1 Menoleh Ke Arahnya

"Tolong nasi uduknya campur, tapi tidak pakai semur jengkol." Galang memesan satu bungkus untuk sarapan sebelum pergi ke sekolah.

"Ini, terima kasih, yah." Ibu penjual memberikan bungkus nasi uduk pesanan Galang dengan menambahkan ekstra kerupuk di dalamnya.

Galang menganggukkan kepala sebagai tanda berterima kasih kepada si ibu penjual. Lalu, dia pergi menuju ke spot favoritnya yang berada di seberang jalan raya. Dia sudah menggunakan seragam putih abu-abu dengan baju yang dimasukkan ke dalam. Gaya rambutnya terlihat modis dengan tambahan kacamata menggantung untuk membantunya melihat. Kuper, itulah Galang.

Dia duduk di bawah pohon besar di tepi Kanal Banjir Timur. Dengan ditemani satu botol air mineral dan airpod murah yang dibelinya dari online shop, Galang mulai membuka bungkusan nasi uduk itu.

Dreet! Dreet!

[Jangan lupa datang pagi, kita rebutan kursi! Gue tidak mau dapat tempat duduk yang paling depan!] Pesan masuk dari Ajo.

"Bawel! Ini masih jam 6 pagi," ungkap Galang setelah melihat pesan itu.

Dia melanjutkan sarapan paginya. Sambil menatap lurus ke depan, dia memandang pohon-pohon di sisi seberang kanal. Beberapa kali dia menyuap nasi uduk langganannya itu sambil memikirkan sesuatu.

"Kenapa kita tidak bisa langsung kerja saja, kenapa harus masih menunggu dua tahun lagi di SMA, ini menyebalkan!" keluh Galang dalam hati.

Dreet! Dreet!

Dreet! Dreet!

Alarm pada handphone miliknya berbunyi. Waktu makan untuknya sudah habis. Dia melihat jam di layar handphonenya, tidak terasa bila dia sudah menghabiskan waktu selama 15 menit.

"Saatnya untuk ke medan perang," ungkap Galang.

Dia bangun dan membuang bungkusan itu ke tong sampah. Galang segera menuju ke tanda bus stop yang berada tidak jauh dari tempat dia duduk di taman Kanal Banjir Timur.

Butuh waktu lama untuk bus Transjakarta tiba, tapi Galang sudah memiliki jadwal tetap layaknya jadwal pelajaran, Galang tahu kapan dia datang dan pergi.

Akhirnya bus datang dan berhenti di depan Galang. Pintu terbuka ke kedua sisi. Galang langsung naik dan duduk tepat di samping pintu masuk. Dia segera membesarkan volume musiknya dan memandangi pemandangan membosankan yang selalu dia lihat setiap harinya.

"Ma, Kak Galang tidak ikut sarapan?" tanya Katy.

"Nggak, lagi buru-buru dia, biasa hari pertama kelas dua SMA. Katanya lebih liar dari bertahan hidup di game survival," ungkap Mama.

"Ya ampun, berlebihan banget," sindir Katy, si adik kurang ajar.

"Weekend katanya ada acara keluarga? Acara apa, Ma?" tanya Katy.

"Oh, cuma arisan. Nanti diberitahu tempatnya di grup," jawab Mama.

"Haduh, malas banget datangnya," ungkap Katy.

"Woy! Bengong saja," sapa Ajo yang tiba-tiba muncul layaknya debt collector di belakang Galang.

"Cuy, tolong jangan begitu, jantung gue lemah seperti harapan hidup gue," sindir Galang.

"Harapan hidup lo menipis? Lebih baik di charger ulang biar full," sindir Ajo balik.

Setelah berbasa-basi ria di dalam bus Transjakarta, Galang tidak menyangka harus bertemu dengan teman semunafik dirinya, yaitu Ajo. Sahabat terbaik yang selalu mentraktir dirinya dan selalu mencoba memberikan doktrin bila hidup harus penuh dengan semangat untuk sukses, walaupun yang sukses hanyalah mereka yang memiliki kekuatan orang dalam.

"Menurut lo hari ini akan membosankan atau banyak drama? Sumpah, gue berharap pulang cepat," ungkap Ajo.

"Mungkin banyak drama dari para pencari muka." Galang dan Ajo menuju ke kelas barunya di kelas 2 IPA 1. Mereka segera memilih tempat duduk nomor dua paling belakang.

Kelas sudah lumayan ramai, banyak yang sudah mengelompokkan diri mereka satu sama lain. Layaknya medan perang di game battle royal, mereka sudah membuat squad khusus untuk bisa survive selama dua semester ke depan. Tapi, karena Galang tipe solo player, jadi dia lebih memilih mengasingkan diri dari kehidupan mereka yang terlihat sangat bersinar itu.

"Sudah dapat teman?" tanya Ajo.

"Belum, kenapa?" Galang menatap Ajo.

"Gue baru kenalan sama empat cowok di sana, lumayan buat tim nyontek," sindir Ajo.

