webnovel

1

Hermione Jean Granger menghela nafas panjang sambil menatap layar monitor di hadapannya. Ia tengah berbaring di atas perutnya di tempat tidur queen size di apartemennya di tengah kota London. Tidak akan ada yang menduga bahwa salah satu dari trio Potter, yang juga merupakan lulusan terbaik Hogwarts, salah satu penyihir wanita paling bersinar di usianya, akan memilih meninggalkan dunia sihir setelah perang berakhir dan bekerja sebagai manajer keuangan di salah satu perusahaan perdagangan terkemuka di Inggris. Tentu saja keputusannya ini mengejutkan banyak pihak. Sebut saja sahabatnya, Harry James Potter, yang menjatuhkan kue pai daging yang tengah dimakannya saat Hermione mengutarakan niatnya untuk meninggalkan dunia sihir dan bekerja di antara muggle—"Kau sebaiknya bercanda!", atau Ronald Weasley yang menyemburkan teh yang diminumnya—"Tapi mereka menawarkanmu posisi di kementrian sihir!". Tentu saja, Hermione adalah Hermione. Ia sangat menyayangi kedua sahabatnya itu sampai tahapan dimana ia tidak keberatan kalaupun harus mati untuk mereka, tapi ia tetaplah seorang Hermione Jean Granger, sekali ia mengambil keputusan maka tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya.

Hermione melepaskan kacamata baca yang sejak tadi digunakannya dan berbalik hingga kini ia berbaring terlentang menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih gading. Waktu delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tentu saja, ia masih bisa menggunakan sihir, hanya saja ia membatasi dirinya untuk sihir-sihir tertentu. Ia tidak ingin memanjakan dirinya dengan sihir mengingat saat ini ia tengah berada di antara para muggle. Sedikit aneh rasanya untuk menyebut orang-orang yang ada di sekitarnya ini 'muggle' karena dulu sebelum ia mendapatkan surat dari Hogwarts, ia juga salah satu dari para muggle ini. Namun sekarang, meskipun ia sudah meninggalkan dunia sihir dan gemerlap manteranya ia masih tetap seorang penyihir.

Ia tidak memutuskan hubungan dengan dunia sihir begitu saja. Ia masih berlangganan Daily Prophet dan bertukar kabar dengan para sahabatnya. Ia tidak memelihara burung hantu tapi seminggu sekali seekor burung hantu akan datang membawa kabar untuknya. Sebulan sekali teman-temannya juga akan datang berkunjung untuk makan malam bersamanya. Hermione harus mengakui setiap kali teman-temannya datang berkunjung ia merasa semakin merindukan dunia sihir. Harry akan bercerita tentang bagaimana pekerjaannya sebagai seorang Auror dan Ron akan mengeluh tentang atasannya di kementrian yang selalu mengkritik pekerjaannya. Hermione biasanya akan mendengarkan cerita teman-temannya itu sambil meminum tehnya dan membayangkan seperti apa hidupnya sekarang seandainya dulu ia tidak mengambil keputusan itu.

Hermione memejamkan matanya. Mungkin ia sedikit menyesal tapi ia memiliki alasan mengapa ia memutuskan untuk hidup seperti ini, di tengah Kota London, jauh dari hiruk pikuk dunia sihir dan orang-orangnya. Bekerja di bidang yang sebenarnya tidak terlalu menarik untuknya bersama orang-orang yang tidak dikenalnya...

Ia takut.

Sebenarnya alasannya meninggalkan dunia sihir delapan tahun yang lalu adalah karena ia takut.

Tidak akan ada yang pernah menduga, Hermione Granger, salah satu penyihir terhebat, pahlawan dalam perang melawan Pangeran Kegelapan, yang telah berhasil menangkap dan melumpuhkan banyak pelahap maut sebenarnya merasa ketakutan. Ya, Hermione tidak pernah mengakuinya di hadapan kedua sahabatnya, ia tidak pernah mengatakannya pada siapa pun tapi sebenarnya ia masih mengalami mimpi buruk sampai hari ini. Perang yang dialaminya saat itu, masa-masa suram saat itu, telah meninggalkan bekas mendalam di dalam diri seorang Hermione. Bahkan saat ini, setelah berada jauh dari dunia sihir ia masih merasa ketakutan. Mimpi buruk masih menghantuinya di malam-malam tertentu. Ia ingin menghentikan semua ini, ia benci merasa ketakutan seperti ini.

