webnovel

Naga dari Kikiro – 9

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Aku paham mengapa meragukan tindakan kami tadi. Mengapa tidak? Tanaman indah yang menghiasi kuil kini harus hancur lebur akibat tanganku. Yang tersisa hanyalah semak belukar yang acak-acakan.

"Itu ... Aku terburu-buru." Aku menunduk.

Takeshi menghela napas. "Tidak apa-apa." Ia memang tidak marah, tapi aku masih merasa bersalah.

Aku menunduk, membiarkannya menatap tanaman malang itu. Telingaku siap mendengar omelan dan hinaan.

Takeshi mendehem, "Kita perlu ke Aibarab besok."

"Untuk apa?"

"Selain membeli bunga baru, juga berdagang," jelas Takeshi. "Lagipula, Mariam ingin aku menemuinya di sana."

Atau dia yang ingin menemuinya?

Aku tahu, ia juga ingin menemui Count Wynter yang juga kakak tirinya, Pangeran Zayd. Kuharap aku akan bertemu Mariam di sana.

"Lanjutkan tidur kalian," ujar Takeshi. "Besok kita ke sana."

***

"Ayo, Lian!" Hayya menarik tanganku yang masih terlelap. "Waktunya berkemas!"

Dari jendela, sudah jelas hari masih gelap atau barangkali dini hari. Dibantu Hayya, aku mengemasi barang seadanya lalu mandi.

Belum pernah aku mandi dengan bak selalu terisi dalam ruangan. Biasanya kami menimba air di sumur halaman belakang lalu membersihkan diri di sana. Apalagi dengan bau sabun seharum ini. Aku baru ingat kapan terakhir aku mandi, sebelum Mariam datang ke desaku.

Seusai mandi, aku mengenakan pakaian yang sudah disediakan. Kikiro terlalu dingin sehingga mandi saja terasa tidak penting, barangkali orang-orang di sana tidak pernah mandi sama sekali. Berbeda di Shyr yang suhunya membakar kulit.

"Ayo, Lian!"

Hayya muncul tepat di depanku seperti biasa, aku perlu membiasakan diri menanggapi kebiasaan buruknya. Khawatir kalau dia mengamatiku selama ini.

"Mana ayahmu?" tanyaku.

"Berganti pakaian," balasnya. "Yuk, ke sana!"

Takeshi mengenakan pakaian yang jauh berbeda dibandingkan penduduk Kikiro. Pakaiannya berwarna ungu tua mirip jas yang menginggatkanku akan Count Wynter. Ya, dia kini menjelma jadi sosok yang pernah kujumpai di Shyr dulu.

Pria itu tersenyum. "Pagi, Lian, Hayya!"

"Otōsan!" Hayya mendekat. "Aku boleh ganti warna rambut?"

Tentu saja ia mengiakan.

Hayya duduk di depan lalu mengurai rambutnya.

Takeshi ambil cairan kehitaman dari sebuah wadah lalu mengoleskannya ke rambut putrinya.

Setelah mengubah warna rambutnya, Takeshi mengoles cairan hitam itu ke rambutku. Untuk pertama kalinya aku benar-benar mengubah penampilan. Rambutku kini hitam dan tidak lagi hijau. Namun, percuma saja. Wajah tidak ada yang berubah. Anehnya, Takeshi tidak merubah warna rambut.

"Yang lain?" tanyaku.

"Azya sudah," ujar Takeshi.

Ia keluar lalu merubah wujudnya menjadi naga. Luka di lehernya masih terlihat meski hanya berupa garis pucat terputus-putus. Hayya mengangkat tasku yang isinya berupa pakaian berian Takeshi yang tidak terpakai. Aku naik ke punggungnya.

Azya berlari menyusul dan duduk di belakangnya. Dia tampak membawa sedikit seklai barang, mungkin satu tempat dengan saudarinya.

Aku mencengkram erat rambut Takeshi. Hanya aku yang membenam wajah ke rambut putih Takeshi sementara Hayya dan Azya tertawa sambil menyerunya untuk terbang lebih tinggi. Kami menembus awan dan hawa dingin menusuk dada, aku mempererat pelukan.

"Kamu takut, ya?" Hayya memegang kepalaku. "Buka matamu!"

Pemandangan gurun panjang menyambut mataku. Anehnya, tidak sepanas biasanya. Hamparan pasir nan luas mengingatkanku akan Mariam yang masih tidak jelas kabarnya, juga Safir yang mungkin sedang mencuri harta.

"Kamu kenal daerah ini?" Takeshi tiba-tiba bertanya.

Aku mengiakan. "Ini tempat kami nyaris dirampok."

