webnovel

6

Humairah naik ke atas katil sebaik selesai menyisir rambutnya. Dia memberanikan diri duduk dekat di sebelah Qhal. Hanya di rumah keluarga dia berpeluang tidur sekamar dengan Qhal. Kalau di rumah mereka sendiri, jangankan hendak tidur sekamar sekatil, bercakap juga jarang-jarang. Entah di mana silapnya, entah di mana kurangnya dia di mata dan hati Qhal. Dia sudah meruntuhkan tembok perasaan malunya, hanya untuk mendekati Qhal, demi untuk menjadi isteri yang baik. Tapi Qhal tetap memilih untuk membutakan mata dan hatinya.

"Abang, Irah nak minta maaf." Ungkap Humairah tiba-tiba. Qhal mengeluh berat. Dia menoleh ke kiri, memandang Irah. Dagu Humairah diangkat. Baru hari ini dia sedar isterinya itu ada tahi lalat di sebelah kiri dagunya. Baru hari ini dia sedar mata isterinya berwarna coklat gelap. Hatinya dijentik rasa bersalah.

"Kenapa?" Tanya Qhal pendek.

"Irah tak mampu jadi isteri yang baik. Irah tak pandai ambil hati abang." Kata Humairah perlahan dan lembut. Qhal terdiam sejenak. Jadi selama ini dia membiarkan Humairah sendiri diselubungi rasa tidak sempurna. Sedangkan Humairah tidak bersalah apa pun.

"There is no such thing Irah. Jangan fikir banyak." Tingkah Qhal. Dia tidak pernah mengenali wanita ini sebelum mereka berkahwin. Tidak banyak perihal wanita ini yang dia tahu. Lebih tepat, dia tidak pernah berminat untuk mengambil tahu. Bernikah dengan Humairah, memang semata untuk memenuhi kehendak uminya yang terlalu mendambakan Humairah sebagai menantu.

"Jadi kenapa abang tak pernah terima Irah?" Entah dari mana kekuatan itu datang, Irah akhirnya menanyakan soalan itu kepada Qhal. Soalan yang sudah sekian lama dia pendam. "Macam-macam Irah buat, tapi abang tak pernah nak iktiraf kehadiran Irah dalam hidup abang. Kalau abang tak nak terima Irah, kenapa abang setuju nikah dengan Irah?" Bicara menjela menyusul pertanyaannya sebelum Qhal sempat menjawab. Kali ini ada air mata yang menjadi pengiring bicara. Bukan kali pertama dia menangis gara-gara Qhal. Sudah puas malamnya ditemani tangisan tanpa irama. Kadang menangis hingga terlena sendiri. Cuma hari ini, tangisannya pecah di hadapan Qhal.

"Abang minta maaf Irah." Ungkap Qhal. Hanya itu yang dia mampu buat. Melemparkan kebenaran di hadapan Irah saat ini tidak akan membuat keadaan lebih baik, bahkan mungkin seperti menambah garam di luka yang masih berdarah, bertambah sakit dan pedih.

"Bukan itu yang Irah nak dengar. Irah nak tahu kenapa."

"Irah. Tak semua kenapa ada jawapannya. Dan tak semua jawapan akan merungkai masalah." Jawab Qhal mendatar. Perlahan-lahan dia menarik Humairah ke dalam dakapannya. Bahu Humairah ditepuk lembut. "Abang minta maaf." Ucap Qhal lagi. Matanya dipejam seketika. Di kala kegelapan itu, wajah Brie yang datang bertandang. Bagai ditusuk hatinya menahan sakit. Di dalam dakapannya ada Humairah yang sedang menagih kasihnya sebagai suami, kasih yang halal. Di dalam hati dan jiwanya, ada wajah Brie yang meminta dia untuk pergi, tapi dia tidak mampu melupakan Brie, tidak mampu membuang kasih mereka yang haram.

Empat tahun mengenal Brie, setahun mereka menjadi sahabat. Dia yang mula menyatakan cinta, Brie menolak namun dia mendesak kerana yakin Brie juga ada hati padanya. Dia terlalu yakin mereka akan bahagia sedangkan Brie sentiasa bersedia dengan perpisahan. Ternyata Brie yang benar. Mereka berpisah. Dan tatkala mereka berpisah, sakitnya bukan sekadar kehilangan kekasih, malah juga kehilangan sahabat baik yang ada di kala jatuh bangun, tawa dan tangis.