4 Teror di Tempat Gym

Aku termangu di meja resepsionis. Pikiranku melayang jauh ke desa. Sedari tadi perasaanku enggak enak. Entah apa gerangan yang terjadi di rumah, sehingga ibu bersikeras menyuruhku pulang. Sesekali aku melihat jam di ponselku. Waktu berjalan begitu lambat, terakhir aku melihat jam sembilan, dan sekarang baru lebih lima menit. Aku bertekad setelah pulang kerja, langsung pulang ke desa, bodo amat kalau bosku tidak mengizinkan.

Tiba-tiba seseorang berbadan tegap muncul dari balik pintu. Aku segera membuang pandangan. Seperti biasanya, dia selalu menampilkan senyumnya yang sok kegantengan itu. sejurus kemudian dia sudah berada di depanku.

"Halo, sayang? Gimana kabarnya?" sapanya dengan tubuh yang condong ke arahku. Dia mengenakan kaos hitam yang sempit karena otot-ototnya yang besar. wajah sangarnya tampak tersenyum manis tapi malah membuatku eneg.

Dia mengeluarkan kartu anggotanya dari tas selempangnya dan menyodorkannya kepadaku. Sejenak aku melirik ke kartu anggota itu yang masih di tangannya.

"Ayo ambil!" dia menggerak-gerakan kartu seolah memintaku untuk mengambilnya. Aku melirik sinis ke arahnya.

"Taruh aja di meja kenapa!" hardikku kesal. Bukannya mundur, dia malah semakin menggodaiku.

"Dina yang cantik, masa sama pelanggan gitu? Tapi manis juga sih." dia menjawil daguku dengan kartu anggota di tangannya. Merasa di sepelakan, tanganku menepisnya dan langsung berdiri.

"Jangan kurang ajar ya kamu! atau aku akan teriak supaya member disini menghajarmu hah!" bentakku dengan emosi yang meletup-letup. Pria itu tidak gentar sedikit pun. Memang preman bajingan, rutukku dalam hati.

Di saat bersamaan, Pak Sugeng datang. Dia langsung menghampiri kami.

"Apa-apaan ini!" tanyanya keheranan. Aku memutar mata jengah, kenapa dia datang di saat-saat seperti ini?

"Oh, Pak Sugeng. Ini Pak, Mbaknya nakal banget. masa' dia mau memukul saya?" tanyanya yang langsung membuatku melotot ke arahnya.

"Benar begitu Dina?" sahut Pria itu sok bijak. Aku hanya bersedekap tanpa mau berbicara apa-apa.

"Ya sudah Pak, saya mohon maaf atas kelakuan karyawan saya. Mungkin dia lagi halangan, Makanya emosinya tidak stabil." Kata Pak Sugeng yang membelaku.

"Lagi halangan atau kesepian ya hehehehe...." selorohnya sembari ngeloyor ke ruang loker. Aku hanya melihat punggungnya dengan pandangan penuh emosi.

"Sudahlah Dina, lain kali kamu jangan seperti itu, nanti pelanggan kabur." Ujar Pak Sugeng.

"Dia yang mulai kurang ajar dengan saya Pak!" kilahku membela diri. Namun di luar dugaan, pria tua itu malah tersenyum-senyum melihatku seolah tidak ada empatinya sama sekali.

"Ya Sudah, oh iya nanti kita tutup lebih lambat ya. Sekitar setengah sebelas. Soalnya ada tukang pompa yang datang."

"Lha itu kan urusan Bapak, bukan urusan saya. Pukul sepuluh aku sudah harus pulang."

"Dina! saya ini bosmu! Jadi kamu harus menuruti permintaan saya!" tandas Pria tua itu. aku langsung duduk di kursi dengan mulut manyun. Kalau jam segitu bisa-bisa aku kemalaman untuk pulang ke desa.

Setengah jam kemudian, Beberapa anggota juga sudah meninggalkan tempat gym, karena memang mau tutup. Hanya ada aku dan kedua pria itu. Terlihat Pak Sugeng dan Anton sedang bercakap-cakap. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas perasaanku menjadi tidak enak.

Satu jam berlalu ,tetapi tukang pompa itu tidak kunjung datang. Lagian aku heran, mana ada tukang pompa datang malam-malam seperti ini. aku pun melongok ke tempat gym, mereka masih asik berbicara. Terdengar suara kelakar mereka yang terdengar sampai resepsionis.

