webnovel

Hanna in Love

Hanna terbangun di sebuah kamar hotel. Dirinya telah ternoda bahkan kini telah mengandung tanpa tahu siapa ayah dari bayinya. Harus menyelesaikan sekolah dan bekerja untuk membiayai kehidupannya dan sang ayah. Dikhianati sahabat dan kematian ayah membuat Hanna terpuruk. Terpaksa menikah kontrak demi operasi ayahnya, kini Hanna terjebak dalam cinta segitiga. Siapakah yang akan Hanna pilih, suaminya yang merupakan seorang pengusaha kaya dan arogan atau lelaki muda yang tulus menyayanginya? Bagaimana kisah cinta Hanna? Baca dan berikan komentar positif kamu.

Be_Maryam · Teen
Not enough ratings
4 Chs

Sikap Dea yang Mencurigakan

Dea tiba-tiba saja masuk dan menyaksikan wajah kami yang begitu dekat. Lalu Dodi segera memperbaiki sikapnya yang tampak begitu terkejut. Kemudian Dea berjalan mendekati kami.

"Han, ayo kita ke klinik Pamanku. Aku sudah menghubungi supirku agar segera menjemput kita!" ujarnya yang segera mengambil tasnya dan juga tasku.

Sesaat Dea terdiam memandang wajahku dan Dodi. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Kemudian mengambil napas panjang dan menghembuskannya lalu berucap, " Dod, kamu yang menggotong Nayla ke mobilku," kemudian Dea membantu Dodi untuk menggendongku menuju mobil yang telah terparkir di pintu masuk sekolah.

"Kalian deluan saja, aku mengikuti dari belakang," ujar Dodi yang tampak begitu canggung.

Mobil mewah itu melaju dengan cepat, aku hanya terdiam sepanjang jalan. Raut wajah Dea tampak kesal, entah apa yang telah ia pikirkan. Yang aku rasa saat ini hanyalah ketakutan, takut jika aku hamil. Seketika kejadian malam itu kembali menghantuiku. Bagaimana ini? bagaimana jika reaksi berlebihan ini karena aku sedang hamil. Yah, bisa saja aku hamil karena kejadian malam itu. Bagaimana ini? bukankah klinik Paman Dea juga menyediakan pemeriksaan kehamilan? Kepalaku semakin pusing, rasa takut yang begitu besar membuat seluruh tubuhku berkeringat. Telapak tangan dan kakiku menjadi begitu dingin.

"Han, sabar ya. Sebentar lagi sampai," ucap Dea yang begitu ketakutan melihat keadaanku.

Kugenggam tangan Dea yang telah melingkar di tubuhku.

"Pak, matikan AC–nya. Nayla kedinginan, Nih!" ucapnya.

"Baik, Non."

Perlahan aku menarik napas dalam dan mengeluarkannya dari mulut. Sekali-kali kutahan napas di dadaku, berharap detak jantungku bisa kembali normal. Kugenggam erat perutku, berulang kali aku berusaha meyakinkan diri bahwa aku tak mungkin hamil. Kejadian ini hanyalah sakit lambungku yang tengah kambuh. Namun, rasa takut itu masih menghantuiku. Bagaimana jika aku benar-benar hamil? Bagaimana jika Dea, Pamannya atau Dodi tahu? Bagaimana kalau kejadian malam itu terbongkar?

Semakin aku memikirkannya, semakin berlebihan reaksi tubuhku. Hingga dahsyatnya pusing di kepala membuat pandanganku kian gelap. Hingga akhirnya aku tak sadarkan diri.

***

Aku terbangun di sebuah ruangan. Kulihat tiada seorang pun yang ada di ruangan ini, hanya aku seorang. Kupandangi setiap sudut ruangan, ternyata aku berada di ruang obgyn-kandungan. Aku terkejut, ketakutanku kembali datang. Mengapa aku dibawa ke ruangan ini? Apa karena aku hamil? Dimana Dea? Apa yang tengah terjadi?

Pikiran demi pikiran buruk bersarang di kepalaku. Rasa pusing yang dahsyat itu kembali datang. Saat aku hendak duduk, tiba-tiba saja langit serasa akan runtuh. Pandanganku pun mengabur, tubuhku terjatuh dari atas ranjang.

Brak !!!

Suara itu membuat Dea, Paman dan Dodi datang menghampiriku.

"Han, kamu enggak apa-apa?" tanya Dea.

Tubuhku pun kembali di letakkan ke ranjang.

"Sebaiknya Teman kalian Hanna dirawat inap beberapa saat. Tubuhnya begitu lemah, opname menjadi pilihan terbaik untuk saat ini," ucap Paman Dea.

"Baiklah, Terima kasih Paman," ucap Dea. "Han, sebaiknya kamu menurut kali ini."

"Iya, Han. Untuk izin ke Ayahmu, Dea bisa menelpon dan mengatakan kamu harus menginap karena banyak tugas, biar aku dan Dea yang menemanimu di sini," ucap Dodi.

