gadis dari ponsel pacarnya itu. sesaat setelah tersambung panggilan dari Indira. Seketika Indira merasa tengkuknya sedingin salju, dadanya berdebar kencang menahan amarah tak menentu.

"Halo, siapa?," ulang gadis itu bertanya.

Jantung dan dada Indira mulai terasa meledak kencang, dengan nafas yang berat karena syok mendengar ada suara gadis dari sana? selama ini tidak pernah terjadi seperti ini.

"A ... aku Indira, Mas Ferdian ada?"

"Ooh mas Ferdian sudah pulang, Hand phone dia di aku" suara itu makin terdengar imut dan kemayu.

"Maaf, mbak siapa ya? kenapa HP dia ada di mbak?" tanya Indira tersengal-sengal melawan sesak di dadanya

"Aku anak gadisnya Pak Demian, Bosnya mas Ferdian, baru saja kami selesai makan malam bersama, bisa dikatakan aku calonnya Mas Ferdian. Papaku menjodohkan kami, kalau mbak siapa?" gadis itu menanyakan kembali.

"Kalau ketemu mas Ferdian, bilang saja Indira telefon. Terima kasih ya mbak, maaf mengganggu." Pamit Indira sambil menahan kelu, ia ingin segera mengakhiri perbincangan itu karena tak sanggup menahan tangis dan segudang tanda tanya berliuk-liuk di kepalanya.

Perempuan itu kenapa memegang ponsel ferdian?, apa mereka bertukar ponsel? sedekat itu kah? kenapa mas Ferdian tak pernah cerita? dia menangis terisak-isak sambil membenamkan wajahnya di bantal.

Sampai jam dua belas malam ia masih tak dapat menenangkan pikirannya atau memejamkan matanya. Suara perempuan itu terngiang-ngiang di telinganya. Tangisan yang mengucur tak dapat ia hentikan tak tahu sampai kapan. Hatinya hancur. Tubuhnya seketika terkulai ringkih.

Sampai jam empat pagi pun ia masih menangisi kekasihnya itu, seorang yang ia cintai selama tujuh tahun ini.

Ketika pukul menunjukkan pukul empat menjelang shubuh, ia masih merasakan tubuhnya yang gemetar dan mata yang nanar, ia putuskan meminta tolong Aliyah untuk ganti sift menjaga tokonya pagi dengan alasan dirinya sedang tak enak badan. Biarlah dibuka Aliyah jam berapa? yang penting aku telah menyampaikan permintaan tolong itu. Bisik Indira.

Indira tak menyadari, saking sendunya hati diiringi lelahnya jiwa mengantarkan dirinya tertidur jua, meskipun dirasa hanya sebentar saja. Deringan ponsel miliknya yang berbunyi nyaring itu mengagetkan tidurnya. Dalam keadaan dirinya yang masih berantakan, dia lihat jam pukul sembilan pagi, artinya pukul sepuluh pagi di Singapura, tempat Ferdian berada. Ya, telefon itu berasal dari nomornya, nomor yang semalam selarut itu didalam genggaman seorang perempuan.

"Hallo, Honey ... sayang, kamu telefon semalam? maafkan aku ... ponselku ketinggalan di rumah atasanku, aku tak menyangka tertinggal disana, aku kira tertinggal di kantor dan aku pikir tak masalah esok pagi aku akan mengambilnya," Tanpa ada sapaan dari Indira, Ferdian sudah merasa tak enak hati juga khawatir dengan kekasihnya ini. Ia paparkan panjang lebar agar tidak ada kesalah pahaman. Indira hanya terdiam seribu bahasa, hanya terdengar isakan tangis yang mulai terdengar lagi.

"Kamu menangis sayang?, aku mohon maafkan aku" rayu Ferdian.

"Iya, aku menangis semalaman, apa kamu puas mendapat hadiah tangisan dari aku?" sahut Indira dengan paraunya. Telefon yang tadinya hanya telefon biasa, kini Ferdian ganti dengan video call, betapa Indira muak dan sakit hati sebenarnya akan apa yang ia dengar semalam, namun rasa cintanya yang terlalu dalam untuk lelaki itu, ia angkat juga video call itu.

Wajah Indira yang tampak kusut dan bengkak, mata panda dan memerah semua menghiasi karena hancurnya rasa hati.

"Sweetheart, sungguh aku menyesal atas semua yang terjadi, aku tak bisa menghubungimu bahkan mau pinjam ponsel tidak ada, dua teman sekamarku pergi clubbing pulang pagi sayang, maka itu aku tak bisa mengabarimu."

"Sudah cukup alasanmu!, sekarang katakan siapa perempuan itu mas." Cercanya murka.

"Dia anak Pak Demian, bosku. Kami baru pertama kali itu bertemu, itu pun aku tak tahu rencana Bosku, aku kira beliau mengundangku untuk urusan pekerjaan, aku tak manyangka akan dikenalkan dengan anak gadisnya, lagian dia masih kuliah sayang, aku sudah mengatakan dengan jujur aku sudah mempunyai pacar." Terang Ferdian penuh penyesalan dengan tertinggalnya ponsel dia, berakibat sangat fatal.

Mereka berdua saling bertatapan meskipun jarak jauh hanya via video, tapi dengan begitu sama-sama mengetahui ekspresi dan perasaan masing-masing. Indira yang dilanda api cemburu mulai merendahkan nada dan emosinya. Ferdian pun tahu Indira seperti itu karena saking cintanya kepada dirinya. Ferdian yang sebagai lelaki pun tak kuasa melihat perihnya luka gadis cantiknya itu. dia pun turut berkaca-kaca terharu.

Dia menjelaskan kalau memang kinerja dan kejujuran dirinya serta perilaku dalam pekerjaan dan sehari-hari membuat atasannya terpikat dan jatuh hati untuk menjodohkan dengan anaknya. Ferdian menceritakan semua tak bersisa kepada Indira, bahwa dirinya di perintahkan kelak menikahi anaknya Pak Demian, karena merasa sangat cocok dengan Ferdian. Satu bulan berlalu Ferdian tak menyangka ternyata keseharian dan gerak-geriknya itu bakalan dinilai oleh Bosnya, sehingga diluar nalar memutuskan ingin meminang Ferdian menjadi menantunya.

Namun Ferdian tegas kata, ia mengatakan tengah mencintai gadis lain, yakni Indira kekasihnya.

avataravatar