10 Dendam Kesumat

"Mbak, bangun mbak." Pekik seseorang yang mengetuk kaca mobil samping. Aku tergeragap dan mengucek-ucek mata. Netraku menatap sekumpulan orang yang sedang mengelilingi mobilku.

"Alhamdulillah orangnya sudah sadar." Ucap orang itu yang membuat semua orang menarik nafas lega. Dengan lemas, aku membuka pintu. terlihat beberapa orang mundur, memberi ruang untukku.

"Mbak tidak apa-apa?" tanya seorang ibu-ibu setengah baya yang mengenakan jarik dan caping.

"Tidak apa apa bu, hanya kepala saya yang sedikit pusing." Jawabku dengan senyum kecil. Kepalaku masih terasa pening, tapi aku tidak menampik kenikmatan yang aku dapat semalam sungguh luar biasa. terlihat semua orang di sana kebingungan menatapku.

"Mbak, bagaimana ceritanya mbak bisa ada di sini? Memangnya mbak mau kemana?" tanya pemuda yang membangunkanku tadi.

"Mau ke desa Cerme Mas."

Semua orang terbelalak ketika mendengar jawabanku. Sedetik kemudian Raut wajah menegang. Seakan ada sesuatu yang aneh terjadi dengan desa itu.

"Mbak serius mau ke desa cerme?"

"Iya, memangnya kenapa sih Mas?' tanyaku dengan nada tinggi penuh selidik.

"Warganya menghilang secara misterius dan beberapa diantaranya ada yang di temukan terpanggang hidup-hidup di dalam rumah joglo!" Jelas Pemuda itu spontan. Terlihat beberapa warga yang geram memukulnya, karena ucapannya yang terlalu frontal.

"Apa? Terus nasib ibu saya bagaimana Pak?" tanyaku cemas campur syok. Dugaanku tidak meleset. Misteri tentang desa itu terungkap sudah. Kepalaku yang pening karena baru bangun tidur, terasa nyeri seperti di hujam ribuan belati, pun degup jantungku yang seperti mau merosot dari tempatnya.

"Kamu harusnya jangan bicara langsung seperti itu Peno! Kasihan Mbaknya." Bisik ibu setengah baya tadi namun terdengar jelas olehku. Beberapa diantaranya juga melakukan hal yang sama. pemuda yang bernama Peno itu hanya terdiam seribu bahasa. Dia tidak berpikir panjang dengan ucapannya barusan yang berdampak hebat untukku, walau yang dia ucapkan adalah fakta.

"tolong antarkan saya ke desa cerme sekarang. kumohon." Aku mengedarkan pandangan ke setiap orang di sana yang tampak memandang satu sama lain.

"Nduk, lebih baik kamu jangan ke desa itu. Nanti takutnya kamu yang kena bala, menghilang seperti warga yang lain." ibu setengah baya tadi angkat bicara. Sorot matanya yang keibuan justru membuatku terus teringat dengan ibu.

"Terus, bagaimana dengan ibu saya?" kejarku sembari menggenggam erat tangan ibu itu. namun ibu itu tidak menjawab.

"Mbak, benar apa yang dikatakan oleh ibu itu. jauhi desa itu. terakhir yang kami tahu tidak ada seorang pun yang tersisa di desa itu, mereka menghilang secara misterius. Hanya tersisa sekumpulan orang yang terpanggang di dalam rumah. Bahkan polisi yang berusaha mengungkap kejadian itu mendadak menjadi gila semua," timpal salah satu diantaranya.

Tenggorokanku tercekat. Lalu aku termenung cukup lama. Mereka sepertinya memberikanku kesempatan untuk menenangkan diri. Siapa yang tidak syok dengan kejadian mistis yang menimpa desa itu. Tapi entah kenapa aku merasa puas karena semua warga desa cerme meninggal.

Apakah ini karena aku dendam dengan perbuatan mereka di masa lalu?

Memori kembali terkuak ketika aku melahirkan anak setan itu. Bayi yang menjadi rebutan para bangsa dedemit sampai terjadi pertengkaran hebat. Entah apa istimewanya bayi berwujud kera itu. namun atas bantuan seorang kyai, bayi itu kembali kepangkuanku.

Namun keistimewaan bayi itu di dunia ghaib berbanding terbalik dengan dunia nyata. Berita akan bayiku yang berwujud kera sontak menyebar luas ke seluruh warga cerme dan menjadi pergunjingan. Aku yang kala itu mengetahuinya tidak berniat sedikitpun untuk menampakan bayi itu. berbanding terbalik dengan ibu yang ingin selalu membawa bayi itu keluar di hadapan warga. Menurutnya cepat atau lambat semua orang pasti tahu. Namun aku mencegahnya. Bagiku bayi itu adalah aib yang harus di tutupi.