Dea pun mengangguk tanda setuju, aku pun seakan tak punya pilihan lain. Hanya bisa menuruti mereka.

"Han, aku harus pulang. Mau mengambil pakaian dan buku pelajaran besok. Untuk sementara, kamu ditemani Dodi," ucapnya padaku, ada rasa kesal dari nada bicaranya. Namun, aku tak mengerti hal apa yang membuatnya kesal.

Dea pun pergi meninggalkanku dan Dodi berdua di ruang itu. Sebelum meninggalkan kami, langkah Dea terhenti tepat di pintu ruang, memandangi wajahku dan wajah Dodi bergantian. Kemudia ia membalikkan tubuhnya dan meneruskan langkahnya.

Kali ini aku dan Dodi hanya terdiam. Dodi lebih memilih untuk duduk di kursi sofa yang terletak jauh dari ranjangku. Sedangkan aku memilih mengalihkan pandanganku menuju dinding kemudian memilih menutup mata.

***

"Han, bangun! Kamu harus makan," ucap Dea sambil menepuk lembut lenganku.

Aku kaget, sejak kapan aku tertidur. Perlahan aku bergerak duduk dan bersandar pada tiang ranjang. Kumakan suapan demi suapan yang dilayangkan Dea padaku. Tiada mual ataupun muntah lagi.

"Syukurlah Han, kamu sudah bisa makan. Pamanku bilang lambungmu begitu akut. Lain kali jangan sampai enggak makan lagi, ya. Janji !" ucap Dea sedih.

Aku hanya mengangguk penuh syukur, karena memiliki teman seperti Dea.

"Han ...."

Ucapnya terhenti, wajah penasarannya begitu jelas terpampang. Namun, aku tak berani memaksanya untuk bertanya. Rasa pusing kepalaku belum sepenuhnya hilang, aku hanya perlu berfokus pada sakit lambungku. Aku tak ingin berlama-lama menyusahkan Dea.

"Tadi Dodi permisi pulang, sepertinya tidurmu begitu lelap, Han. Ia takut membangunkanmu," ucap Dea kaku.

Aku hanya bisa tersenyum. Seharian aku hanya terbaring, kubiarkan Dea sibuk dengan tumpukan buku yang ada di depannya.

Kring!!!

Dea mengangkat telpon genggamnya sambil tersenyum bahagia.

"Aku sudah makan, Hanna juga. Oke, enggak apa kok. Bye Dod," ucapnya.

Setelah meletakkan telpon genggamnya ia kembali sibuk dengan tugas yang akan di kumpulkan besok. Wajah Dea tampak bahagia, senyuman terus saja menghiasi wajahnya.

"Lagi senang ya, Dey?" Tanyaku mengagetkannya.

"Ah, eh, apaan sih?" tanyanya malu.

Tak bisa dipungkiri lagi, ia tengah bahagia. Kubiarkan saja ia dengan perasaan senangnya, sedangkan aku memilih untuk membaringkan tubuhku.

"Han, jika ingin melihat TV bilang ya. Biar aku nyalakan," ucapnya.

"Dey ... tak jadilah. Aku ingin tidur saja," ucapku ragu, aku ragu untuk menanyakan mengapa aku ditempatkan di ruangan ini. jika Dea tak menanyakan hal ini, berarti tak ada hal yang perlu dicurigai. Setidaknya saat ini.

Malam ini Dodi datang, ia membawa makanan yang di pesankan Dea.

"Hai, Han. Gimana? Uda baikan?" tanyanya.

Aku hanya tersenyum sambil mengangkat kedua bahuku. Kemudian Dodi dan Dea duduk di sofa menikmati martabak yang dibawa Dodi. Wajah Dea begitu bahagia, mereka tertawa dan saling cerita seakan aku tak ada. Namun, kubiarkan saja. Setidaknya mereka sudah banyak kususahkan saat ini.

"Oh ya, Dey. Hanna enggak ditawari?" tanyanya.

"Hehehehe, Hanna mau?" tanyanya dengan wajah cengengesan.

"Lanjut ...," ucapku santai.

Mataku hanya terfokus menatap layar TV. Meski aku tak tahu benar jalan ceritanya. Setidaknya aku punya alasan sibuk, sibuk menonton TV.

Dodi dan Dea masih asik membahas tugas besok, sekali-sekali Dea melirikku. Aku sadar akan lirikannya, hanya saja aku mengabaikannya.

"Enaklah kamu, Han. Besok enggak sekolah, enggak perlu buat tugas!" ucap Dodi padaku.

"Makanya itu, sakit itu enak," ucapku mengejek ke arah Dodi.

Wajah Dea tampak kesal, aku pun kembali fokus ke arah TV. Lalu mataku kembali melirik kearah Dea, kini wajahnya kembali merona bahagia saat berbicara dengan Dodi. Sepertinya aku mulai paham, sepertinya Dea tengah suka dengan Dodi. Aku hanya tersenyum saja, jika aku sembuh nanti, aku akan bantu kalian agar segera jadian.