webnovel

Penyihir Hijau – 3

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Selama Putri Zahra bertutur, aku habiskan malam dengan makanan beserta penutupnya. Belum pernah aku nikmati makan sebanyak ini.

Zahra kembali bercerita.

***

Pada suatu malam, Khidir menjenguk ke kamar Zahra. Ia mengajak gadis itu mengobrol sebentar. Tepat di paviliun ini.

Mereka menatap bulan purnama yang bersinar terang di tanah Aibarab. Baru kali ini Zahra melihat langit malam jernih bertabur bintang.

"Indah, bukan?" tanya Khidir.

Zahra menatapnya lalu mengiakan. Indah nian baginya.

Khidir menarik napas. "Kamu kesepian?"

Zahra paham kalau pria ini merasa terlalu jauh darinya, padahal mereka bisa bertemu setiap malam sementara pagi hingga petang Khidir akan berdiam diri di tempatnya. Meski ia sesekali minta kedatangan Zahra untuk menambah aura, entah apa itu.

"Tidak." Zahra menjawab dengan sangat pelan, masih ada jarak antara mereka.

Khidir lalu duduk dan minum. Sesekali ia menawarinya makan malam meski Zahra sudah kenyang.

Zahra duduk di sisinya sambil memandang langit malam. Diam dan menunggu.

Lalu, Khidir bicara. Suaranya seketika berubah drastis, menjadi lebih pelan seakan ia sendiri takut mendengarnya.

"Umi dibunuh Raja Arwah, lebih tepatnya kakekmu," katanya. "Sementara Abi dibunuh ayahnya Sakhor."

Zahra hendak mengucapkan belangsungkawa. Tapi, ia melanjutkan kisah.

"Abi tetap tersenyum, meski di ambang kematian. Menyaksikannya mati sementara ia bersimpati pada lawan membuatku heran. Bagaimana bisa ia mengampuni sosok sepertinya?" Suara Khidir terdengar gemetar di akhir kalimat. Ia jelas tidak terima.

Zahra mengaku paham dengan perasaannya.

Khidir menghela napas sambil memandang bintang. Diam saja selama beberapa saat.

Zahra tidak menyangka ternyata kakeknya membunuh sang Ratu, ibunya Khidir. Seingatnya, Yamlica pernah bercerita kalau kakeknya juga tewas di tangan Raja Khalil setelah tragedi itu. Tak lama, barulah raja Aibarab itu terbunuh di tangan Sakhor.

Namun, Raja Arwah juga menolak melawan, apalagi membalas dengan memusuhi Khidir. Pikiran Zahra seketika beralih ke sebuah hikayat tentang balas dendam. Tapi, dia tidak paham perihal siapa Sakhor.

Khidir kembali tersenyum. "Ah, sudah tengah malam. Kamu tidak tidur?"

Ia ajak Zahra masuk ke kamar lalu menyelimuti tanpa diminta.

"Selamat malam, Rara," ucapnya mengelus keningnya. "Mimpi indah."

Zahra balas salamnya sebelum memejamkan mata. Malam dia habiskan dengan renungan.

***

Kini, aku paham kenapa Sakhor menyimpan dendam pada negeri ini. Jangan bilang Khidir akan meneruskan rantai kebencian itu. Tapi, aku tidak tahu cara membalas perbuatan tadi jika berada di posisinya. Maka, aku pilih untuk diam.

Hening lama. Bahkan keributan dari luar pun menjadi senyap.

"Pertempuran sepertinya sudah berakhir," kata Zahra. "Akan aku periksa."

Aku serta merta mengekori, kepo lebih tepatnya sekaligus memastikan keadaan.

Kami tiba lagi di ruang singgasana. Meski suasana kembali membaik, aku dapat merasakan aura aneh menyelubungi.

Kulihat Mariam, Idris dan Khidir berdiri saling menghadap. Tatapan mereka tanpa ekspresi menambah kesan canggung. Meski tidak terlihat luka di antara mereka, kecuali Idris.

Aku ragu harus memanggilnya siapa. Hanya menatap satu-satunya caraku menarik perhatian.

Eh, mana Zahra?

Aku menoleh.

Dia hilang.

Kekehan sang Raja mengejutkanku, ia tampak menertawakan Mariam dan Idris. "Kalian tampak manis kalau berdiri berduaan seperti itu."

Idris menunduk. Terlihat pipinya merah merona.

Mariam mengalihkan tatapan. Untungnya jatuh padaku. "Itu putrinya."

Sang Raja yang selama ini aku tunggu-tunggu, kini berdiri tepat di depan. Aku kira ia sosok pria tua berjanggut yang hanya biasa menghabiskan waktu dengan duduk diam di singgasana sambil menikmati hari tua. Nyatanya, ia tampak masih tampan seperti Idris.