Ada beberapa mantera dan ramuan penghilang mimpi buruk yang sudah dicobanya namun sepertinya rasa takut dan mimpi buruk itu melekat terlalu erat pada dirinya dan kini ia sudah menyerah. Paling tidak kini mimpi buruk itu tidak datang sesering dulu. Mungkin karena pengaruh waktu, delapan tahun sekali lagi bukanlah waktu yang sebentar, atau mungkin juga karena ia kini telah hidup berjauhan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan sihir.

Hermione tidak pernah tahu, ia bukanlah satu-satunya orang yang tersiksa oleh mimpi buruk tentang perang yang terjadi bertahun-tahun yang lalu. Beratus-ratus mil ke barat dari apartemennya, seorang penyihir juga mengalami hal yang sama dengannya.

.

Draco Malfoymeletakan gelas kristal berisi wiski api yang tengah diminumnya di atas meja kayu cherry yang ada di hadapannya. Siapa pun yang melihatnya saat itu akan langsung tahu bahwa pemilik Malfoy Manor itu sedang tidak merasa senang. Pria muda berusia pertengahan duapuluh tahunan itu telah menghabiskan berjam-jam di ruang kerjanya, mengenakan kimono tidur yang terbuat dari sutra bersulam benang emas dengan ditemani beberapa botol wiski dan musik yang mengalun perlahan. Rambut pirang nyaris peraknya yang berantakan berkilau ditempa sinar bulan yang menerobos masuk melalui jendela besar yang menghubungkan ruang kerjanya ke balkon. Rambut berantakan bukanlah ciri seorang Draco Malfoy, kalau saat ini ia terlihat tidak peduli pada gaya rambutnya itu karena ada hal lain yang mengganggu pikirannya.

Kalau diperhatikan baik-baik ada hal lain yang berbeda dari diri penyihir tampan itu selain rambutnya yang tidak tertata rapi seperti biasanya. Kulitnya masih pucat dan wajahnya masih merengut seperti biasanya tapi kali ini ada lingkaran hitam samar yang mulai tampak mengelilingi matanya. Ia terlihat kelelahan dan tidak bertenaga. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya meskipun untuk ukuran pria muda seusianya tubuh normalnya pun sudah termasuk kurus.

Draco meraih botol terakhir wiskinya dan berjengit saat menyadari botol itu pun sudah nyaris kosong. Ia mendecakan lidahnya dengan kesal.

"Joseph!"

Terdengar bunyi ledakan yang cukup nyaring ketika sesosok peri rumah muncul di hadapan Draco Malfoy. Seperti halnya peri rumah lain pada umumnya, peri rumah bernama Joseph itu pun hanya mengenakan serpihan kain kumal sebagai pengganti pakaian. Matanya yang besar berwarna keemasan menatap takut pada tuannya, tubuh kurusnya bergetar saat ia membungkuk hormat sambil berusaha agar berada sejauh mungkin dari kaki penyihir itu untuk menghindari tendangan tuannya yang mungkin akan mendarat di tubuhnya. Dengan undang-undang perlindungan peri rumah yang telah disahkan, setiap penyihir diharuskan memperlakukan peri rumahnya dengan lebih baik tapi kalian tidak pernah tahu dengan seorang Malfoy yang tengah merasa kesal.

"Y-ya, tuanku?"

Draco mendecakan lidahnya lagi, ia mengibaskan tangannya ke arah botol-botol wiski kosong di atas mejanya, "ambilkan aku beberapa botol lagi."

"Baik, Tuan."

Lega karena tidak ada tendangan yang diterimanya kali ini, Joseph buru-buru menjentikan jarinya sebelum tuannya berubah pikiran. Dengan bunyi ledakan keras ia kembali menghilang meninggalkan ruangan itu.

Draco menghela nafas. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu sejak perang berakhir. Kedua orang tuanya berhasil lolos dari hukuman dengan segala macam upaya yang telah keluarganya lakukan, termasuk menjual nama para pelahap maut lain yang terlibat saat itu. Tentu saja, meskipun berhasil lolos dari Azkaban, keluarganya—dan banyak keluarga darah murni lainnya—telah kehilangan pengaruh mereka di dunia sihir. Dalam waktu delapan tahun ia bekerja keras meneruskan bisnis keluarganya untuk perlahan-lahan mengembalikan posisi keluarganya di mata masyarakat sihir. Ia tahu meskipun para penyihir itu tidak berani mengatakan apapun di hadapannya dan orang tuanya secara langsung, di belakang mereka beredar berbagai macam rumor tidak sedap. Tentu saja, seorang Malfoy terbiasa dengan rumor tidak sedap mengenai keluarganya, itu sudah bukan hal aneh lagi. Draco tidak peduli. Selama ia memiliki uang dan kekuasaan, membungkam penyihir-penyihir itu bukanlah hal yang sulit untuknya.

