webnovel

Tabir Malam

Ardha Candra hentikan langkah tepat di antara dua kendaraan yang terpakir di bahu jalan. Ia menggaruk kepala, mobil yang di kanan dan yang di kiri tiada bedanya dalam pandangan. Lebih-lebih, kedua bola mata itu bagian putihnya memerah sebab urat-urat darah yang menegang.

Persis seorang yang memiliki kekurangan daya pikir, Ardha Candra menunjuk kedua mobil bergantian. Keduanya punya warna putih yang sama, dan bentuk yang nyaris sama pula.

"Yang mana satu?!"

Ia terkekeh, lalu perlahan bungkukkan badan menelisik plat nomor kendaraan yang di kiri. Lagi-lagi keningnya mengerut sebab tidak mampu mengenali huruf dan angka yang tertera. Bukan karena plat nomor yang terkikis atau tertutup lumpur, tapi lebih pada isi kepala yang berputar-putar mempengaruhi daya pandang.

Ardha Candra mendengus kencang, lalu mengerang. Masih dengan tubuh membungkuk ia langkahkan kakinya ke mobil yang di kanan.

Sama saja.

Kening laki-laki itu kembali berkerut, kembali menegakkan badan, mengusap-usap kepala sembari menimbang-nimbang.

Yang mana satu mobilku?

Dua tangan berada di pinggang. Lalu terkekeh lagi. Ia meraba-raba saku kemeja lengan panjang di badan. Nihil. Kembali meraba-raba, kali ini semua saku celana panjangnya itu. Ia menemukannya, mengeluarkan kunci mobil dari saku depan celana sisi kanan.

"Mau menipu aku, yaa?" kekeh laki-laki itu mengangkat kunci ke depan wajah.

Ardha Candra memencet satu bagian dari kunci di tangan, lalu suara khas terdengar dari mobil yang sebelah kanan, disertai dengan berkedipnya lampu mobil.

"Kena kau!"

Ia menarik handle pintu depan, dan mencoba untuk memasuki mobil. Tapi langkahnya terhenti sebab pelipis membentur bagian atas mobil. Ardha Candra menunjuk-nunjuk sisi yang membuat benjut pelipisnya itu, tapi tanpa ada kata yang keluar sama sekali dari mulut.

Ia merunduk lebih jauh lagi. Dan berhasil duduk di bangku kemudi. Ia menghela pintu yang terbuka, namun kaget sendiri sebab ternyata tarikan itu begitu kencang membanting.

Mesin mobil menderu, Ardha Candra celingak-celinguk lalu menurunkan kaca mobil sampai garis terbawah. Dan meluncurkan mobilnya.

Namun, nyaris saja moncong mobilnya menghantam seorang pengendara sepeda motor. Pengendara sepeda motor berhasil mengendalikan laju motornya yang menjadi liar. Berhenti. Lalu mengangkat kaca helm.

"Goblok!" maki pengendara motor tersebut. "Jangan nyetir kalau gak bisa!" Dan akhirnya kembali berlalu dari sana.

"Apa lu!?" balas Ardha Candra sembari mengacungkan jari tengah ke arah pengendara motor.

Hanya saja, suara laki-laki itu kalah kencang oleh raungan knalpot motor, juga pengendara itu sendiri yang tidak menyadari acungan kurang ajar dari jari tengah Ardha Candra. Well, mungkin mengetahui, tapi ia bisa saja dalam keadaan buru-buru jadi tidak mengacuhkan hal tersebut.

Ardha Candra kembali menjalankan mobilnya.

*

Jalanan di malam ini terasa sangat hening, kelengangan saja yang terlihat. Ardha Candra terus saja melajukan mobil menuju ke arah utara Jakarta. Sesekali raungan dari mesin kendaraan lain menyalip kencang mobil yang dikendarai Ardha Candra, dalam hitungan detik tak terlihat lagi, hanya meninggalkan deru mesin yang menggema.

Penunjuk waktu digital yang menempel di dashboard mobil sudah menunjukkan pukul satu malam lewat sepuluh menit. Tapi, Ardha Candra yang masih dibayangi lampu kelap-kelip dengan seribu warna dari bar yang tadi berputar manja di dalam kepala, tidak sedikit pun terusik untuk sekadar bertanya, mengapa malam begitu senyap kali ini? Atau, ke mana para pengendara malam yang biasanya selalu memenuhi setiap jengkal badan jalan?

