webnovel

Reuni – 1

Suasana hening menyelubungi. Balasannya tadi seakan tidak terduga padahal itulah yang aku harapkan, setidaknya sedikit ucapan darinya setelah itu.

Terkunci di sebuah kotak perhiasan. Sesuatu yang hampir tidak pernah kubayangkan akan kisah bagaimana nasib seorang Guardian saat aku menjumpainya.

Aku menatap kedua anak Wynter. "Dari mana kalian tahu bahwa di dalamnya ada Guardian?"

"Aku tidak tahu, hanya mengikuti petunjuk dari Stafford," jawab Ariya.

Ah, jadi sama saja dengan kasusku.

Aku kembali menatap guci itu. "Katakan, kenapa kamu diam saja?" tanyaku.

"Aku tidak akan bicara pada sosok yang tidak kuanggap."

Balasan yang menusuk.

"Bicaralah pada siapa yang kamu mau," ujarku. "Keadaan sekarang cukup genting, kita sebaiknya menyelamatkan yang lain."

"Baik, Putri."

Dari suaranya, dia terdengar seperti anak lelaki yang begitu muda, seperti sedikit lebih tua dari Remi. Belum pernah kutemui Guardian semuda ini.

"Bagaimana caraku membuka ini?" tanyaku sambil mengetuk kotak itu.

"Dengan menunggumu dan Pangeran lahir sudah cukup," jawabnya. "Hanya dengan sentuhan salah satu dari majikanku, terbebaslah aku dari pengekang ini."

Maka tanpa berpikir panjang, aku buka tutup kotak perhiasan dan menariknya. Kepulan asap kelabu memenuhi pandangan. Segera aku menutup mata dan membiarkan apa saja terjadi hingga merasa cukup aman.

"Buka matamu, Putri," ujarnya.

Berdiri di depan, sosok anak lelaki yang sedikit kurus, kulitnya cokelat serta mata kelabu dengan rambut biru pucat. Sementara badannya sedikit lebih rendah dariku.

"Terima kasih telah membebaskanku," ucapnya sambil tersenyum.

"Kamu Guardian mana?" tanya Ariya.

Dia menatap wanita itu, tapi tidak menjawab.

"Namamu?" tanyaku. "Anu ... Kamu mungkin tersinggung. Tapi, ada kesalahan sepertinya ketika aku dan Pangeran bereinkarnasi sehingga kami lupa."

"Aku mengerti," ujarnya. "Kalian mengenalku sebagai Zachary Hyde, jin yang diutus untuk menjaga jiwa dan raga Putri dan Pangeran Shan."

"Zachary?" beoku. "Lantas, kamu bereinkarnasi juga?"

"Aku disegel jauh sebelum mendengar kabar keruntuhan Shan," jawabnya. "Terkurung dalam kotak ini selama hampir satu abad membuatku sinting."

"Berapa umurmu?" tanyaku, mendengar suaranya sudah membuatku ragu meski Zahra sendiri masih terdengar seperti gadis kecil.

"Sudah sangat lama," ujarnya. "Aku bahkan lupa tanpa memeriksa tanggal hari ini."

"Ini sudah lewat 70 tahun sejak keruntuhan Shan," ujarku.

"Sementara aku lebih lama disegel sebelum akhirnya mendengar kabar itu," balasnya. "Kemungkinan usiaku sedikit lebih lama dari itu."

"Kamu tidak menghitung?" tanya Ariya.

"Dalam keadaan seperti itu, dia bahkan tidak bisa membedakan siang dan malam," balas Akram untuk kakaknya.

Aku menarik napas. Jin ini bisa jadi lebih tua dari Khidir tapi mungkin tidak setua Tirta. Kenapa ayahku dulu memilih seekor jin juga? Bukankah lawan kami juga jin? Tunggu, aku melupakan Zahra. Sekarang hampir tidak ada pembeda utama antara lawan maupun kawan melainkan tindakan. Sepertinya jin ini memang memihak kami sejak awal. Tapi, namanya terdengar seperti orang sekitar sini. Apa dia jin dari ras yang sama dengan Ezekiel?

"Zach." Aku coba panggil dengan sebutan yang lebih singkat.

Dia menanggapi. "Ya?"

"Namamu terdengar seperti nama-nama orang sekitar sini."

