webnovel

Pemburu Sihir – 2

"Putri."

Terdengar suara di balik kegelapan malam.

"Putri."

Mataku masih terlalu berat, terpaksa kubalas dengan segenap tenaga. "Ya?"

"Lo tadi yang selimutin gue?"

Aku mengiakan, malas mempermasalahkan jika Ezekiel protes.

"Makasih, ya."

Hanya dengan itu, kurasakan selembar kain menutupi badanku. Dia ternyata menyelimutiku juga, barangkali mengembalikan kain tadi lantaran tidak memakai.

Lalu, kurasakan dia duduk di sisiku.

"Gue tadi enggak sengaja tidur," ujarnya.

Aku mengiakan, masih mengantuk.

"Lalu bangun-bangun gue kaget ternyata lo kasih gue selimut," ujarnya. "Lo manis juga, ya."

Aku lagi-lagi mengiakan. Sudahlah, lebih baik tidur sebelum dia terlalu memuji.

"Gue enggak pernah ketemu orang semanis lo."

Lihat? Dia sudah mulai memuji dan pasti akan semakin parah.

"Gue tahunya mereka cuma ikutin aturan ala gue, paham, 'kan? Kalau belum, nanti kukasih tahu."

"Tidak perlu," balasku malas.

Ezekiel melanjutkan. "Serius, lo dulu pas di Shan sangat manis malah. Sekarang saja rada beda. Karena lo enggak ingat, 'kan?"

Aku tidak menjawab, terlalu lelah.

Dia mengelus keningku. "Saking manisnya, gue sampai terharu dulu."

"Ezekiel, aku ngantuk," tegurku. Lelah mendengar kali ini.

"Tidur saja," balas Ezekiel. "Bakal gue jaga."

Aku mengiakan.

Pada akhirnya, benar-benar hening.

***

"Gue diundang buat ikut tongkrongan mereka. Mau ikut?"

Tepat ketika aku keluar dari kamar, terdengar suara Ezekiel dari ruang tengah.

Aku yang kala itu setengah sadar, bingung. Tapi, setelah beberapa langkah dan sesekali berhenti untuk berpikir, aku pun membalas ucapannya.

"Boleh!"

Begitu tiba di ruang makan, kulihat Ezekiel sedang duduk di meja makan menghadap Sagir yang tengah asyik menikmati sarapannya, sepotong roti dan selai stroberi.

"Hm!" Begitulah sapaan Safir.

"Dia ikut," timpal Ezekiel.

Aku mengiakan kemudian duduk di antara mereka.

Meja makan ini terdiri dari lima kursi, padahal kalau kuingat-ingat, hanya ada dua penghuni ditambah aku. Tapi, aku tidak banyak memusingkan.

"Kenapa kamu tiba-tiba semangat masuk geng orang?" tanya Safir pada Ezekiel.

"Gue tahu mereka suka sama gue," jawab Ezekiel. "Kalau sudah menawar, kenapa juga harus menolak?"

"Aneh," komentar Safir. "Kau tiba-tiba curiga lalu langsung percaya dengan orang lain."

"Bukan sembarang gue milih," ujar Ezekiel. "Lo mending bantuin kami, dah."

Hanya dengan itu, Safir kembali diam.

Ezekiel menatapku. "Ayo, Putri, makan! Mereka menunggu, nih!"

***

Aku dan Ezekiel kembali menggunakan kerreta es ciptaannya sementara Safir disuruh pergi lain waktu sampai diperintahkan. Ketika benda itu berjalan, lagi-lagi Ezekiel mengajakku bicara tapi suaranya telah menyatu dengan angin sehingga tidak terdengar. Terpaksa kuiyakan meski sebagian pertanyaan mungkin menuntut jawaban yang lebih detail.

Bahkan saat berkendara pun, ketika kulihat dari jendela kecil yang menghias benda ini, Ezekiel tampak tersenyum meski tatapannya tertuju ke depan. Ia tampak sangat ramah meski aku tahu dia tersenyum untuk alasan lain.

