webnovel

Pertemuan – 7

Tidak kusangka, Idris-lah yang memiliki kekuatan naga. Dengan kagum kusaksikan ia mencoba meremukkan semua yang mencoba menyerang. Sisiknya mengkilau di bawah pantulan purnama, meski harus diselubungi kabut.

Kudengar Hayya terus menyemangati, dengan mata kuning berbinar. Aku tidak sanggup bersuara lagi lantaran kagum dan heran.

Sekitar kami perlahan membaik. Kabut dan api hitam terkikis. Udara jadi lebih segar dan enak diirup. Aku menarik napas, paru-paru perlahan pulih dan lega.

Idris berhasil menghalau sosok yang terselubungi kabut itu menjauh, hingga tidak terlihat lagi. Kami menyaksikannya semakin jauh bersamaan dengan kabutnya.

Seseorang memegang bahuku.

Tersibak jubah Arsene.

Aku berpaling.

Dum!

Gill menarikku dan Hayya sebelum ekor Idris menimpa kami. Kabut kembali menyelubungi.

"Ayo!"

Kami lanjutkan lari, kini tidak lagi diselubungi api, melainkan kabut. Jelas menganggu penglihatan.

Berbeda denganku, Gill dapat dengan mudah menentukan arah tanpa kesalahan seolah terlatih. Ah, aku lupa jika usianya sudah duapuluhan sementara aku baru satu dekade.

Saat itulah, kabut hitam menghalang. Aku menahan napas, hendak mundur. Gill genggam tanganku, tatapannya liar.

Tidak kusangka, ia berseru. "Tunjukkan dirimu! Kaukira aku takut, he? Atas apa yang kalian perbuat pada sahabatku, tidak akan kumaafkan!"

Kulirik wajahnya. Tampangnya kini mengeras. Aku tahu ia tidak bercanda lagi gentar. Antara kagum dan segan, aku terpana memandang mata hijau zamrudnya menyala diterpa kegelapan.

Kudengar seseorang terkekeh.

"Kamu berani sekarang?"

Aku mundur. Gill tetap di tempat, tidak gentar.

Aku menunduk. Kenapa kalungku bercahaya?

Tidak kusangka ia akan muncul. Begitu pula dengan Gill. Wujudnya seakan menyegel kedua mulut dan jasad kami.

Itukah ia?

Sosok pucat, mata merah muda namun mengintimidasi, serta rambut hitam legam. Bukankah itu ...

"Nemesis?!" Gill terguncang.

Aku tahu. Ia juga bingung. Matanya merah, kenapa sekarang menjadi merah jambu?

Sosok itu tersenyum. "Kalian lupa siapa aku?"

Dunia seakan runtuh kala kudengar suaranya. Itu ...

Evergreen?

Gill mendesis. "Zibaq!"

Aku terdiam.

Buk!

Gill berhasil mencengkeram leher Zibaq hingga menimpa pohon. "Kauapakan dia?! Lepaskan!"

Zibaq menyeringai. "Ia bahkan tidak sanggup menyelamatkan nyawanya sendiri. Kala lengah, aku berhasil membunuhnya sebelum itu berakhir."

Aku menggeram. "Ia tidak mati!"

"Oh, kamu tahu apa?"

Balasannya seketika membungkam mulutku. Aku hanya termenung memandang wajahnya.

Tidak! Aku tidak akan kehilangan!

Dengan amarah membara, aku melesat hendak meninjunya.

Wussh! Buk!

Kabut hitam menerjang hingga membuatku menabrak pohon. Aku lantas bangkit, tiada rasa sakit bagiku.

"Pangeran!" Gill menguatkan cengkeraman. "Bebaskan Nemy!"

Zibaq raib dengan mudah.

Gill terkesiap menyadari lawannya lolos.

Duk!

"Gill!"

Gill ditendang.

Zibaq berhasil lolos sementara Guardian-ku berjuang mengejar dengan sia-sia.

Kudengar suara Gill yang mulai serak. "Kakek!"

Duar!

Petir menyambar Zibaq. Jin itu terbakar sementara. Ia hangus, terduduk membiarkan tubuh barunya mendingin. Asap serta bau bakaran menghias udara. Kulihat wajahnya tampak bengong dengan tatapan kosong seolah kehilangan nyawa saat itu juga.

Tirta muncul dan menekan pedangnya ke leher Zibaq. "Lepaskan!"

Zibaq raib lagi.

Tirta justru mencengkeram udara, tampak mengempas sesuatu ke tanah.

Aku dengar erangan.

"Bagaimana bisa?!" Kudengar suara Zibaq kebingungan. "Engkau tidak bisa melihat jin kecuali atas izinnya!"

Tirta tampak menguatkan cengkeraman. "Kaukira bisa lolos semudah itu? Kausakiti bahkan nyaris membunuh salah satu dari kami."