Bagaimana pun ada hal lain yang menganggunya.

Ia memejamkan matanya dan memijit pelipisnya dengan sebelah tangan. Belakangan ini ia kembali bermimpi buruk tentang saat-saat suram itu. Ia tidak ingin kembali mengingatnya. Masa-masa perang melawan Pangeran Kegelapan... Ia tidak ingin mengingatnya.

Ia tersentak saat terdengar bunyi ledakan keras.

Joseph kembali membawa tiga botol wiski api untuknya.

.

Ada tiga hal yang Hermione tidak sukai dari Diagon Alley salah satunya adalah bahwa tempat itu selalu saja dipenuhi para penyihir pria dan wanita dengan segala macam keperluan. Hermione tidak suka berdesak-desakan dan para penyihir itu, berbeda dengan muggle, memiliki selera berpakaian yang kadang-kadang dapat digolongkan berbahaya. Seperti penyihir dari Sri Lanka yang baru saja nyaris menabrak Hermione yang entah mengapa melilitkan semacam duri di sekeliling tubuhnya atau penyihir India yang menggunakan ular kobra hidup sebagai pengganti turban.

Setelah hampir setahun, akhirnya Hermione kembali ke Diagon Alley. Ia mempercepat langkahnya untuk mencapai tempat yang ditujunya. Dari kejauhan ia bisa melihat kafe teras yang yang ditujunya. Bahkan dari jarak sejauh ini ia bisa mengenali kepala merah yang tengah duduk di salah satu kursi yang tersedia. Ia tersenyum saat kepala merah itu meoleh ke arahnya dan menyadari keberadaannya. Setelah melambaikan tangannya sekilas Hermione mempercepat langkahnya.

Hermione menarik kursi kayu di hadapan Ginny Weasley dan tersenyum sopan pada gadis yang berusia lebih muda darinya itu.

"Maaf membuatmu menunggu, Ginny," Hermione melepaskan syal dan sarung tangannya dan menjejalkannya ke dalam tas besarnya yang ia letakan di lantai di sebelah tempat duduknya, "Aku harus mengurus beberapa hal dulu di kantor."

Ginny tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya yang rata, "Tidak masalah, aku juga baru datang," ia menunjukan cangkir tehnya yang masih penuh.

Hermione tersenyum lega. Ia tidak suka menunggu karena itu sebisa mungkin ia tidak ingin membuat orang lain menunggunya. Terutama saat ini Ginny tengah hamil besar, ia merasa tidak enak karena telah membuatnya menunggu sendirian. Meskipun ia juga tahu Ginny akan sangat marah kalau ia mendengarnya. Sejak dulu Ginny adalah gadis pemberani dan mandiri yang tubuh dikelilingi kakak-kakak laki-lakinya. Ada beberapa hal pada Ginny yang diam-diam membuat Hermione kagum padanya. Meski pun awalnya ia sempat cemburu saat sahabatnya, Harry, berhubungan dengan Ginny, beberapa tahun lalu saat mendengar kabar bahwa keduanya berpisah, Hermione adalah salah satu orang yang berusaha membuat keduanya berbaikan kembali, meskipun tentu saja, ia tidak bisa memaksakan sesuatu yang diluar kemampuannya.

Seorang pelayan datang menanyakan pesanan Hermione saat ia baru saja akan menanyakan kabar Ginny. Hermione memesan pai labu dan teh mawar, makanan dan minuman dunia sihir yang menurutnya masih aman untuk dimakannya saat ini. Setelah beberapa lama hidup di dunia muggle Hermione terbiasa dengan makanan normal, butuh waktu untuk tubuhnya untuk menyesuaikan dengan makanan dari dunia sihir.

"Bagaimana dengan kondisi kandunganmu?" tanya Hermione sambil tersenyum pada Ginny.

"Sudah memasuki tujuh bulan," Ginny tampak sangat bahagia saat menceritakan soal kehamilannya pada Hermione, "Kadang-kadang aku bisa merasakannya menendang-nendang perutku dari dalam."

Hermione tertawa, "Bayimu terdengar aktif."