Sambil menunggu sampai ke tempat tujuan, aku melirik sekitar. Benda ini bergerak secepat bahkan kadang lebih cepat dibandingkan seekor kuda yang mana membuatku kesulitan melihat jalan saking cepatnya berubah pemandangan.

"Putri!" Kali ini, Ezekiel bicara dengan lebih keras agar terdengar.

"Ya?!" balasku tidak kalah kencangnya.

"Lo sudah pernah dengar kisah selain keruntuhan Shan?" tanya Ezekiel.

"Ya!" jawabku.

"Bagus!" Hanya dengan itu, dia kembali diam.

Perlahan laju kereta ini memelan hingga kami tiba di sebuah tempat layaknya perkemahan saking luasnya. Belum lagi dilengkapi tenda berwarna biru tua dengan kursi dan meja panjang layaknya tempat berkemah pada umumnya.

Kereta Ezekiel berhenti di depan pagar dan membantuku turun. Sangat aneh jika sihir jenks ini sudah ada sejak lama tapi belum terlihat digunakan oleh bangsa lain terutama dari tempatku berasal. Hendak bertanya tapi entah kenapa terasa tabu jika dibahas sekarang.

Begitu kami tiba, muncul kembali Helia bersama Ascella. Wanita itu memberi isyarat kepada Ezekiel untuk mengikutinya sementara aku disuruh menyusul anak lelaki yang membuatku heran sejak kemarin.

"Dia sama gue saja, ya," kata Ezekiel ketika aku hendak berpaling. "Kenapa kita enggak mengobrol di luar saja? Segar, ada udara."

Aku kembali berdiri di sisi Ezekiel sambil sesekali menatap Ascella. Lelaki itu juga mendekat tapi memilih bersama wanita itu.

Karena di tempat ini ada bangku panjang, kami duduk berhadapan tanpa hidangan atau apa pun melainkan tatapan.

"Kok pada canggung, nih?" Lagi-lagi, Ezekiel yang angkat bicara, dia menatap Helia. "Nona, katanya ada yang bakal dibicarakan."

Helia pada akhirnya membalas ucapannya. "Kamu yang paling aneh dibandingkan orang sekitarmu, um, siapa namamu tadi?"

Ascella menyikut Helia lalu berbisik.

"Ah, ya." Helia melanjutkan. "Syl saja?"

"Gue suka segala jenis panggilan," jawab Ezekiel. "Panggil gue 'Kakak' kalau mau."

Helia mengerutkan kening, tampak mencurigai tingkahnya. "Mohon maaf, berapa umurmu?"

"Berapa pun."

"Aku bertanya."

"Gue menjawab."

Helia jeda, tampak menahan kesabaran. "Kulihat dari gerak-gerikmu selama ini, ada banyak benda aneh yang disimpan di rumah, layaknya seorang dukun."

"Maksudnya ini?" Ezekiel serta merta memamerkan sebuah tongkat kecil yang bahkan tidak sebesar telapak tangannya. "Ini gue colong dari seekor peri saat dia ngajak ribut."

"Engkau bicara seakan tidak berasal dari sini," ujar Helia, menatapnya agak sinis.

Ezekiel membalas tatapannya, tampak tidak mengerti dengan ucapan tadi. "Kayaknya kalian yang salah tempat, deh. Soalnya ini Adrus, semua orang ngomong kayak gini di sini."

"Benarkah?"

Pertanyaan refleks dari Helia membuat Ascella lantas menatapnya, tampak kaget.

"Kalian pendatang?" Ezekiel tersenyum. Malah tidak dibalas sama sekali.

Hening sejenak.

Aku menatap keduanya, tapi tatapan mereka tertuju pada Ezekiel. Sepertinya memang betul mereka ini para pendatang. Kenapa obrolan ini terasa janggal?

Ezekiel kembali memamerkan tongkat kecilnya. "Meski benda ini sudah lepas dari pemiliknya, efek sihirnya lumayan."

"Ah, jadi ini hanya sebatas tongkat sihir?" tanya Helia.

