webnovel

Kisah Hara

"Mama, Mika siap dihukum."

Kepulangan Mika yang mendadak membuatku termenung. Ada apa gerangan?

"Apa yang Mika lakukan?" Aku bertanya.

Gagal membunuh musuh bukan masalah selagi mereka selamat. Anak-anak harus tetap hidup dan menjalaninya dengan bahagia tanpa gangguan dari Pemburu Iblis.

"Mika yang salah." Gadis itu menunduk, tampak menahan tangis. "Mika membiarkan Rama masuk ke tas dan menengok dunia luar."

Ah, Rama. Anak itu cerdas tapi cukup bandel. Sudah berapa kali dia mencoba kabur dari sini hanya sekadar menjawab rasa penasarannya.

Tiada hari tanpa laporan Rama mencoba kabur dan tidak kusangka Mika, sebagai kakaknya, bersedia membawa adiknya ke dunia luar yang penuh bahaya.

Tidak seperti kakaknya yang lain, Mika justru membiarkan adiknya dalam bahaya. Tentu saja jadi masalah. Bagaimana kalau nanti anak lain mau ikut? Bakal banyak kendala, terutama anak iblis sangat khas baunya, seperti bau yang biasa dikeluarkan hewan ternak, jelas mudah diketahui.

Iblis tidak bisa mengembangkan kekuatannya sebelum mencapai usia paling muda tujuh belas tahun. Rama tidak menunjukkan tanda-tanda kekuatan iblis di usianya yang sepuluh tahun ini. Kalau sudah, aku pasti mengizinkan.

Ke mana anak itu sekarang?

"Di mana Rama sekarang?" tanyaku pada putriku, dia menunduk tampak gemetar. "Tatap lawan bicaramu!"

Mika lantas menatapku. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar.

"Mama, Rama tewas."

***

Dahulu, aku tidak menginginkan apa pun melainkan seorang teman.

Seseorang yang bersedia menemaniku kala suka dan duka.

Tidak memandangku sebatas fisik atau bakat.

Tidak pula mencela kekurangan atau membenci kelebihanku.

Yang mau menerimaku apa adanya.

Dan kini, aku harus memberikan cinta terbaik untuk anak-anakku.

Meski mereka tahu, umur mereka terancam setelah masa remaja, sebagian anak sesekali mengirimiku surat.

Mama, aku sudah makan hari ini.

Mama, aku aman sekarang.

Mama, sekarang aku berbaur dengan manusia.

Mama, aku berhasil membunuh musuh.

Mereka memberi surat, senantiasa bertukar kisah. Meski sebagian tidak pernah memberi kabar lagi, aku mengerti dan hanya bisa berharap yang terbaik.

Aku ditakdirkan untuk menjaga mereka.

Akulah penjaga mereka.

Karena aku ibu mereka.

Meski ...

Mereka harus berhadapan dengan marabahaya.

Aku hanya bisa mendoakan dari sini, di lubuk hati, agar mereka senantiasa dilindungi.

Anak-anak harus selamat.

Mereka harus tetap hidup.

Namun, kini ...

Aku kehilangan.

Hatiku perih.

Membayangkan apa yang telah merenggut nyawanya.

Pemburu Iblis.

Mereka tidak paham.

Mereka tidak tahu jika iblis pun bisa merasakan.

Tapi, apa tahu mereka?

Pemburu Iblis tidak lain hanya kumpulan makhluk yang tidak punya pekerjaan lain.

Anak kecil saja dibantai. Di mana letak hati nurani?

Rama tidak seharusnya mati.

Dia harus tetap hidup.

Aku hapus air mata dari pipi. Kututupi wajah dengan telapak tangan. Meratapi kematian anakku.

Di usia semuda itu, dia harus mendapat nasib sial dan aku tidak punya kuasa mencegahnya.

Dia pergi bersama Louis, itu pun didasari oleh rayuannya pula.

Meski Louis sudah dikembalikan, aku tetap tidak rela jika kehilangan satu saja anak yang masih di bawah umur.

Mereka layak hidup.

Aku harus berbuat suatu.

***

Aku dikejutkan dengan ketukan pintu dari luar.

"Mama?"

Ah, ternyata Louis.

Dia selamat dan berhasil dikembalikan Raka ke sini.

Louis tidak dihukum, tapi beda cerita untuk Mika dan Raka nanti.

Mereka telah membahayakan nyawa adik mereka. Dan itu tidak boleh terulang.

Tapi, untuk malam ini mereka harus menginap di sini sebelum menerima ceramah dariku.

"Ya, Louis?" balasku.

"Paman datang."