Ginny hanya nyengir mendengarnya. Tidak lama kemudian pesanan Hermione datang. Ginny mengawasi Hermione menyantap painya sambil meminum tehnya. Meskipun mereka cukup dekat, terutama sejak ia berkencan dengan Harry dan Hermione dengan Ron, Ginny dan Hermione tidak terlalu sering menghabiskan waktu berdua saja. Terutama beberapa tahun belakangan setelah keduanya putus dari pasangan masing-masung dan Hermione memutuskan kembali ke dunia muggle.

Setelah meneguk tehnya, Ginny mengutarakan apa yang sejak tadi ada di dalam kepalanya, "Jadi? Ada apa? Aku sangat terkejut saat membaca suratmu, tidak biasanya kamu mengajakku bertemu seperti ini. Tentu saja aku senang, tapi apa ada sesuatu yang harus dibicarakan secara langsung?" Ginny mengerutkan dahinya, "Apa terjadi sesuatu?"

Hermione menggelengkan kepalanya dan tersenyum, "Aku hanya butuh bantuanmu, aku tidak bisa bertanya pada Harry dan Ron, kau tahu, Ron bekerja di kementrian sedangkan Harry adalah seorang Auror..."

Wanita muda berambut merah itu memicingkan matanya, "Jadi ini adalah hal yang ilegal, begitu?"

Hermione tersenyum dan meminum tehnya. Ia tahu Ginny tidak akan keberatan untuk membantunya meskipun hal tersebut ilegal. Tentu saja tidak, yang membuat Ginny terkejut adalah bahwa seorang Hermione Granger yang terkenal selalu menaati aturan tiba-tiba saja meminta bantuannya terkait sesuatu yang ilegal? Tentu saja Ginny tidak keberatan sama sekali untuk membantu Hermione. Bagaimana pun ia adalah seorang Weasley sejati. Pengaruh kakak-kakak laki-lakinya terlalu besar padanya.

"Molukka Bean, atau telur peri," gumam Hermione sambil meletakan cangkir tehnya yang sudah nyaris kosong, "kamu tahu dimana aku bisa mendapatkannya?"

Menjadi adik perempuan dari Fred dan George Weasley, tentu saja Ginny tahu dimana mereka bisa mendapatkan telur peri. Meskipun ia sendiri tidak pernah pergi ke tempat yang dimaksud, ia cukup tahu tempat-tempat yang menjual benda-benda ilegal seperti telur peri. Sebagai salah seorang pengajar di Hogwarts, tentu saja Ginny tidak seharusnya membantu seseorang melakukan hal ilegal seperti membeli telur peri. Tapi ini adalah Hermione Granger, sahabatnya yang telah sama-sama berjuang melawan pangeran kegelapan. Tentu saja ia akan membantunya.

Ginny menghela napas panjang, "Tentu saja aku tahu," gumamnya sambil menatap sekelilingnya, memastikan tidak ada seorang pun yang tengah mencuri dengar pembicaraan mereka, "Tapi untuk apa?"

Hermione menggelengkan kepalanya, "Maaf aku tidak bisa memberitahu," tapi lalu ia tersenyum, "Aku berjanji aku tidak akan menggunakannya untuk hal buruk."

Ginny mendengus. Tentu saja. Hal ternakal yang pernah Hermione lakukan mungkin adalah membuat ramuan polijus. Ia percaya bahwa Hermione tidak akan menggunakan benda ilegal untuk hal ilegal. Paling tidak, ia percaya bahwa Hermione cukup pintar untuk tidak melakukan hal-hal yang berbahaya.

Wanita muda berambut coklat ikal itu mengawasi temannya yang mengeluarkan secarik perkamen dan pena bulu dari tasnya dan mulai menuliskan sesuatu dan setelah selesai ia menyerahkan potongan perkamen itu pada Hermione yang menerimanya dengan senyum lebar di wajahnya.

"Aku tidak bisa menemanimu, maaf," kata Ginny sambil menunjuk perutnya, ia terdengar menyesal, "akan menarik perhatian kalau aku ke sana..."

Hermione tertawa dan mengibaskan sebelah tangan, "Tidak perlu, ini saja sudah cukup, aku sangat berterima kasih," lalu ia merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan tiga keping uang emas dan tersenyum saat Ginny mengerutkan dahinya untuk memrotesnya, "Biarkan aku menraktirmu sekali ini, sebagai tanda terima kasih?"

Ginny menghela nafas, "Baiklah..." Ia mengawasi Hermione yang kembali mengenakan syal dan sarung tangannya dan bersiap beranjak pergi, "Sebelumnya aku peringatkan, sebaiknya berhati-hati. Ada banyak orang berbahaya di Knockturn Alley."

