webnovel

Kekuatan dari Dewa – 2

"Sudah cukup sampai di sini." Safir bersandar pada dinding waktu kami keluar dari rubanah. "Dia tidak lain hanya penipu."

Aku terdiam. Ucapan Ascella barusan sukses membuat pikiranku kian kalut. Selagi memandangi perhiasan yang menemaniku sejak dilahirkan, kini terlihat asing kembali. Yang aku tahu, kalung ini berguna sebagai penanda keberadaan maupun keadaan sang Guardian. Tetapi, apa hanya itu?

"Hei!" Safir menepuk bahuku. "Kamu masih percaya dengannya?"

"Tidak." Aku lantas menggeleng. "Aku hanya bingung dari mana dia tahu."

"Tentu saja dia tahu," balas Safir. "Siapa lagi kalau bukan karena Zibaq?"

Aku setuju dengan Safir. Jangan mudah percaya, terlebih jika dia berhubungan dengan Zibaq.

Berbeda dengan kebanyakan lawan yang kudengar. Zibaq bisa dibilang paling tidak ditakuti. Ketika orang-orang takut terhadap lawannya, kami justru bertingkah seakan jin itu hanya teman yang menyebalkan.

"Kalau begitu, sebaiknya kita tunggu sampai para Guardian tiba," ujarku yang langsung disetujui Safir.

Kami berdua kemudian mencari cara agar tidak bosan menunggu.

***

Entah apa yang merasuki kami, aku berhasil membujuk Safir agar mau menemaniku ke rumah makan, meski dari kemarin dia belum kutemukan.

"Di perumahan ini belum ada tempat makan," ucap Safir ketika kami berdiri di depan rumah. "Tapi, aku bisa tunjukkan jalannya, sini."

Tanpa menunggu lama, aku berjalan menuju arah yang ditunjuk Safir. Sepanjang jalan pikiranku hanya fokus pada cara menenangkan diri setelah mendengar ucapan Ascella tadi. Persetan dengannya, aku butuh sedikit pencerahan tapi tidak darinya. Tidak butuh waktu panjang kami tiba di pusat perbelanjaan. Jaraknya ternyata hanya dari dua gang setelah rumah Ezekiel, lebih tepatnya di bagian belakang hingga menembus ke jalan baru yang belum pernah kulihat.

Selayaknya di kota, rupa penduduk Arosia yang sedang berbelanja ini masih serupa manusia biasa. Aku bahkan kesulitan membedakan. Kecuali wanita yang mencoba mencuri ikan dengan menjelma jadi kucing. Sepertinya hampir semua shapeshifter kucing seperti itu. Sungguh aneh.

"Nah, ini tempatnya," kata Safir meski dia tidak perlu menjelaskan. "Mau beli apa?"

"Sebenarnya, aku juga sekalian ingin mencari seseorang yang tahu segala kabar, itulah mengapa aku mencari rumah makan," kataku. "Kamu tahu tempat mana yang cocok?"

Safir terdiam sejenak, tampak berpikir sebelum akhirnya menunjuk ke kiri. "Tuh, pergi saja ke warung itu. Banyak orang yang tahu segala berita."

Rumah makan yang ditunjuk tidak begitu besar maupun kecil, tapi tampak sesak karena banyaknya yang sedang makan. Aku pun mendekat sambil membulatkan tekad, tujuanku ke sana semata ingin bertanya meski ini terkesan aneh bagiku pribadi.

Begitu aku masuk, langsung saja disambut pemandangan lautan makhluk entah sedang duduk, berdiri, bahkan ada yang sedang saling memukul. Dari luarnya saja sudah sesak, apalagi di dalam sini.

Safir masih di belakang, dia berhasil menghindari pria yang terjatuh akibat didorong seseorang. Akibatnya, dia menabrak pria lain yang menyebab sebuah rombongan roboh layaknya barang berjatuhan. Langsung saja memicu keributan. Tidak disangka semua kekacauan itu terjadi hanya karena saling senggol. Untung kami lekas menjauh sebelum kejadian buruk menimpa. Safir refleks menarik tanganku, memastikan agar aku tidak terlalu jauh hingga kami berada di jarak yang agak aman, depan barista.