"Aku jin yang dilahirkan di negeri jauh, lebih tepatnya di Tamake," ujarnya.

"Berarti kamu disegel di tanah asing," kataku.

Dia mengiakan, tiada komentar setelahnya.

Aku berusaha merangkai kalimat lagi supaya tidak terkesan terburu-buru.

Jin itu hanya diam, bahkan tidak menatapku, lebih ke harta-harta yang menumpuk di rubanah Wynter.

Masih belum terlambat.

Aku tidak bisa memikirkan kalimat lain. Langsung kutarik tangannya. "Bantu kami."

Dia mengangguk. "Tutup matamu."

Maka, aku pejamkan mata. Membiarkan semilir angin menyapu diri. Tubuhku perlahan terasa ringan seakan mengambang. Aku hendak membuka mata, namun tidak ada perintah.

Hingga aku jatuh pada suatu permukaan yang lembut. Begitu mengerjapkan mata, aku tiba di antara awan dan langit. Apa gerangan ini? Hanya ada awan serta langit biru. Tidak ada tanda kehidupan maupun suara selain bisikan angin.

Baru saja minta bantuan dan sekarang malah dilempar kembali. Kukira dia akan membawaku serta ke tempat kejadian alih-alih mengunciku di tempat ini. Untuk apa gerangan? Melindungi? Memang bukan hal aneh lagi, tapi aku kadang merasa harus menyaksikan suatu kejadian langsung.

Belum pernah terpikir dalam benakku akan memiliki Guardian yang merupakan seekor jin. Jadi, sekarang semakin samar dinding pembeda antara lawan dan kawan. Hanya kalung ini penanda yang pasti. Dan kini, sosok jin itu pergi entah ke mana.

Lantas, apa Keluarga Wynter bersedia membantu? Tentu, karena ini bagian dari rencana. Tapi, mereka mungkin akan sedikit berselisih pendapat lantaran baru saling mengenal. Apalagi kesan pertamaku akan Guardian ini kurang lebih seperti Darren, tidak banyak bicara, atau justru memilih untuk tidak ingin bicara sama sekali.

Lagi-lagi aku kembali merenung. Kenapa dikurung di sini? Apa gerangan tempat ini? Kenapa mengingatkanku akan Shan? Padahal sepanjang hidup di bumi ini, aku hanya tahu Shan dari tutur kata para Guardian. Apa jangan-jangan memang benar tempat ini dirancang menyerupai Shan? Atau justru ini rumah kami selagi masih hidup di kerajaan awan itu?

Untuk mencari tahu, aku perlu menjelajah. Langsung berdiri dan melanjutkan langkah entah ke mana. Sejauh mata memandang, hanya ada kumpulan awan. Tapi, aku yakin ada banyak hal tersembunyi di dalamnya. Jika memang benar rumah ini dirancang untuk tempat persembunyian kami, itu sungguh luar biasa bagiku. Belum pernah terpikir olehku jika kami memiliki markas rahasia yang bisa berada di mana saja dan tersembunyi. Berarti, peran jin dalam kelompok ini memang betul pentingnya.

Sedikit tuntas sudah rasa penasaranku di bagian permukaan. Sekarang, tinggal mencari tahu ruang lain di rumah ini. Bisa jadi ada banyak barang aneh yang merupakan hasil buruan para Guardian. Namun, Zach bilang dia tersegel bahkan sebelum keruntuhan Shan. Tanda bahwa tempat ini tidak digunakan lagi semenjak itu. Tidak menutup kemungkinan ada banyak barang tersimpan sebelumnya.

Beberapa pertanyaan muncul sepanjang aku melangkahi awan-awan ini. Apa saja isinya? Seluas apa tempat ini? Berapa banyak penghuni yang bisa ditampung? Apa bisa dibawa ke mana saja? Andai aku bisa bertanya langsung kepada pencipta ruang ini, sudah pasti semua bisa terjawab tanpa perlu repot mencari tahu. Namun, keadaan di luar sana begitu genting dan aku harus diam di sini agar tidak mencemaskan mereka.

Belum beberapa hari berpisah sudah membuatku cemas. Pergi tanpa kabar, bahkan dalam keadaan terdesak seperti ini. Memang bukan kali pertama mengingat perpisahanku dengan Mariam di perbatasan Kikiro dulu. Tapi, aku masih saja merasa cemas. Apa mereka bisa bertahan dan pulang dengan selamat? Semoga saja.

