webnovel

SORRY

Kinan telah memutuskan. Ini demi kebaikan semua. Ia akan pergi, menghabiskan masa cuti dengan menjadi budak nafsu Toni. Pria bejad itu telah menyewa sebuah private cottage di luar kota, sebagai tempat Kinan sementara. Agar tak ada lagi yang menganggu mereka.

Meskipun hati tak ingin, tapi Kinan tetaplah gadis muda yang masih rapuh. Ia takut kehilangan gelimangan harta dan semua yang sudah ia miliki hingga sekarang. Ia pun tak ingin karirnya hancur. Walaupun hatinya menangis melepas cinta yang baru saja tumbuh dan bersemi, semua terkalahkan oleh harta dan tahta.

Ia memutuskan tetap berada di dunia kelam itu. Yang telah memberinya segala yang ia butuhkan di dunia ini, kecuali cinta tulus. Gadis itu melupakan dunia lain yang penuh warna, ia juga mengelak dari ajakan bermain di alam yang udaranya segar, yang pemandangannya begitu indah.

Kinan menutup rapat pintu untuk keluar, ia melepaskan genggaman tangan Putra dan mengunci diri kembali di dalam kegelapan.

"Maafin aku, Tra."

Kinan meneteskan air mata, sembari itu ia menekan pedal gas sedalam mungkin.

Ia tak peduli dengan keselamatan dirinya, seolah ingin bermain dengan maut. Namun, sepertinya Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup. Kinan tetap selamat sampai tujuan.

Gadis itu sudah memiliki akses masuk. Ia segera menuju kamar yang akan ia huni. Toni memang tak pernah main-main memberinya kesenangan dunia, tempat ini teramat nyaman. Suasana alamnya juga begitu terasa, cuacanya pun cukup dingin jika malam. Tempat itu berada di sebuah lembah, yang dikelilingi tebing tinggi.

Para wisatawan banyak yang berkunjung ke tempat ini. Ada semacam Taman Wisata, dengan banyak fasilitas. Juga ada cagar alam, berbagai jenis tanaman dan satwa langka dapat ditemui di sini, seperti Harimau Sumatera, Beruang, Tapir dan lainnya.

Kinan berdiri di pagar rendah yang mengelilingi bangunan beratap segitiga dengan luas sekitar enam kali enam meter. Di sekitar terdapat tanaman hijau semacam bunga-bunga pagar, tepat dibelakang, terlihat air terjun lembah yang begitu indah. Suasana di sini begitu tenang.

Tak banyak wisatawan yang menginap. Hanya beberapa cottage yang terisi.

Toni bilang, esok ia akan datang, dan menginap bersamanya beberapa malam. Ia beralasan akan ada tugas keluar kota.

Kinan tak punya pilihan selain menanti kedatangannya. Ia juga menggunakan handphone lain, Toni saja yang mengetahui nomornya. Sementara ponsel yang biasa ia gunakan, ditinggalkan di rumah dalam keadaan mati total.

Kinan bersedekap, dinginnya semilir angin mulai berhembus. Ia mengeratkan sweater yang digunakan. Sesaat, pikirannya tertuju pada kekasihnya. Jika saja ada pemuda itu di sini, dan memeluknya. Tapi, hah…

Gadis itu mulai melangkah masuk, mengunci pintu, dan berbaring di atas kasur tanpa dipan. Ia meringkuk, rasa rindu merayapi kalbu.

"Kangen kamu, Tra."

Kinan mendekap tubuhnya sendiri, memejamkan mata, mencoba merasakan kembali kehangatan dekapan Putra.

"Aku mau kamu, bukan dia!"

Ia lalu menangis. Mulai meratapi perjalanan hidupnya. Namun, tak bisa ia sesali keputusan yang telah diambil.

Kinan meraih ponsel, dan akan memencet nomor handphone Putra. Tapi, jemari itu tertahan, bagaimana mungkin masih menghubungi orang yang sudah dikhianati? Tidak adil untuk pemuda itu. Jika cinta, biarkan Putra mendapatkan orang yang lebih baik. Jangan ganggu dia lagi.

Beberapa saat hanya menatap layar ponsel, hingga tanpa sadar nomor ponsel Putra terhubungi. Kinan terkejut, saat mendengar suara seseorang yang sangat ia kenal dari speaker ponsel. Gadis itu seketika memencet gambar gagang telepon berwarna merah.

Tak lama, ponselnya berdering. Telepon dari nomor yang tadi tak sengaja ia hubungi.

Kinan meletakkan telepon genggamnya di atas kasur. Membiarkan berdering, hingga mati sendiri. Berkali-kali, tak ia angkat. Kinan duduk, lalu menyandarkan tubuh ke dinding. Ia memeluk lutut, lalu membenamkan wajah diantara tangannya.