Hermione mengeluarkan tongkat sihirnya dan melambaikannya, "Aku masih menguasai sihir, Ginny..." Lalu sambil tersenyum dan mengucapkan selamat tinggal, Hermione berdiri dan meninggalkan mejanya. Ia melambai sekilas sebelum menghilang di tengah keramaian Diagon Alley.

Setelah temannya pergi, Ginny Weasley mencoba mengingat-ingat kegunaan telur peri. Seingatnya tidak banyak ramuan yang membutuhkan telur peri. Ia tidak begitu menonjol di bidang ramuan mengingat saat ini ia mengajar transfigurasi menggantikan Professor McGonagall yang kini telah menjadi kepala sekolah.

Seingatnya, ada beberapa kegunaan telur peri. Untuk menghentikan mimpi buruk, untuk ramuan penghilang ingatan, dan untuk...

Tiba-tiba saja wajah anak bungsu di keluarga Weasley itu memucat.

Tidak mungkin.

Manfaat terakhir telur peri adalah untuk menggugurkan kandungan.

.

Tidak seperti Diagon Alley yang ramai, Knockturn Alley justru cenderung jauh lebih senggang. Beberapa penyihir yang terlihat mencurigakan berjalan mengendap-endap dari salah satu sudut yang gelap memasuki salah satu toko yang juga tidak kalah mencurigakannya. Udara di sekitar Knockturn Alley lebih lembab dan berbau seperti campuran jamur, wiski, dan ikan. Draco Malfoy mengerutkan hidungnya dengan jijik saat ia berjalan melintasi deretan toko-toko yang menjual perlengkapan sihir hitam. Ia tidak menyukai tempat ini dan hanya berada di sini karena terpaksa.

Mantelnya yang jauh lebih mahal dari mantel yang dikenakan para penyihir lainnya di Knockturn Alley berkibaran saat ia mempercepat langkahnya menuju tempat yang ditujunya. Dahinya berkerut dan tangannya yang tersembunyi di balik mantelnya menggenggam erat tongkat sihirnya. Hanya penyihir bodoh yang akan menyerang seorang Draco Malfoy tapi di Knockturn Alley, kau tidak pernah tahu apa yang mungkin terjadi. Draco hanya mencoba bersikap sewaspada mungkin. Ia sadar bahwa penampilannya yang berbeda telah menarik perhatian penyihir-penyihir di sekitarnya. Beberapa pasang mata mengawasinya dari balik kegelapan. Draco mengatupkan rahangnya rapat-rapat, ia akan segera menyelesaikan urusannya dan segera pulang.

Langkahnya terhenti di depan sebuah toko kecil dengan tembok berwarna hitam. Dahinya berkerut saat ia mengeluarkan secarik perkamen dari dalam sakunya dan memastikan alamat yang ditujunya. Tidak salah lagi, inilah toko yang ia cari.

Draco menghela napas sebelum kemudian melangkah memasuki toko berbau apek itu. Matanya menjelahi ruangan yang remang-remang itu. Selain dirinya, ada seorang penyihir lagi di dalam toko itu yang tampaknya juga baru saja tiba. Draco baru saja akan membuka mulutnya memanggil siapapun pemilik toko tersebut ketika seorang penyihir laki-laki paruh baya bertubuh bungkuk keluar dari kegelapan. Pria itu berambut kelabu kusut dan berkulit keriput pucat dengan noda hitam di beberapa bagian di wajahnya.

"Selamat datang di Dirty Napkin," Pria itu tersenyum memamerkan deretan gigi ompongnya, "Ada yang bisa saya bantu?"

Draco tidak ingin membuang-buang waktu. Ia ingin segera menyelesaikan urusannya di tempat itu.

"Telur peri..."

Draco mengerutkan dahinya dan segera menoleh ke arah penyihir wanita yang berdiri di sebelahnya. Siapa sangka penyihir itu menyebutkan hal yang sama di saat yang sama dengannya. Butuh waktu beberapa detik bagi Draco untuk menyesuaikan matanya di dalam kegelapan hingga ia bisa melihat wajah penyihir yang berdiri di dekatnya itu. Saat ia dapat melihat dengan lebih jelas, penyihir itu memiliki ekspresi wajah yang sama dengannya yang melekat di wajahnya saat itu.

"Malfoy," penyihir itu menggeram seperti seekor anak kucing yang tengah marah.

Draco mencibir, ia tidak pernah menyangka akan bertemu musuh lama di tempat seperti ini.

"Granger..."