Kutemukan sesuatu tergeletak di antara kaki. Di bawah lindungan awan tipis, sebuah kalung yang retak. Begitu aku dekati, buah kalung tersebut telah hilang. Hanya menyisakan pegangannya yang rusak itu. Jika diperhatikan, perhiasan ini hanya bisa dililit di bagian leher. Jangan-jangan ini wadah kalung pertamaku. Tapi, mungkin karena dulu aku merasa tercekik saat memakainya, maka aku ganti menjadi gantungan kalung biasa yang lebih panjang dan luas sehingga bisa bernapas dengan bebas. Barangkali saja. Kisah di baliknya? Belum diketahui.

"Putri di mana?"

"Dia aman bersamaku."

"Di mana?"

"Di rumah."

"Rumah siapa?"

"Rumah kita."

"Kita?"

"Kamu lupa?"

"Memang kita punya rumah?"

"Kamu mana pernah di rumah."

Obrolan yang singkat, padat, dan cepat. Aku kenal suara kedua orang itu dan aku harap itu bukan pertanda terjadinya pertengkaran, melainkan obrolan antar teman yang biasa.

Tunggu, bukannya itu suara Ezekiel? Bagaimana dia bisa bicara dengan Zach? Dari pendengaranku tadi, Zach memberitahu Ezekiel bahwa aku di dalam sini. Bagaimana aku bisa mendengar?

"Aku di sini!" Aku berseru.

Tidak ada suara. Kenapa tidak terdengar? Padahal suara dari luar bisa.

Lalu, kudengar lagi suara mereka.

"Putri tahu kami di mana?" tanya Ezekiel lagi.

"Dia bisa mendengar kita," jawab Zach. "Setiap penghuni rumah dapat mendengar suara satu sama lain selama berada di dalam maupun di luar."

"Oh, pantas gue dulu enggak betah," sahut Ezekiel.

"Bilang saja kamu tidak bisa mengendalikan kekuatan rumah itu," sahut Zach. "Bahkan majikan kita yang sihirnya paling rendah saja bisa."

Ezekiel tidak membalas ucapan itu.

"Sudahlah, kita perlu mengurus yang lain sekarang," ujar Ezekiel. "Gue minta bantuan soal si jin."

"Mana dia? Sebaiknya ditawan langsung."

"Emang lo tahu di mana dia?"

"Tidak." Zach terdengar bingung.

"Lo mending diam aja, kasih Putri tempat buat istirahat," saran Ezekiel.

"Baiklah. Sekarang Putri akan tahu bahwa dia tidak sendirian di sana."

Kudengar helaan napas Ezekiel. "Gue pamit."

"Kamu tidak ingin istirahat di dalam?" tawar Zach.

"Gue pengen sih menemani Putri di dalam, tapi ada yang harus diurus dulu."

"Ya."

"Bilang ke Putri kalau gue mencari sesuatu dulu, sama Darren juga." Ezekiel menambahkan.

"Dia sudah mendengar semua obrolan kita."

Ezekiel akhiri obrolan mereka dengan satu kalimat. "Bagus."

Hanya dengan itu, obrolan berakhir.

Dia akan kembali. Tapi, aku tidak tahu pasti akan seperti apa. Kini, aku sedang menunggu kedatangannya.

Hening.

Kukira akan ada suara. Nyatanya langkah kaki sekali pun tidak terdengar. Aku menunduk hanya untuk sekadar memastikan.

Kalungku bersinar.

"Putri."

Nah, panjang umur.

Baru hendak melangkah, kudengar suara langkah kaki. Bahkan begitu pelan hingga hampir tidak terdengar sekali pun. Dia pun muncul di hadapanku.

"Untuk sekarang, kamu aman di sini." Zach berkata.

"Tempat apa ini?" tanyaku.

"Istana Zarqan."

"Hah?"

"Oh, Putri lupa ternyata." Zach tersenyum tipis seolah menyadari sesuatu yang lucu. "Inilah tempat kita bersembunyi."

"Kamu ingat?" Seharusnya aku tidak terkejut.

"Guardian mana yang lupa?" Balasan Zach membuatku termenung. "Di sinilah kita akan menaklukan lawan."