Galang merebahkan kepalanya di atas meja dengan ditopang oleh lengan tangan kanannya. Dia masih asyik mendengarkan musik lewat airpod murah miliknya, tapi volumenya diperkecil agar dia bisa memantau pembicaraan siswa lainnya. Sebut saja Galang si pengamat.

"Hai guys! Apa kabar? Ajo! Come to Papa!" Nabil lari menghampiri Ajo, lalu dia memeluknya erat bagaikan pelukan Teletubbies.

"Lang? Lo sakit?" tanya Nabil.

"Nggak, cuma lelah dengan hidup ini," ungkap Galang.

"Ih, sekali-kali semangat dong! Hidup segan mati saja sana!" sindir Nabil.

"Terdengar seperti pribahasa?" pikir Galang dalam hati.

Dia duduk di depan Ajo dan Galang. Si badan gembul nan besar dengan tinggi 180 cm ini mulai mengambil beberapa barang di ransel miliknya.

"Itu apa?" tanya Ajo.

"Masker muka, biar terlihat glowing." Nabil memasang satu lembar masker ke wajahnya. Dia berharap kulit coklat gelap miliknya bisa berubah menjadi putih bersinar layaknya bulan purnama.

"Sebentar lagi bel masuk, masih sempat pakai masker?" tanya Ajo.

"Tenang, gue sudah mengaktifkan tabir pelindung biar tidak terlihat," tawa Nabil.

"Ha! Ha! Ha! saya tertawa mendengar Anda melucu," sahut Galang.

"Garing dan renyah lawakan Anda," sindir Ajo.

Bel berbunyi. Seluruh siswa yang masih berada di luar langsung masuk dan duduk di kursi mereka masing-masing.

"Sumpah! Hampir gue telat!" Napas terengah-engah dari Diki yang duduk di sebelah, membuat Nabil penasaran.

"Lo habis apa? Kenapa napasnya kembang kempis, begitu?," tanya Nabil.

"Lari gendut! Habis lari dari jembatan kanal sampai kemari!" jawab Diki yang begitu kesal. Dia seperti agak menyesal duduk di samping Nabil.

"Oh, gue kira habis mengeluarkan sesuatu," sindir Nabil.

"Otak lo mesum terus! Lain kali gue ruqyah! Gue mau tahu makhluk apa yang menempel di otak lo!" ucap Diki.

"Aing maung!" Nabil tertawa geli.

Wali kelas masuk dan duduk di kursi miliknya. Dia mulai membuka daftar absensi seperti biasa. Galang melepaskan airpod miliknya dan mulai menegakkan tubuhnya lagi.

Saat dia menoleh ke arah kanan, tidak di sengaja Galang memperhatikan senyuman seorang gadis berambut hitam sedikit bergelombang. Matanya seperti otomatis mengikuti gadis itu. Dalam hati, Galang merasa penasaran siapa dia.

"Manis …."

Galang hanya bisa tersenyum kecil dan menyembunyikan rasa kagumnya.

"Oh, shit! Yang jadi wali kelas kita si gurita takoyaki," sindir Nabil.

"Hussst!!! Kalau dia dengar, kita bisa digantung, Bil!" bentak Diki.

"Takut? Gue sih, nggak!" bisik Nabil dengan begitu percaya diri.

Wali kelas mulai mengabsen satu per satu siswa yang hadir, Galang menoleh lagi ke arah gadis itu saat dia mengangkat tangannya dan berkata "hadir."

"Namanya Dena," ungkap Galang dalam hati.

Setelah absensi selesai, Galang yang sedari tadi menahan buang air kecil, langsung bergegas maju ke depan dan meminta izin ke toilet.

Sedikit tapi pasti, Galang melirik ke arah Dena yang sedang asyik tersenyum dengan teman di sebelahnya.

Dia segera lari menuju ke toilet bawah.

"Sial! Sudah di ujung!" ungkap Galang.

Dreet! Dreet!

[Belikan camilan makaroni pedas level 5 di koperasi. Nanti gue ganti uangnya.] Pesan masuk dari Nabil.

"Cih, dasar badak! Masih bisa dia memanfaatkan orang!" Galang kesal.

Setelah selesai dari toilet, dia segera menuju ke arah koperasi yang berada di samping tangga turun.

"Hai, lo mau beli camilan?" sapa Dena yang tiba-tiba hadir tanpa aura keberadaan layaknya setan.

"Hah!? Oh, iya. Si Nabil tadi menitip camilan," ungkap Galang.

"Tolong satu makaroni pedas level 5-nya." Galang memberikan uang miliknya.

"Namaku Dena, lo?" ucap Dena. Dia mengulurkan tangannya untuk berkenalan.

"Gue sudah tahu, Neng!" ungkap Galang dalam hati.

"Oh, gue, Galang." Galang menjabat tangan Dena.

"Senang bisa bertemu dengan cowok yang tidak terlalu hiperaktif," pikir Dena. Dia pamit pergi meninggalkan Galang yang sedang diam kaku layaknya patung Pancoran.

"Hah? Dia senang sama gue?" tanya Galang tersipu malu manja layaknya seekor kucing.

avataravatar
Next chapter