Zibaq akhirnya menampakkan diri. Tengah dicekik Tirta, berjuang bebas dengan percuma. Tirta secara fisik jelas lebih kuat darinya. Bahkan, bisa jadi ia akan membunuhnya saat ini juga jika Zibaq menolak melepaskan Nemesis.

"Tinggalkan tubuhnya!" titah Tirta. "Aku akan membebaskanmu."

Tentu saja, tidak semudah yang dikira. Ia bisa saja kabur bersama tubuh Nemesis!

Zibaq mendengkus. "Tidak!"

"Kamu jin!" tegas Tirta. "Tanpa raga pun, masih bisa hidup!"

"Kalau tidak, kenapa?" tantangnya. "Aku jin, tidak akan mati dengan benda buatan manusia atau makhluk nyata seperti kalian."

Tirta tersenyum miring. Tangannya muncul sisik-sisik hitam mengkilat. Menguatkan cengkeraman.

Zibaq menggerang pelan. Tampak kaget dengan serangan Tirta. Aku juga penasaran, bagaimana ia bisa melakukannya?

"Ba ... Baik!"

Tirta longgarkan cengkeraman.

Zibaq memulihkan diri sebelum akhirnya dapat bicara dengan lancar.

"Kamu lawan yang aneh," decaknya. "Tak heran aku memilihmu."

Tirta tampak hendak menyahut, tapi dipotong dengan seruan Gill.

"Lepaskan Nemesis!" desak Gill.

Zibaq menggeram, tampaklah sepasang taring Nemesis. Ia berdecak.

Terlihat jasadnya tampak berjuang memuntahkan sesuatu. Aku lantas menutup mata lantaran takut.

Gill mendekapku, jubah Arsene juga menyelimuti, membuatku sedikit tenang meski harus mendengar seseorang batuk. Aku kini takut saban kali mendengar suara itu.

Kala batuk itu berhenti, aku akhirnya berani membuka mata.

Tampak sosok Nemesis berlutut di sisi Tirta. Ia mengatur napas, mata terpejam dan perlahan terlelap.

Tirta lalu berdiri sambil memboponh Nemesis. "Jin itu sudah keluar."

Kami menarik napas lega.

Terdengar suara langkah kaki.

"Remi!" Kudengar suara Michelle.

Aku berbalik.

Di belakang, banyak orang berkumpul terutama keluarga Wynter. Meski wajah mereka tidak menunjukkan ekspresi selain merasa terganggu atau bingung.

Idris muncul bersama Khidir. Mereka tersenyum kala pandangan kami bertemu. Aku semakin tenang, seakan melupakan ketakutan tadi.

"Zibaq tadi merasuki tubuh rekan kita," kata Tirta. "Aku yakin ia akan merasuki orang lain untuk melawan kita."

"Kenapa?" tanyaku.

"Kalian ada masalah?" tanya Michelle.

Tirta menghela napas. "Sayangnya, aku tidak tahu. Untuk saat ini, kita rawat dulu rekan kita. Ia adalah vampir, tidak boleh terkena sinar matahari ataupun perak."

Nemesis tampak lemah di pelukan Tirta. Meski aku yakin vampir tidak akan mati semudah itu, aku tetap saja cemas.

Nemesis mengerjapkan mata. Netranya kembali merah seperti biasa. Ia tampak berjuang mengucapkan sepatah kata.

Tirta menunduk. "Ya?"

Tidak kusangka, Nemesis langsung melapor. Meski suaranya terdengar terputus-putus dan pelan seakan berbisik.

"Ketika ia merasukiku, aku berhasil menemukan serangkaian ingatan berhubungan dengan Shan," ujarnya.

"Apa itu?" heran Tirta.

Nemesis mengerutkan kening. "Kamu tidak ingat apa pun?"

Tirta terdiam, seolah mengiakan. Kenyataan itu membuat kami kaget, terutama Khidir dan Idris. Aku yakin pria ini selamat dan bisa jadi saksi seluruh kejadian. Sayang, sesuatu melenyapkan ingatannya. Siapa gerangan?

Luka di wajah Tirta bisa jadi saksi bisu. Tapi, ia tampak tidak tahu penyebbanya pula.

Nemesis kembali bersuara. "Kulihat ia terus meracau tentang rencana jahat mengancam kita, Pangeran dan Putri."

"Kenapa?" tanya Tirta.

"Aku ... Tidak tahu." Nemesis melirik sekitar. "Ia bagai halimun yang menyelimuti Ezilis kala vampir berjaya. Tidak, aku yakin ia lebih dari itu!"

"Istirahat dulu," ujar Tirta. "Nanti besok kita bahas."

Nemesis seolah tidak mendengar. "Sepertinya, ia dalang di balik kematian Raja."

"Raja?" Michelle melirik Khidir.

"Bukan." Nemesis memejamkan mata, tampak berjuang berkonsentrasi. "Raja Shan, Rihan Suryanta."

Aku dan Michelle refleks bertanya. "Siapa?"

"Ayah kalian."