webnovel

BAB 12

Warning: Part Mengandung Bawang!!

===============================

Pagi ini, dengan wajah ceria Rayna ke kampusnya. Sejak menjemput Sabda di bandara kemarin dia selalu terlihat ceria. Hari ini Rayna masih bawa mobil sendiri karena beberapa saat lalu Sabda menelpon kalau lagi nggak enak badan. Mungkin karena kecapekan lembur kemarin. Sedangkan selama ini Sabda tidak pernah lembur sampai semalam kemarin.

"Pagi banget, sayang." Sapa Mamanya.

"Iya ma, Sabda sakit. Aku ntar mau kerumah Sabda dulu sebelum ke kampus."

"Sakit apa?" Tanya papa nya.

"Meriang pas subuh tadi pa katanya. Udah dipanggilin dokter kok."

"Pasti dia kecapekan. Kemarin kan pertama kali dia keluar kota." Kata Papa Rayna.

Setelah selesai sarapan Rayna bergegas menuju garasi lalu menstarter mobilnya. Dia langsung menuju rumah Sabda. Di tengah perjalanan ada telepon masuk dari Anton. Kakak Sabda.

"Rayn, langsung ke rumah sakit ya. Tadi Sabda kejang. Panasnya tinggi." Kata Anton.

Mendengar itu Rayna pun langsung menuju rumah sakit. Dia harus putar balik ditambah lagi jalanan sedang macet karena jam berangkat kantor dan sekolah. Dua puluh menit kemudian Rayna sampai rumah sakit. Jantungnya berdetak tak beraturan semenjak tadi mendengar kabar kondisi Sabda. Dia juga sempat mengirim Voice Note ke group whatsapp yang berisi dirinya, Anin, dan Lita kalau dia nggak masuk kuliah hari ini. Sebelum kondisi Sabda membaik dia tidak ingin kemana-mana.

"Rayn!" Sapa Mama Sabda.

"Mama, Gimana ma keadaan Sabda?" Tanya Rayna dengan paniknya.

"sabar sayang, kita berdoa ya. Dokter sedang memeriksa." Kata Mama Sabda tak kalah paniknya raut di wajahnya.

Papa Sabda sendiri mondar mandir tidak jelas di depan ruang IGD. Anton juga baru datang karena tadi dia di telpon mama nya ketika Sabda kejang-kejang.

"Gimana anak saya, dok?" Tanya Papa Sabda ketika dokter keluar dari ruangan.

"Maaf pak, bu. Tuan Sabda tidak bisa tertolong."

Kata-kata dokter itu bagaikan petir di pagi hari untuk semua yang sedang ada di sana. Termasuk Rayna. Hatinya hancur. Dunia seakan runtuh. Tidak pernah terbayangkan Dia harus berpisah dengan Sabda secepat ini. Dan tawanya kemarin adalah tawa terakhir bersama Sabda.

"Dokter.... tolong Sabda dokter! Dia masih butuh bantuan dokter. Tolong, dok!" Kata Rayna pada dokter dengan isak tangisnya yang tidak bisa ditahan lagi. Mama Sabda terduduk karena kakinya tidak lagi kuat berdiri. Papa Sabda cuma memeluk istrinya sambil menangis. Anton yang sempat beberapa saat tertegun sambil menahan tangisnya lalu duduk menenangkan Rayna. Dia juga menghubungi istrinya dan Vero. Ini seperti mimpi buruk. Sabda yang kemarin masih bisa tersenyum, tertawa, dan pagi ini....

Tak berapa lama teman-teman Rayna dan Sabda mulai berdatangan satu per satu.

"Dokter tadi bohong kan, mas? Tolong mas! Liatin Sabda ke dalam. Dia pasti masih bisa diselamatkan." Kata Rayna sambil terus menangis, melihati wajah tampan Sabda dari jendela kaca ruangan itu. Wajah yang begitu tenang dalam tidur panjangnya. Anton cuma bisa menahan air mata nya. Adiknya itu selama hidupnya tidak pernah sakit sampai masuk rumah sakit. Dan pagi ini dia masuk rumah sakit, memang benar dia tidak lagi sakit. Tidak sakit untuk selamanya. Penjelasan dokter tentang adiknya tadi seperti masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

"Rayn!" Anin dan Lita yang baru datang langsung memeluk Rayna. Mereka teringat kata-kata Sabda untuk menjadi sahabat baik Rayna. Barulah mereka sadar bahwa kata-kata Sabda kemarin memang firasat yang mereka tidak sadari. Vero yang melihat Rayna menangis dan Sabda yang sudah tidak bernyawa di ruangan itu merasa sakit.

"Sab, kenapa lu tinggalin kita semua? Bahkan gue sakit Sab, melihat Rayna se sedih itu dan siapa lagi yang akan membuat Rayna tersenyum? Ngga ada yang seperti elu buat Rayna! Lu ninggalin kita semua, Sab. Lu ninggalin gue, sahabat kecil lu yang udah ngerelain Rayna buat lu! Gue bahkan susah payah melakukan itu buat elu! Kenapa elu yang harus pulang lebih dulu, Sab!" Batin Vero sambil menahan air mata nya. Dia hanya terdiam melihat semua itu.

