webnovel

Menuju Kebenaran – 13

"Gill!"

Aku menemukan pemuda itu terduduk di lingkaran api tak jauh dariku, laksana bayi mungil yang ketakutan. Kami berada di ruang tamu yang terbakar, tepat di bawah kamarku. Seisi rumah tampak bagai neraka, beruntung aku masih bisa bernapas meski harus menutup hidung dengan kerah baju.

"Pangeran!" Ia menyambar tanganku. "Ayo!"

"Mana Papa?" tanyaku.

"Nanti!"

Kami berlari melewati bara api yang memenuhi rumah. Lebih tepatnya, ia yang berlari sementara aku bagaikan sapu tangan melayang udara. Hebat, Gill tidak tampak bermasalah selama melewati asap dan api saat dalam tekanan.

Aku mencium bau aneh. Sensasi terbakar mulai merambat tubuh. Seakan neraka tengah memeluk. Kini, kami berada di sana, terjebak.

Krak!

Sebuah kayu nyaris jatuh menimpa. Gill lekas menarikku lagi.

"Ayo!" serunya.

Kami berlari dari pintu yang nyaris terbakar. Aku teringat dengan Guardian-ku yang lain dan juga Michelle, mereka bisa jadi terjebak di sana.

Hanya ini yang bisa dilakukan selain berlari, menjerit. Ya, Gill yang menjerit sementara mulutku bungkam saking tidak tahunya harus berbuat apa.

Akhirnya, kuputuskan.

"Michelle! Nemesis!" seruku.

Gill juga melakukan hal yang sama sambil membantuku lolos. Ia mengangkat dan menurunkanku seperti boneka. Naik. Turun. Naik. Turun. Belok.

Krak!

Kami lompati kepingan langit-langit yang roboh serta menghindari benda berjatuhan yang terbakar.

Gill pelompat yang hebat, kalau boleh jujur. Aku saja harus berpegangan erat supaya tidak ketinggalan.

BRAK!

Kami terhalang oleh kobaran api yang seketika jatuh. Apinya dua kali lebih besar dari kami berdua. Aku jelas tidak mampu melompat setinggi itu.

Gill mundur beberapa langkah selagi menggenggam tangan. Api lain malah menghadang, siap membakar punggung. Kami terjebak lagi.

Kutatap kobaran api sambil menelan ludah di dekapan Gill. Tidak menyangka akan berakhir menyedihkan seperti ini.

Kupejamkan mata, berpikir atau berdoa. Keduanya terasa berat sekarang.

Aku akan–

"Seorang Guardian tidak seperti ini!" bisik Gill tiba-tiba. "Tapi, gimana aku bisa selamatkan kita?"

Sayup-sayup, kami dengar suara yang dikenal. Suara yang tidak disangka akan membalasnya.

"Remi! Mister Gillmore!"

Kusahut, "Nemesis!"

Dari balik kobaran api, aku melihat bayangan sosok tinggi berlari ke arah kami.

Nemesis lompati kobaran api lalu menuntun kami keluar, rupanya sudah lama masuk. Dari jendela, aku melihat beberapa orang menunggu di bawah pohon. Kumpulan orang pucat yang bahkan tidak bertindak meski seseorang hampir terbakar.

Sifat itu ... Sepertinya aku kenal.

"Keluarlah!" seru Nemesis. "Keluarga Wynter sudah menunggu."

"Ayo!" ajakku.

Nemesis menggeleng pelan. "Ada seseorang terperangkap. Aku akan menyelamatkannya."

"Bagaimana denganmu?" tanya Gill.

Nemesis membalas. "Itu Putri!"

Michelle!

Ia lompati kobaran api tanpa takut. Mataku terbinar saking kagumnya.

"Gill!" Kutarik pelan tangannya, bernist membawanya keluar. "Eh?!"

Gill menyusul meski beberapa api menyentuh. Ia pasti terpengaruh.

Aku dengan konyolnya ikut masuk. Alasannya tidak lain hanya karena tidak tahu jalan keluar.

"Tunggu!" seruku selagi melihat bayangan mereka di depan.

Nemesis masuk ke dalam ruang bahwa tanah.

Aneh, beberapa botol tertata rapi di sana. Aku heran kenapa Evergreen menyimpan banyak makhluk mungil. Terdengar jeritan dan tangisan pilu memenuhi ruangan, hati kecilku tidak sanggup mendengarnya apalagi dengan jeritan para tahanan yang memohon untuk dibebaskan.

Mereka itu ternyata jiwa-jiwa para pelayan rumah ini yang kusangka telah tewas. Semua menatapku dengan tatapan mengiba.

Walau tidak sebanyak di ruang tamu, tetap membuat suasana kian mencekam. Api perlahan melahap sebagian ruangan selagi aku bingung harus jeda untuk menolong atau meneruskan lari.

Prang! Prang! Prang!

Kulihat Nemesis membebaskan beberapa dengan menjatuhkan setiap botol lalu pergi begitu saja. Gill melakukan hal yang sama. Tanpa berpikir panjang, aku langsung membantu.