Nada bicaranya pun tidak seperti kebanyakan bangsawan. Ia terdengar seperti pria biasa. Mungkin dia bukan bangsawan murni? Atau dia memilih nada seperti itu? Kendati demikian, aura yang ia pancarkan masih saja terkesan berwibawa.

"Kyara!" Seruannya membuatku kaget. Ia terdengar seperti teman lama yang tiba-tiba menyapa. Aku tidak menyangka ia akan menyeru namaku sekeras itu.

Aku menatap netra hijaunya. Sama sepertiku. Tapi, aku yakin itu karena sebagian besar penduduk sini memang bermata hijau, apalagi kalau kekuatan Khidir sendiri melambangkan warna itu.

"Berhenti menatapnya seperti itu!" cerca Mariam. "Kamu malah membuatnya takut!"

Khidir tergelak. "Mariam yang biasa. Kamu terlihat seperti ibu yang melindungi putrinya."

Mariam menatap ke lain, tampak berusaha mengabaikan.

Aku menatap sosok baru dalam hidupku. Ia mirip sepertiku. Mata hijau, rambut pendek hijau tua, sedikit acak-acakan akibat kekacauan tadi.

Khidir menatapku. "Kamu Kyara, bukan?"

Aku tundukkan pandangan. Melihat pancaran cahaya kalung ini membuatku sedikit merasa aman untuk jujur.

"Ya," jawabku. "Aku dari Desa Anba di Shyr."

Khidir tampak berpikir sejenak. "Ah, Desa Anba. Aku pernah dengar."

Aku tidak menanggapi. Lebih tepatnya, tidak tahu harus membalas apa.

Mariam menyahut, "Dan kamu sebaiknya bertindak."

"Tentu saja," sahut Raja Khidir. "Lagipula, itu tugasku sebagai Guardian."

Aku lagi-lagi terkejut mendengar fakta itu. Tadi Idris mengaku sebagai Guardian, kemudian Khidir, sosok paling disegani di Aibarab? Aku tidak menyangka akan mendapat perlindung tambahan seperti ini. Kalau Mariam? Dia termasuk?

Khidir melanjutkan. "Kamu tidak perlu terkejut. Aku sudah lama menjadi Guardian-mu, seperti Idris, selama lebih dari tujuh puluh tahun."

"Kamu tidak kesulitan harus menjagaku sekaligus memimpin negeri?" tanyaku polos.

Ia tersenyum. "Kadang aku memerintah, kadang pula aku berburu sihir. Selama ada 'cadangan' aku bisa pergi kapanpun."

Aku termenung mendengarnya. Suasana kembali senyap dan ia masih ceria layaknya anak kecil yang mengagumi istananya sendiri. Aku mengikut arah pandangnya, ke jendela lebih tepatnya. Rupanya bintang-bintang yang menarik perhatian pria itu.

"Kyara, tahukah kamu jika bintang itu sebenarnya berukuran raksasa?" ujarnya. "Memang terkesan aneh, tapi begitulah kata leluhurku."

Aku mengiakan tanpa minat.

"Dulunya, negeri Aibarab dihuni hanya oleh para Jin dan Pengalih-Rupa." Ia mengganti topik, "Tapi, aku dan Idris berhasil memukul mundur mereka dan melindungi rakyat."

Aku terpana mendengarnya. Sungguh?

"Aku jauh lebih tua dari yang kaubayangkan," lanjutnya. "Namun, aku tidak menua karena sihirku."

Tanpa diminta, ia membuka kepalan tangannya dan memperlihatkan tumbuhan bercahaya yang seketika merambat di tangan. Aku jelas terpana.

Melihat reaksiku, ia tersenyum lalu mengepalkan tangan. Khidir kemudian menggosok tangan dan jadilah rangkaian bunga kecil. Ia menyerahkannya padaku.

Mariam mendengus. "Lihat tingkahnya. Jangan mudah terpesona, Kyara!"

Khidir menatap Mariam. "Ini hadiah dariku untuk Kyara secara pribadi. Memangnya tidak boleh?"

Merasa tidak nyaman, aku mengambil rangkaian bunga kecil itu. "Terima kasih, Yang Mulia."

"Panggil aku Khidir seperti kamu memanggil wanita itu Mariam," jawabnya.

Aku bertanya. "Kamu tahu nama aslinya?"

"Aku tahu nama asli dan samarannya." Khidir melambaikan tangan ke Mariam yang masih berdiri di tempat. "Oh, Mariam, aku lupa memberitahu. Maaf, atas kecerobohan tadi soal ide nama Nyonya Asafa."

Mariam tampak sengaja tidak menanggapi.

Tunggu, bukannya Asafa itu nama belakang Idris?

Khidir kembali memamerkan kekuatannya kepadaku. Ia membuat rangkaian bunga, bahkan hiasan. Melihatku terkagum-kagum membuatnya terus mengembangkan senyum. Malam itulah, aku mengenal pelindungku, Khidir.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