Semenjak dari pemakaman Sabda Rayna terus murung, berdiam diri di kamar. Dia hanya melihati fotonya bersama Sabda. Tanpa ekspresi apapun. Bahkan Lita dan Anin setiap hari berkunjung ke rumahnya tapi hanya tatapan hampa yang mereka lihat di mata Rayna. Mama Rayna pun tak hentinya menangis melihat kondisi Rayna. Wajahnya sudah tak secerah dulu lagi. Matanya pun sembab karena setiap malam dirinya selalu menangis. Kenangan bersama Sabda terus terulang seperti penggalan film. Terlebih terakhir dia tau dari Anton ketika membuka hp Sabda kalau sebelum kejadian pagi itu Sabda akan membalas pesan Rayna tapi belum sempat terkirim karena tiba-tiba Sabda kejang.  Pesan Rayna 'Aku kesana ya, kamu harus sudah sehat kalau aku udah datang. Love u' dan Sabda akan membalas 'Pasti sehat, sayang. Love u more and forever'.

Pagi ini, di hari minggu yang cerah, sudah lebih dari seminggu kepergian Sabda. Rayna setelah mandi, duduk di sudut kamarnya, terkena sinar matahari pagi yang masuk menembus kaca jendela kamar, melihat ke luar jendela yang langsung bisa menghadap jalan.

"Rayna, makan ya sayang? Sama teman-teman kamu nih, Lita Anin pada datang." Tanya mama Rayna yang baru saja masuk ke kamar Rayna. Semenjak dari pemakaman Sabda, mama melarang Rayna mengunci pintu kamar. Alasannya, agar mama bisa melihat Rayna setiap saat. Rayna hanya tersenyum sedikit. Senyum yang hilang setelah Sabda berpulang.

"Hai, Rayn!" Sapa Anin dan Lita. Mereka melihat Rayna sedikit lebih baik sekarang. Wajahnya sedikit lebih tirus karena Rayna hanya makan sedikit itupun karena Lita dan Anin yang maksa.

"Kalian malam minggu ngga keluar ma pacar kalian. Sekarang udah kesini lagi. Ini hari minggu loh." Kata Rayna dengan senyum yang sedikit berat.

"Satria dan kawan-kawan lagi banyak kerjaan." Kata Lita. Lita tidak mungkin bilang kalau para cowok-cowok itu sedang di rumah Sabda, Mama Sabda membersihkan barang-barang Sabda yang masih bisa dipakai untuk dikasihkan ke orang yang membutuhkan. Teman-teman Sabda juga selalu memantau keadaan Rayna dari Lita dan Anin. Anton sendiri belum menjenguk Rayna karena tidak tega melihat Rayna. Orang tuanya sudah terlihat lebih tegar kehilangan Sabda, tapi Rayna sungguh rapuh, mengingat Sabda dan Rayna sudah mantap untuk serius. Pastilah angan-angan yang mereka ciptakan pupus seketika itu juga.

"Rayn, makan ya!" Kata Anin dengan nampan yang berisi sarapan untuk Rayna.

"Gue belum lapar." Jawab Rayna lalu memandang ke arah luar.

"Rayn, please! Jangan lu siksa diri lu kayak gini." kata Lita.

"Gue ngga nyiksa diri gue,Lit. Gue cuma belum lapar. Udah nin, taruh aja nampannya di meja. guys, gue fine. Kalian jangan khawatirin gue." Kata Rayna sambil menatap kedua temannya dengan pandangannya yang sayu. Mata sembab Rayna masih terlihat jelas.

"Rayn, Gue tau lu semalam ngga makan. Jadi sekarang lu harus makan. Kalau lu begini Sabda ngga akan suka, Rayn!" Kata Anin. Mendengar nama Sabda Rayna sebisa mungkin menahan air mata di pelupuknya. Lita langsung melototin Anin. Dan Anin cuma bisa merutuki kebodohannya.

"Sabda ngga akan tau kok,Nin!" Kata Rayna sambil terus menatap keluar jendela. Perlahan air matanya menetes satu per satu tanpa bisa dibendung.

"No, Rayn! Lu harus ingat, banyak disini yang sayang lu. Lu ngga kasihan sama ortu lu? Please lu harus semangat lagi." Kata Lita lalu memeluk Rayna. Kini dia pun ikut menangis merasakan kesedihan sahabatnya. Anin pun ikut memeluk juga. Mereka bertiga menangis, memeluk saling menguatkan.

"Gue ngga tau lagi gimana cara gue jalanin hari-hari gue tanpa Sabda. Gue ngga tau harus memulai dari mana. Gue pengen sama Sabda!"Kata Rayna. Air matanya kini benar-benar tumpah.

"Ingat Rayn, Kita semua sayang elo! Banyak yang sayang elo!" kata Anin sambil terisak.