Tidak sama sekali.

Ardha Candra terlalu lelah untuk memikirkan semua itu. Pandangannya beralih dari badan jalan dengan markah putih yang seolah berkejaran tiada putus, ke langit malam yang selimut gelapnya sedikit berlainan.

Ahh…

Laki-laki itu terkekeh lagi. Ternyata purnama sempurna penyebabnya. Bola lampu raksasa yang tergantung di ketinggian sana, seakan menghadirkan rona keemasan pada tirai sang ratu malam. Meski, wajahnya yang indah itu sudah sedikit tergelincir ke arah barat.

Tujuh cahaya lainnya seolah menemani sang rembulan penuh. Ardha Candra lebarkan sepasang mata, tapi sepertinya percuma saja. Kelopak mata terlalu berat untuk ia paksakan menikmati kerlip lebih terang dari bintang-bintang lainnya itu.

Ckitt…!

"Sialan!" gerutunya, nyaris saja moncong mobil menabrak pembatas jalan di sisi kiri.

Lagi-lagi Ardha Candra tertawa-tawa dengan pelan, kadang malah tidak terdengar sama sekali. Pandangannya kembali ke arah jalanan yang semakin dikejar semakin menjauh saja.

Ardha Candra menambah kecepatan laju mobil, seakan termotivasi mengejar garis-garis putih yang mendahului. Satu senyum menyeruak di sudut bibir seiring aspal jalanan yang semakin buram, dan memburam.

Lalu, kelebat cahaya penerangan di pinggir jalan seolah lampu-lampu blitz dari kamera yang dipetik berulang kali. Di situ ada senyuman seorang wanita muda, sangat cantik. Tersenyum manja mengulurkan tangan, lalu ditarik lagi saat tangan seorang pria berusaha menjangkaunya. Ia tertawa-tawa dengan rona pewarna merah di bibirnya itu. Rambutnya yang sebahu kemerah-merahan, bergelombang, dipermainkan angin pantai.

Wanita itu lari menjauh, sebentar mendekat lagi. Tersenyum lagi, tertawa lagi. Lalu, lampu blitz kamera itu lagi. Senyum yang merekah indah, mengiringi kedua pipi yang saling berdempetan. Pipi wanita muda itu sendiri, dan pipi Ardha Candra. Tangan yang memegang kamera kembali memetik tombolnya, cahaya itu muncul lagi menemani keceriaan canda tawa keduanya. Wanita itu berlari lagi, menjauh.

Ardha Candra mengejar, tapi hanya kedua tangan itu saja yang terlihat. Dan kini jelas, kamera itu ada di tangan kiri. Napasnya terengah-engah, namun tawa manis dari wajah mempesona itu memancing segala rasa untuk terus mengikuti. Wanita itu ulurkan tangan kanan dengan jemari yang lentik, tertawa lagi sedangkan mentari di kaki horizon berada di puncak hidungnya yang mancung.

Wanita itu tertawa lagi, kegelian sebab dua tangan kekar berbulu Ardha Candra melingkar di pinggangnya. Mengangkat wanita itu lebih tinggi. Ia berseru, seruan yang tertindih sapuan angin senja. Dua tangan merentang lebar, seakan mampu mengangkat bola raksasa merah keemasan di ufuk barat.

Kamera terjatuh ke atas hamparan pasir, butiran pasir tiada sengaja memencet tombol, mengabadikan lagi bujuk kelakar kedua insan.

Sang wanita menjerit pelan, lalu tertawa lagi. Keduanya bergulingan di atas pasir pantai. Terus bergulingan dalam keadaan saling berpelukan. Dua bibir perlahan menyatu. Lalu, gelembung-gelembung halus muncul di antara wajah. Dari halus perlahan sedikit membesar.

Sang wanita berenang, menjauh dalam balutan bikini hijau bergaris kuning. Ardha Candra menyelam, mengitari pinggang yang langsing dengan kulit putih bersih. Kejernihan air telaga di bawah tanah ini begitu memanjakan sepasang mata.

Wanita muda terpekik, dan tertawa lagi, Ardha Candra muncul tiba-tiba mengagetkan saja. Dengan manja wanita itu mengibas-ngibas permukaan air, air menciprati Ardha Candra. Laki-laki itu membalas dengan hal serupa. Lalu memeluknya, pipi sama menempel, lalu senyum sama mengembang. Kamera dipetik lagi, blitz menyala lagi.

Next chapter