"Makanya ada Otōsan," sahut Hayya. "Banyak bandit di sini. Kalau beruntung, kamu bisa dimakan bandit itu sekalian."

Azya bergidik. "Tapi, anehnya, mereka takut ke Aibarab."

"Ya, iyalah!" sahut Hayya sambil terkekeh.

"Pencuri itu sosok Pengalih-Rupa rubah," ujar yang seketika ingat. "Dia menawarkan kebebasan dengan menceritakan Kota Batu Saghra."

"Terakhir aku ke sana," sahut Takeshi. "Semua masih jadi batu."

"Mariam memulihkan mereka," sahutku. "Kini, si Penyihir ... Kalau tidak salah, Ariya namanya, hilang ingatan dan lupa jika kami yang merubahnya menjadi gelas."

Hayya berdecak kagum. "Bagaimana rupanya? Otōsan pernah bercerita tentang Okasan, tapi dia lupa menjelaskan lebih banyak."

Hening.

"Otōsan!" Hayya berseru, "Kapan kamu dan Okasan kenalan? Okasan kapan pulang?"

Takeshi memelankan laju. "Hanya beberapa dekade. Aku salah satu yang mengenalnya dan dia kenal aku."

"Okasan kok lama perginya?" Hayya tersenyum jahil.

"Kami sangat jarang bertemu," balas Takeshi datar. "Lagipula, Mariam tidak suka bicara."

Cukup janggal bagiku. Mariam mau berbicara panjang lebar bersamaku. Meski aku harus terus bertanya terlebih dahulu. Barangkali, dia sudah belajar cara bicara dengan orang baru.

Tunggu, Hayya dan Azya baru saja memanggil Mariam "Ibu"?

Takeshi mendarat dekat kota Aibarab yang masih ramai. Anehnya, para penduduk tampak biasa saja melihatnya merubah wujud seakan hal itu wajar terjadi. Barulah aku ingat, kota ini Kota Penyihir.

Rambut dan pakaian Takeshi melambai di udara Aibarab yang berpasir. Ia berjalan gagah mendahului kami masuk. Tampak bagai perisai di bawah sinar mentari.

Reaksi penduduk Shyr berubah begitu melihatnya. Seluruh tatapan tertuju pada kami. Sebagian menundukkan pandangan seakan Takeshi siap menebas kepala mereka. Beberapa berlutut namun diabaikan.

Aku melihat perubahan sikap dari Takeshi. Wajahnya mendadak keras dan dingin bagai es. Mata merahnya menyusuri sekitar, membuat suasana semakin mencekam. Aku jadi ragu, yang manakah dirinya yang sesungguhnya? Entah mengapa, aku menelan ludah saking takutnya.

Kami memasuki sebuah gang sempit yang dipenuhi sosok-sosok yang jauh berbeda. Pakaian lusuh, penuh cakar dan beberapa bagian tubuh hilang entah kecelakaan atau disengaja. Menatap kami dengan tajam bahkan ada yang menyeringai dan terkikik. Azya mengenggam erat tanganku. Hanya Takeshi dan Hayya yang terus berjalan dengan santai melewati mereka.

Seorang wanita berambut biru mendekat sambil memegang pisaunya. Tatapannya tertuju pada kami berempat. Dia seakan tidak terusik dengan tatapan dingin Takeshi.

Tunggu, aku mengenalnya. Dia ...

"Aku Safir, Sang Pengalih-Rupa," ujarnya. "Apa keperluanmu ke sini?"

"Aku Idris Asafa." Takeshi berpaling lalu menunjuk Hayya, Azya dan aku secara berurutan. "Ini anak-anakku, Haydee, Asha dan Kaira."

Safir? Itulah kau? Wanita itu menatap kami lalu dia menyadari kehadiranku. Apa dia mengenalku?

"Aku baru tahu kau punya anak ketiga," ujar Safir sambil terus menatapku.

"Kedua," koreksi Takeshi, atau kini harus kupanggil Idris atau mungkin ayahku. "Kaira memang tidak senang berjalan-jalan."

"Apa keperluanmu disini, Tuan?" ulang Safir. "Kamu punya apa yang kami inginkan?"

"Tentu saja," balas Idris datar. "Akan tiba di sini besok."

Safir tersenyum puas. "Butuh imbalan?"

Idris menatap kami. "Putri-putriku, apa yang kalian inginkan?"

Apa yang ia tawarkan sampai harus mendapat imbalan sebanyak itu? Aku memutar otak. Seketika, terlintas wajahnya.

"Kalian melihat Hiwaga?" tanyaku. "Dia seorang pengelana berambut putih."

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