Tiba-tiba angin berembus dari arah luar. Aku meraba tengkukku. Sekelebat bayangan melintas dengan cepat di depanku membuatku tersentak. Aku pun kembali duduk. Pandanganku terus menyapu sekitar.

"Dina." panggil PaK Sugeng yang membuatku terperanjat. Aku menoleh ke arahnya dengan nafas ngos-ngosan.

"Kenapa kamu? kok kayak lihat hantu gitu!" ujarnya terkekeh,"Oh ya Dina, aku mau keluar sebentar, mau datangi tukang pompa itu kok enggak datang-datang."

"Tapi Pak, ini 'kan sudah jam setengah sebelas? Sudah waktunya saya pulang." Protesku. Aku merasa sepertinya Orang Tua ini sengaja menahanku di sini, entah apa maksudnya.

"Sudahlah, kamu disini dulu. Enggak lama kok!"

"Tapi Pak!"

Pria itu malah setengah berlari menuju mobilnya. Tidak berapa lama dia pun pergi. Jelas aku tidak mungkin nekad untuk pulang, mengingat dia yang membawa kuncinya. Ih, aku menginjakkan kaki ke lantai dengan sebal.

Jalan raya di depan sepi. Sesekali terlihat pengendara motor yang lalu lalang. Melesat dengan cepat. Seperti di kejar sesuatu. Sunyi yang kurasa.

Aku yang sesumbar tidak takut dengan hantu, malah menjadi parno sendiri. hanya terdengar suara alat gym yang sedang di gunakan oleh Anton. Iya, hanya anton dan aku yang ada di sini.

Krosakk!!!

Terdengar ranting pohon yang di goyang-goyangkan.

Padahal tidak ada angin kencang yang menyambar. Aku semakin gelisah. Pandanganku tak lekat melihat sekitar. aku tahu kalau diantara semua sudut ruang ini, ada sesuatu yang memperhatikanku. Anton? Jelas bukan dia, karena dia sedang sibuk dengan alat gymnya.

Tiba-tiba lampu tempat gym mati. Terdengar anton berdecak kesal, lalu dia melempar sesuatu serampangan di lantai, sepertinya barbel. Lalu dia melangkahkan kaki. Namun, bukannya ke arah resepsionis dia malah ke belakang di mana terdapat toilet dan tanah lapang yang ditumbuhi oleh pohon mangga yang cukup rimbun.

Aku mengigit bibir. Aku sangat tahu perangai dari pria itu, kalau ada sesuatu yang enggak beres dia pasti langsung komplain. Tapi ini?

Suara krosakan itu terdengar lagi, membuatku terperanjat. Suasana ruang resepsionis ini semakin mencekam saja. Aku pun beranjak dari tempat duduk dan melangkah mengendap-endap ke ruang gym. Setidaknya ada anton disini, sehingga ada perasaan aman. Meski aku benci setengah mati dengannya.

"Ton, anton." Tidak ada sahutan.

Aku langsung menyalakan flash ponselku. Dengan tangan gemetar aku mengedarkan cahayanya ke seluruh ruangan. Pintu belakang di buka, tepat dugaanku pasti pria itu sedang ada di belakang. aku menoleh ke belakang, ke arah resepsionis. Nyaliku ciut untuk kembali ke sana. Akhirnya dengan berat hati aku menyusul anton ke belakang.

Sunyi, gelap.

Aku mengernyit dahi. Sebuah tanda tanya besar bergelayut di benakku. Kemana perginya anton?

Dengan cepat aku mengitarkan lampu flashku, tetapi tidak ada siapapun di sana. Apa mungkin dia di toilet? Semilir angin mengantarkan bau harum seperti bau ketela yang di bakar. Sesekali saja. Namun bau itu semakin pekat tatkala aku berjalan jinjit ke toilet. Hanya terdengar suara gumaman yang tidak jelas. Tetapi apakah itu anton? Aku mendekatkan telinga ke pintu toilet dengan kedua telapak tangan yang tertumpu.

Tiba-tiba, pintu terbuka dengan sendirinya, membuatku terjungkal ke dalam. Aku mengaduh kesakitan karena tanganku menghantam ubin toilet. Aku mendongak. Terlihat dua buah kaki berbulu lebat kehitaman. Nafasku berburu-buru. Terlebih suaranya yang mengeram seperti harimau, membuatku bulu kudukku meremang. Cukup lama aku terpaku dengan hanya melihat kaki itu, sampai akhirnya tidak sadarkan diri.

Bersambung

Note:

Duh, Mahluk apa itu tadi gaes?

penasaran kan?

avataravatar
Next chapter