Sampai ketika aku belanja di penjual sayur keliling yang kebetulan terlihat beberapa ibu-ibu yang sedang belanja. Melihat kedatanganku, mereka sontak menghindar dariku. Lalu terdengar mereka berbisik-bisik.

"Delok iku bojone demit belonjo." Ujar seorang ibu yang penampilannya paling menor. .

"Kok gelem yo dadi gundike demit, dahniyo anake koyok opo. Hehehe." Timpal yang lain. kupingku terasa panas.

"Anake yo demit to Bu. Rupane medeni malah." Imbuh seorang lagi sambil meninggikan nada bicaranya supaya terdengar olehku.

"Cukup ya ibu-ibu! Stop bilang anak saya anak demit!" bentakku. Mereka terperanjat. Ibu yang penampilannya paling menor berkacak pinggang. Dengan sengit dia membalas,

"Memang itu kenyataannya kok! Anakmu itu anak demit!"

"Jaga bicaramu! Anak saya bukan anak demit." Kilahku membela diri.

"Kalau memang bukan anak demit, kenapa kamu tidak pernah mengajak bayimu itu keluar supaya kami bisa lihat!" tantangnya dengan senyum sengit.

Aku terdiam seribu bahasa. Tidak berkutik.

"Ayo, tunjukan kepada kami kalau bayimu bukan bayi demit. Ayo!" dia terkekeh yang di sambut dua ibu-ibu lainnya. Terlebih beberapa ibu-ibu yang lain datang juga terlihat memperhatikanku.

Aku melangkah mundur. lalu berlari menuju rumah. terdengar tawa mereka yang mengejek, menyayat hati. Puas telah mempermalukanku. Puas telah membuatku menderita. Puas telah menggores hati sehingga semakin mengangga. Tidak hanya diriku tetapi ibuku jua. Di dalam dekapannya, dia menangkanku walaupun aku tahu dia juga sakit, bahkan jauh lebih sakit.

Semenjak itu aku memutuskan untuk hijrah ke kota Surabaya.

Dan sekarang seakan karma itu terjadi, seluruh warga cerme menghilang secara misterius. Hukuman yang pantas mereka dapatkan karena memperlakukanku secara tidak adil!

"Mbak." Kata Peno sembari menggoyang-goyangkan pundakku, membuatku tersentak dari lamunan. Terlihat semua orang di sana terbengong karena melihatku malah melamun sambil senyum-senyum sendiri. aku berdehem sejenak.

"Bapak-bapak, bisa bantu saya mendorong mobil dari kubangan ini?" pintaku. Mereka dengan sigap mengiyakan permintaanku. Kemudian, salah satu diantaranya memberi aba-aba untukku untuk mengegas berbarengan dorongan serentak warga. Satu kali. dua kali. dan pas ketiga kalinya mobil yang miring karena salah satu pan terperosok itu akhirnya bisa bebas. Terdengar sorak sorai warga.

Aku menepikan mobil. Sejenak aku menata penampilnku yang acak-acakan, untuk kemudian keluar dari mobil. Etika kalau sudah di tolong adalah berterima kasih. Itu yang saya lakukan sekarang.

"Terima kasih bapak-bapak sudah membantu saya." Setengah menunduk sembari menyatukan tangan kedepan kemaluan. Sebagai wanita perkotaan, sikapku harus lebih anggun dan santun. Setidaknya ada yang membedakan antara aku dan mereka.

"Sama-sama Nduk, ingat pesan kami ya. Jangan ke desa itu dulu. Soal ibumu iklaskan saja dia. Doakan yang terbaik untuknya." Lagi-lagi ibu setengah baya itu mengatakan hal yang sama. Sedikit jengkel dengan sikap mereka yang melarangku untuk pergi ke desa itu. Bukan apa-apa, aku hanya kepikiran bagaimana dengan nasib ibuku? Apakah beliau ada diantara yang terpanggang atau raib tanpa jejak?

Namun, aku berusaha tersenyum. Lalu pamit dari hadapan mereka. salah satu diantara mereka menawarkan untuk mengantar sampai jalan raya, tapi aku menolaknya secara halus. sejak kecil aku tinggal di daerah sini, jadi aku tahu seluk beluk daerah sini termasuk daerah hutan. Untung, mereka tidak tanya lagi tentang kenapa aku bisa sampai terperosok di kubangan itu, jadinya aku tidak perlu bercerita tentang kejadian mengerikan yang menimpaku semalam.

Note:

lanjut gak?

komen ya

avataravatar
Next chapter