webnovel

Keluarga Wynter, Lagi – 2

Seperti perjalanan sebelumnya, kami menggunakan tranportasi yang tersedia. Salah satunya kereta kuda punya Arsya.

Kedua putri Wynter duduk menghadap kami, dengan tatapan dingin tentunya. Sesekali kulihat mereka berbisik dan seolah sengaja memperlihatkannya. Untuk apa?

Aku melirik ke sebelah kiri. Mereka terlelap dengan tenang meski tampak sediki terganggu dengan dengkuran Safir. Tapi, tentu saja Darren tidak keberatan atau justru sudah lelap sehingga tidak mendengar sama sekali.

"Jadi." Arsya memulai obrolan, kali ini rambut hitamnya diikat ke bawah dan lebih panjang dari terakhir kali aku menjumpainya. "Sejak kapan kalian saling mengenal?"

"Siapa?" sahutku.

"Kamu dan yang tidur itu." Arsya dengan enteng menunjuk Darren dengan kipas merah tuanya.

Enak sekali dia bicara.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku," kata Arsya lagi sambil mengipasi diri. Suaranya terdengar anggun lagi sopan meski ucapan berbanding terbalik.

"Beberapa hari," jawabku singkat. Maksudku, Darren hanya kukenal dalam beberapa saat sementara Safir sudah bertahun-tahun tapi jarang bertemu. Rasanya hampir sama.

Arsya kemudian melirik Ariya. Keduanya seperti berdiskusi melalui bisikan.

"Aku bisa menangkap jin itu sementara mereka yang tidur ini akan menangkap lalu membakarnya kalau bisa," ujar Arsya.

"Dari mana kalian tahu soal Zibaq dan permasalahan ini? Aku tidak melihat kalian ke sini," tanyaku.

"Kami hanya berkunjung ke sini," jawab Arsya.

"Menumpang lewat lebih tepatnya," timpal Ariya.

"Kalian bertamasya?" tebakku.

Arsya membalas dengan nada pelan seakan ini rahasia. "Kami hendak menjenguk Elya, adik kami yang sedang berguru di Danbia sana."

"Aku belum pernah mendengar nama itu," sahutku.

"Tentu saja, dia sudah lama dititipkan di sana," balas Arsya. "Oh ya, dia setahun lebih tua darimu, Reem."

Aku hendak bilang kalau aku tidak mau lagi dipanggil begitu. Tapi, sudahlah, kalau telanjur mau bagaimana lagi.

"Berarti dia anak ke ..." Aku menghitung daftar anak-anak Wynter. "Kelima?"

"Ya," jawab Arsya dan Ariya berbarengan.

"Bisa dibilang dia sebentar lagi resmi menjadi asisten dari gurunya itu." Arsya menambahkan.

"Siapa gurunya?" tanyaku.

Arsya menjawab, "Robert Thomson."

***

"Itu kampungnya." Ariya menunjuk ke luar jendela.

Tibalah kami di sebuah erumahan yang terlalu megah untuk disebut kampung. Rumah-rumahnya terbuat dari batu bata serta ditata rapi tanpa pelindung, menunjukkan betapa amannya tempat ini atau bisa jadi ada pengaman yang lebih efektif dari dalam rumah.

Darren turun terlebih dahulu kemudian disusul aku dan Safir. Sementara kedua putri bangsawan memerhatikan sekitar dahulu baru menyusul.

Kudanya diikat pada sebuah pohon dan diberikan segerobak makanan bagi mereka. Keduanya masih saja memastikan tangan tetap bersih selagi memberi makan hewan itu dengan menggunakan sihir sederhana.

"Kalian diam saja di sini," pesan Ariya kepada dua ekor kuda yang membawa kami. "Kalau berani kabur, kalian bakal mati mengenaskan."

Aku tidak suka membayangkan dari mana asal kedua kuda itu.

"Nah, di sini laporan terakhir adanya jin tadi," ujar Arsya sambil berputar dengan anggun di bawah sinar matahari siang menuju sore. "Ayo, kita cari tersangka."

"Eh?" Safir orang pertama yang tampak bingung. "Siapa?"

Bukannya menjawab, Arsya dan Ariya terus berjalan mendahului kami. Terpaksa kami ikuti saja keduanya.

Darren berjalan di sisiku sementara Safir di belakang. Keduanya masih diam saja. Sangat jarang kutemukan saat di mana Safir benar-benar menutup mulut seperti ini. Entah kenapa, sekarang aku merasa yang paling cerewet.

"Nah, ini." Arsya menutup payung kecil merah yang melindungi kepalanya.

Kami berada di sebuah rumah yang terbuat dari batu bata seperti yang lain. Namun, anehnya hanya rumah ini yang tampak terdiri dari satu ruangan saja sehingga lebih layak disebut gudang alih-alih rumah.

"Aku izin di luar saja," ujar Safir. "Aku malas masuk."

Kami pun membiarkannya di luar.

Arsya mengetuk pintu dengan sarung tangan hitamnya dengan jemari yang anggun. Tanpa menunggu lama, pintu terbuka.

Aku terbalak melihat sosok di balik pintu itu. "Ascella?"

"Thalia?" sahutnya tidak kalah bingung.

"Nah, ketemu," kata Arsya sambil menunjuk Ascella dengan seluruh jari. "Dia yang tahu tentang jin Iziz az-Zibaq."