***

***

Putra memarkir mobil di tepi jalan. Telepon dari nomor asing, yang sangat diyakini adalah Kinan, tak juga mengangkat saat ditelpon balik. Pemuda itu lalu mengiriminya pesan.

[Putra : Gue tau itu loe, Nan. Dimana sayang?]

Lama Putra mengamati layar ponselnya, namun tak kunjung berbalas. Saat akan dihubungi kembali, ia tak lagi tersambung. Seperti diblokir.

Putra mengusap wajah, lalu menatap kosong ke arah jalan di hadapan.

Posisi tangan kanan, menumpu ke pintu, jemarinya terkepal. Ini pasti perbuatan Toni.

"Dimana loe Kinan?" ucapnya menahan amarah.

Mata Putra mulai memerah, ia berharap Kinan akan baik-baik saja dimana pun berada.

Baru akan menginjak pedal gas, pemuda itu melihat beberapa pria mendekati seorang gadis di halte tak jauh dari tempat ia berhenti.

Kawasan ini cukup sepi kalau malam, kenapa gadis itu berani sekali menunggu bus kota di sana.

Putra langsung ingat kejadian saat Kinan hampir diperkosa. Tiga orang pria pula yang menguntitnya. Segera Putra mengegas mobil, dan berhenti di sisi halte. Ia sempat mengintimidasi dengan membunyikan gasnya kasar.

Tiga pria itu segera saja beranjak dari sana.

Putra turun, ia sudah siap jika harus berkelahi lagi. Pikirannya sedang kacau. Tapi, tiga preman itu malah lebih memilih menghindar.

"Hah…!"

Gadis yang mengenakan topi di sana terdengar kesal, dan menatap ke arah Putra.

Mereka sama-sama terkejut.

"Kak Aisyah."

Putra tak percaya, gadis itu ternyata Aisyah.

"Eh, sipit, ngapain loe di sini?"

Sambar Aisyah galak.

Putra menatapnya heran. Padahal sudah ditolong, bukannya terima kasih. Hal ini, kembali mengingatkannya pada Kinan, yang juga tak tau terima kasih.

"Loe yang ngapain sendiri di sini, malam-malam lagi. Ini kawasan bahaya tau!"

Putra tak kalah galak.

"Haiisstt. Ni anak dari dulu ganggu gue aja!"

Aisyah tampak kesal.

"Kalau gue tau itu loe, nyesel gue bantuin!"

Mereka malah terlibat adu bacot.

"Ya udah, ngapain juga loe sok-sok jagoan. Jelas-jelas gue emang sengaja pengen nangkap mereka!"

"Loe ngasal ni!"

"Ngasal kepala loe, si Sekar tadi kena copet di sini. Makanya gue pancing mereka, eh loe dateng-dateng malah gagalin rencana gue!"

Putra menelan ludah, ia lalu jadi salah tingkah, berkali-kali mengusap kepala belakang.

Sementara Aisyah menatapnya garang. Beberapa saat hening. Putra tak berani menatap mata Aisyah yang seolah mengeluarkan sengatan api, yang siap menyembur ke dalam bola matanya.

"Hmmm…"

Pemuda itu berdehem, menghilangkan kekakuan.

"Apa loe hmm hmm!"

Ya Tuhan, galak bener polwan satu ini. Putra menatap bergidik tak percaya.

"Ya udah deh, sorry."

"Hissst."

"Lagian ngapain repot-repot sih, lapor aja temen-temen loe yang polisi sini!"

Putra kembali naik darah, Aisyah tak menggubris permintaan maafnya.

"Loe kalau nggak tau apa-apa nggak usah sok ikut campur, ngerti loe!"

"Dasar loe Aisyah gulita!"

Putra kembali menggunakan ejekkan jahatnya ke Aisyah. Dan hal itu benar-benar memancing emosi sang polwan.

"Eh sipit, kurang ajar loe manggil gue itu lagi!"

Aisyah mendekati dan memukul kepala Putra kasar.

Putra terkejut, ia tak sempat melindungi kepalanya, pemuda itu meringis mengusap kepala sambil menatap sinis Aisyah.

"Jadi cewek nggak ada lembut-lembutnya loe!"

"Pergi loe sana. Huss!"

Aisyah mendorong Putra menjauh, sama persis seperti yang sering ia lakukan dulu.

Kejadian belasan tahun lalu seolah diremix lagi. Putra memilih pergi sambil mengusap kepala. Dan Aisyah menatap punggungnya sambil gregetan, dan berkacak pinggang.

***

***

Next chapter