Anak-anak memanggilnya "Paman." Ia juga yang menamai sebagian anak di panti. Sesekali berkunjung entah untuk sekadar mampir atau berbagi hidangan.

Bisa dibilang, ia pengurus tambahan panti ini dan teman masa kecilku.

Kami bertemu puluhan tahun silam di sebuah kota tempat kami lahir dulu, Jervort. Ia bocah manis yang menyapaku di suatu siang saat mendung.

Bocah itu tidak sengaja menjatuhkan donutnya hingga kotor.

Aku yang kasihan membagikan donutku kepadanya.

Bocah itu satu-satunya yang tidak mencela ketika tahu ibuku penyihir. Meski memang pekerjaan Ibu dipandang buruk di Jervort yang merupakan tempat para penyihir nakal berkuasa.

Kami duduk bersama dan mengobrol. Bocah itu menikmati donutnya, tampak lucu ketika dia tersenyum.

Saat itulah, tumbuh rasa sayang di hatiku. Menyadari kehangatan darinya.

Bocah itu teman pertamaku dan sampai sekarang dia masih di sisiku.

Namanya Alexei.

Itulah namanya dulu. Yang ia kubur sejak malam itu.

Dan hanya aku yang diizinkan untuk memanggilnya begitu.

Karena aku menjaga rahasianya.

Karena dia menjaga rahasiaku.

Karena kami adalah teman.

"Ah, suruh masuk!" Aku menyuruh Louis. Tidak boleh membiarkannya menunggu terlalu lama.

Louis pun menjauh, terdengar dari langkahnya.

Aku tinggal menunggu di dalam.

Sudah lama aku menunggu kedatangan Alexei. Barangkali bulan ini ia begitu sibuk dengan kedai minumnya.

Langkah kaki menggema, aku kenal suara itu.

"Hara." Ia memanggil.

"Masuk."

Dari balik pintu, muncul seorang pria tampan yang jangkung, rambut serta mata cokelat dan berkulit putih seperti ciri kebanyakan orang Jervort. Seorang bocah manis yang sama.

"Kudengar berita duka dari salah satu anakmu," kata Alexei, dengan nada datar. "Aku turut berduka."

Tidak mampu membendung air mata, aku berlari dan menangis di pelukannya. Tiada kata yang biasa kuucapkan melainkan Rama kecilku.

Sudah lama Alexei tidak ke sini. Padahal, dulu dia pernah dipaksa Rama untuk menggendongnya. Padahal Alexei takut jika dia bakal mematahkan tulang gadis kecilku. Tapi, untungnya tidak terjadi apa-apa meski kulihat wajah sahabatku yang gelisah, ia benar-benar takut menyakiti anak-anak tanpa disengaja.

Tapi, pelukannya sungguh terasa lembut, bahkan ketika ia membelai rambutku. Tak heran anak-anak suka menghampiri Alexei.

Hening lama. Aku masih melingkari punggung Alexei dengan kedua tangan.

Tangis mulai reda, tapi hatiku masih terasa perih.

Aku pun melepas pelukan. "Terima kasih."

Alexei mengiakan.

Aku lalu berpaling dan duduk di kursi yang di depannya tergeletak tumpukan surat dari anak-anak.

Alexei tidak duduk melainkan jika disuruh. Dia terus berdiri di posisinya tadi ketika aku berpindah tempat.

"Alexei, duduk saja di kasur," pintaku.

Lantas ia duduk di kasur sesuai perintah. Lalu diam, seakan tidak mau menganggu.

Aku lalu memulai obrolan. "Kamu tahu siapa pembunuh Rama?"

"Ya," jawab Alexei. "Kudengar dari Mika kalau pelakunya adalah keluarga Pemburu Iblis sekitar sini."

Aku membenarkan. "Aku ingin membalas, tapi di sisi lain ingin melindungi anak-anak."

"Engkau mau kulindungi?" tawarnya dengan nada datar. Aku tahu ia anak yang baik, tapi sifatnya saja terkesan seperti pelayan yang menunggu perintah.

"Tidak perlu." Aku berdiri dan tersenyum padanya. "Dengan kehadiranmu saja sudah cukup membuatku bahagia."

Ia diam saja.

"Alexei." Aku sebut nama aslinya.

Ia menatapku.

"Apa rencanamu malam ini?" Biasanya, kunjungannya hanya untuk bersapa. Barangkali, kami bisa bermain bersama anak-anak saat ini untuk sejenak melepas penat dan duka.

Tidak kusangka, Alexei mengabarkan suatu berita yang selama ini nyaris kulupakan. Perihal masa lalunya.

"Aku lihat di hutan sana ada seorang anak dan temannya diburu Pemburu Iblis. Minta tolong, bantu aku bawa keduanya ke sini dengan selamat."