Aku menatap Darren. Dia tidak menunjukkan ketertarikan apa pun ketika melihat Ascella. Barangkali dia juga sedang berpikir.

"Ascella, kamu tahu tentang Zibaq?" Aku memastikan.

Ascella terdengar gemetar saat mengucapkannya. "Aku ... Sedikit tahu."

Jadi ini alasan Ezekiel langsung menerimanya dan Helia untuk bergabung? Lumayan.

"Ascella." Aku kemudian menunjuk Darren dengan seluruh jari. "Ini ..." Aku sengaja menggantungkan kalimat agar dia melanjutkan.

"Dash." Darren langsung menambah.

"Ah, senang bertemu denganmu," ucap Ascella sambil mencoba berjabat tangan dengannya.

Darren pun menjabat tangan Ascella walau mata tidak tertuju padanya.

"Hei, Bocah, sambut kami sebagai tamu!" seru Arsya yang tampaknya kesal karena merasa diabaikan.

Ascella langsung memberi jalan. Kami semua lalu masuk tanpa membiarkan orang luar melihat lebih jelas. Rupanya, dalam rumah itu terdapat sebuah pintu yang mengarah ke rubanah. Bisa jadi ini rumah bertingkat yang tersembunyi.

Darren, tanpa seizin tuan rumah,  mendekat lalu membuka pintu itu. Dia menatap kegelapan di bawah sana dalam diam selama beberapa saat.

Arsya dan Ariya juga diam, seolah ini perintah dari mereka selama ini.

Ascella tidak berkutik, tapi aku yakin dia tidak nyaman karenanya.

"Di sini, ada dia." Darren berdiri dan menunjuk ke arah kami. Tatapannya yang dingin menusuk hingga kami semua terdiam.

Aku tahu maksud Darren. Itu sosok yang Ezekiel cari selama ini. Tapi, bukan Zibaq secara spesifik.

"Benarkah?" Aku bukannya ragu, hanya saja tidak paham bagaimana bisa sosoknya bersembunyi di sini.

Kedua tangan Ascella saling berpegangan seolah berusaha melindungi diri. Dia menatap Darren, matanya tampak memancarkan ketakutan. "Apa maksudmu?"

Darren masih berdiri di tempat. Dia balas dengan ketus pertanyaannya. "Lo kira kami bisa dibodohi?"

Ariya langsung menunjuk Ascella dengan jarinya. "Kau kira bisa lolos dengan nyawa adik kami, he?"

"Kami tidak menyakitinya!" Ascella mundur beberapa langkah. Kedua tangannya melebar seakan mencegah kami mendekat. "Me ... Mereka aman."

"Mana adik kami?" tanya Arsya dengan tatapan tajam. Hentakan kaki menggema ketika sepatunya menyentuh lantai kayu.

"Dengan Kakak!" Tidak kusangka Ascella langsung mau memberitahu. "Dia dalang semua ini–bukan! Itu Zibaq!"

"Zibaq," ulang Darren, setengah berbisik.

"Dia mencuri raga kakakku!" Mata Ascella berkaca dan bibirnya gemetar. "Aku harus patuh. Kalau tidak, Kakak akan mati!"

"Itu tidak akan mengubah fakta kalau kamu telah menculik adik kami," balas Arsya. "Sekarang, beri tahu kami di mana jin sialan itu!"

Ascella terdiam. Tatapannya tidak jelas tertuju ke mana. Barangkali menghindari tatapan tajam dari mereka.

Tatapan kami bertemu.

Meski tahu dia di pihak yang menentangku, aku tahu dia sendiri ketakutan sehingga terpaksa memilih bersekongkol daripada harus kehilangan kakaknya. Tapi, aku lebih yakin kalau Zibaq ingkar dan akan memakai raga Helia yang asli selamanya.

"Ascella, tidak apa-apa," ujarku berusaha menenangkan. "Jika kamu jujur, kami akan melindungimu."

Aku menatap Darren, dia hanya menatapku tanpa reaksi sama sekali. Tidak tampak setuju maupun keberatan.

"Thalia," ujar Ascella. "Aku minta maaf telah melibatkanmu dalam bahaya."

Aku diam saja.

"Tapi, percayalah." Ascella menatapku. "Aku tidak akan mau menyakitimu."

Kening Darren mengerut dengan mendengkus pelan seakan tidak menyukai ucapan itu.

"Percayalah, kamu akan melakukan hal yang sama demi saudaramu." Ascella menatap Darren.

Tentu saja Guardian itu tidak akan menjawab.

"Ascella." Lagi-lagi, aku coba untuk menenangkannya. "Katakan sejujurnya. Kami bisa menjagamu."

"Maaf, Thalia." Ascella menunduk. "Aku terpaksa melakukannya ..."

Seisi rumah bergetar. Aku refleks berpegangan dengan Darren sementara Arsya dan Ariya mencoba menyeimbangkan diri. Aku kembali menatap Ascella selagi kami berjuang agar tidak jatuh.

"... Demi kakakku."

Badannya dipenuhi api merah. Menghias pandangan serta hawa panas membara.

Aku berlutut menghindar. Nyaris saja terbakar hidup-hidup. Api itu keluar dari rumahnya hingga membakar rumah warga sekitar.

Aku menoleh kembali ke dalam, memastikan keadaan sebelum kabur.

Api biru terpancar dari Darren. Kalungku bercahaya begitu terangnya.