"Gue pernah coba menyusun perabotan pakai ini," jawab Ezekiel. "Semua tersusun rapi dan bersih."

"Biar kami lihat." Helia menyodorkan tangan.

Ezekiel tersenyum miring, dia menjauhkan benda itu. "Nanti, deh."

Helia kembali bertanya. "Jadi, ini bukan benda asing dari dunia lain?"

"Entah." Ezekiel mengangkat bahu, tampak polos menjawabnya. "Tapi, ini cuma tongkat sihir. Koleksi lain ada di rumah. Salah satunya darah peri tadi."

"Untuk apa kau menyimpannya?" tanya Helia.

"Gue penasaran," jawab Ezekiel. "Selain itu, gigi peri ternyata bisa dibuat sebagai obat sakit gigi."

Tanpa disuruh, dia malah menyodorkan botol kecil yang bahkan bisa dipegang dengan dua jari saja. Isinya berupa bubuk warna putih dan sangat sedikit jumlahnya.

"Taburkan sedikit ke gigi, langsung pulih," terangnya. "Gue pernah nyoba ke teman dulu, sekarang gigi berlubangnya juga hilang."

"Menakjubkan!" Ascella ternganga.

"Nih, gue kasih." Ezekiel pun menyerahkan botol kecil itu pada Ascella. "Cara bikinnya mudah aja, kumpulkan gigi peri sesuai selera lalu haluskan hingga jadi bubuk kayak gini. Jadi, deh."

"Kalau boleh tahu," kata Helia. "Dari mana asalmu, Syl?"

"Gue tinggal di sini," jawab Ezekiel. Hanya dengan begitu.

"Terdengar janggal," komentar Helia. "Kudengar engkau seorang penjelajah."

"Lah? 'Kan baru sekarang suka jalan-jalan," sanggah Ezekiel. "Lo bertanya asal gue, kok tiba-tiba bahas soal penjelajah?"

"Aku hanya memastikan," ujar Helia. "Jadi, Syl, apa tanggapanmu soal Sihir Hitam?"

"Gue langganannya." Ezekiel menunjuk Helia dengan tangan membentuk pistol, dia tampak bersemangat. "Hampir setiap hari gue kenyang mengurus mereka. Semenjak kerajaan itu runtuh, pada ramai menyerang dunia di bawah, ya."

Helia mengiakan. "Kamu Pemburu Sihir?"

"Anggap saja begitu."

"Kamu pernah berpikir untuk memusnahkan semua Sihir Hitam?" tanya Helia lagi.

"Mustahil," balas Ezekiel. "Kita enggak bisa mengaturnya kayak gitu."

"Kamu benar," ujar Helia. "Tapi, masalah kita tidak akan selesai kalau Gigantropy saja belum dimusnahkan."

"Ah, jadi lo mengundang gue biar bisa menjadi kail pancingannya?"

Pertanyan Ezekiel membuatku kaget, terutama ekspresi Helia dan Ascella yang lagi-lagi terdiam begitu mendengar.

"Bukan kail pancingan, tapi ..." Helia tidak dapat melanjutkan.

"Hm." Ezekiel terdengar sedang berpikir. "Oke, silakan jadikan gue umpan, kail pancing, atau tumbal. Tapi, ada syaratnya."

"Apa?" tanya Helia.

"Pertama, jangan banyak tanya atau cerewet," jelas Ezekiel. "Kedua, jangan mendekati Thalia, tujuan kita menangkap Gigantropy."

Sepertinya syarat kedua hanya berlaku untuk Ascella.

"Ketiga, jangan memaksa, gue lebih tahu dari kalian intinya," lanjut Ezekiel. "Keempat, sudah. Begitu saja."

Helia mengangguk pelan. "Baik, senang bekerjasama denganmu."

Hanya dengan itu, kami pun pulang meski pertemuan tadi hanya berlangsung dalam beberapa menit saja.

Begitu kami tiba di rumah, kudengar Ezekiel bicara dengan nada mengejek.

"Dia kayaknya enggak tahu, deh, konsekuensi atas keputusannya."