Aku bingung dengan makhluk kecil ini. Siapa mereka? Kenapa bentuknya seperti manusia tapi begitu kecil? Apa mereka Peri Gigi?

Tidak lama setelah keluar, mereka langsung menjelma menjadi setinggi rata-rata orang Ezilis sini. Semua berlari tunggang langgang tanpa peduli harus apa selain membebaskan diri.

Aku kembali menyusul para Guardian di belakang.

"Michaela! Michaela!"

Nemesis berulang kali menyebut nama itu, entah mengapa ia salah menyebutnya. Suaranya semakin serak akibat menghirup asap yang semakin pekat. Tapi, tidak memperlambat langkah.

Gill justru semakin lamban, tapi masih mampu menyusul. Kami bergandengan sambil berlari menembus bara api.

Aku menoleh, kumpulan makhluk tadi juga berjuang membebaskan diri. Meski sebagian jatuh dan terbakar akibat diinjak kawanannya. Sebagian botol yang pecah tadi, seperti yang kujelaskan, justru mengeluarkan makhluk sebesar Nemesis dan mereka langsung kabur. Makhluk macam apa yang diburu Evergreen? Kenapa aku baru tahu sekarang?

"Michaela!"

"Sini!" Terdengar suara gadis menyahut panggilannya.

Nemesis mempercepat lari, sesekali menoleh memastikan kami masih menyusul.

Semakin dalam semakin aman. Api perlahan terkikis bergantikan ruang yang nyaman, hampir tidak tersentuh api. Ditambah penerang berupa obor yang masih tersusun rapi.

Ini ... Ruang tadi.

Aku tatap sekeliling, tidak melihat bekas pertarungan lagi.

Yang kulihat hanya jubahnya tergeletak begitu saja, sepertinya Arsene lupa.

Aku pungut lalu memakainya. Hangat, bagai dipeluk, terasa seperti dalam buaian.

"Michaela!" seru Nemesis.

Di depannya, tampak seorang gadis berambut hitam berlari kearahnya.

"Nemesis!" Michelle melambaikan tangan.

"Bagaimana kamu bisa kabur?" Nemesia heran sekaligus lega melihatnya selamat. Aku tahu dari wajahnya yang tampak kaku itu, sedikit melunak.

Michelle tersenyum. "Kamu lupa kalau aku bisa menyelamatkan diri?"

"Kakak!" Aku menghampiri.

"Kalian pilih antara ikut atau tidak," ujar Nemesis. "Ada tugas dari Guardian lain."

Sesuai dugaan, Nemesis akan menjelajah ruang bawah tanah ini.

"Tadi, aku dijenguk Evergreen. Aku merasakan aura Guardian darinya, seolah ia yang kita kenal tidak di sana. Ia tersenyum padaku dan menanyakan kabar," tutur Nemesis selagi kami menyusuri ruangan.

"Apa katanya?" tanyaku.

"Ia mengaku bernama Khidir, salah satu Guardian," jawabnya. "Ia memintaku untuk menyelamatkan Mariam, anggota baru kita. Dia juga korban dari musuhnya."

"Siapa?" tanyaku, tentu merujuk pada musuhnya.

"Sakhor, kalau tidak salah." Ia menghela napas. "Penyihir itu memiliki dendam kesumat pada Khidir. Ia atau Zibaq–Evergreen berhasil menyatukan jiwa mereka. Tubuh keduanya disegel agar tidak bisa bebas."

Aku kembali bertanya. "Lalu, di mana si Miriam?"

"Mariam."

"Mariam. Di mana dia?"

"Akan kutunjukkan."

Tidak kusangka Nemesis bisa mengetahui keberadaanya, barangkali dari Khidir. Kami cukup menuruni lebih banyak anak tangga dan jumlah obor pun berkurang seiring perjalanan. Semakin gelap hingga hanya kalung kami menjadi penerang.

Aku melihat sesuatu.

"Itukah?" Aku menunjuk ke depan.

Ada dinding terbuat dari susunan beton kokoh. Nemesis dan Gill maju tanpa disuruh.

Pria itu mengelus dinding. "Ada seseorang di dalam, masih hidup," lapornya.

"Nemesis, kamu hebat!" puji Michelle.

Krak!

Nemesis dan Gill ciptakan lubang kecil yang bisa dimasuki tanpa suara keras maupun tenaga yang berarti, ibarat mengelus sedikit dan runtuhlah dinding itu. Debu tetap bertebaran dan menyakiti hidung. Aku tutup sebagian wajah dengan jubah Arsene.

Begitu mengerjapkan mata, aku terkesiap melihat botol kecil yang entah mengapa diperlakukan berbeda dari lainnya. Alih-alih disurun rapi berjejer, ini malah sendirian di tempat yang jauh pula.

Ada seorang wanita berambut putih diikat sepunggung. Mata birunya menatap kami dingin seolah tidak mengharapkan kebebasan atau kedatangan kami.

"Siapa kamu?" tanyaku.

"Mariam."