"Pesan apa?" tanyanya. Barista ini seorang wanita gemuk dengan wajah yang tampak polos, seakan mengabaikan keributan para pelanggannya.

"Dua teh saja." Yang mau pergi siapa, yang pesan siapa, Safir tanpa rasa bersalah, langsung duduk dan menyuruhku melakukannya juga.

Ketika wanita itu kembali memberi minum, Safir bayar dia.

Aku langsung bertanya. "Permisi, boleh bertanya?"

Wanita itu menyahut, mengabaikan keributan di belakang kami.

Aku tanyai. "Kamu tahu tentang Sylvester Bill?"

Bahkan Safir terdengar nyaris terkesiap, tapi pertanyaanku lebih merujuk pada seorang Pemburu Sihir di kota ini, bukan sesuatu yang berkaitan dengan Shan secara gamblang.

Wanita itu lalu duduk menghadapku. "Yang pirang dan tinggi itu? Pemburu Sihir?"

Aku mengiakan.

Wanita itu terdiam, kuberi dia waktu untuk berpikir. "Sudah lama dia tinggal di kota ini, lebih tepatnya empat dekade lamanya. Baru saja menetap setahun, dia sudah cukup membuat Adrus lebih aman dari sebelumnya."

"Begitu," tanggapku.

Kenapa kutanya pada orang asinh? Karena aku butuh sudut pandang lain selain dari teman Guardian itu sendiri, Safir tentu akan mendeskripsikan Ezekiel sebagai sosok yang berbeda dari sang wanita dan aku membutuhkan jawaban dari seseorang di luar itu semua.

"Dia sering minum dan bermain di sini. Meski tidak pernah mabuk, dia sering diserang beberapa pelanggan yang mabuk seperti yang lain," kata si wanita. "Sebagai pria tertinggi lagi terkuat di kota, dengan mudah dia berhasil menghindari itu semua. Lama kelamaan, si penyerang pun akan sadar dan dimaklumi."

"Maksudmu dia sering diserang?" tanyaku.

"Namanya juga tempat makan dan minum, surga bagi kaum pemabuk dan mereka bebas mau berbuat apa." Si wanita kemudian jeda karena melayani seseorang, sebelum akhirnya kembali padaku. "Hei, kamu tampaknya tertarik dengan dia. Suka, ya?"

Pipiku terasa panas. "Tidak. Maksudku, aku hanya ingin sekadar tahu."

Wanita itu menyeringai. "Hati-hati, jangan mudah tertarik dengan dia, bahaya."

Aku mengiakan. "Lalu, kamu tahu tentang masa lalunya?"

"Bagian mana?" tanya si wanita.

"Masa kecilnya, atau sebelum dia ke sini," jawabku. "Barangkali dia pernah cerita."

"Aku lahir setelah dia tinggal di sini, jadi semua ini kudengar dari mulut ke mulut saja." Wanita itu kemudian melanjutkan. "Yang kutahu, sebelum dia tiba di sini, Syl mengaku sebagai penjelajah."

"Penjelajah? Bukan pengelana?" Aku ingat betul waktu kali pertama Mariam mampir ke Desa Anba. Tidak akan aneh jika sesama Guardian akan memiliki kisah masa lalu yang serupa.

"Penjelajah," ulangnya. "Dia mengaku telah masuk dan tinggal di beberapa daerah bahkan berlayar melintasi samudra."

Aku diam, tanda mendengarkan.

"Hanya itu saja yang kutahu," katanya. "Soal masa lalu, ada serangkaian teori dari para tukang minum di sini. Ketika Syl tidak hadir, maka jadilah ia bahan obrolan mereka."

"Apa kata mereka?" bisikku, biar tidak ada yang mendengar lalu tersinggung dengan pembahasan ini.

"Dia dilahirkan ketika badai salju melanda negerinya, sedikit menjelaskan kekuatan es miliknya." Wanita itu minta izin jeda karena ada pelanggan. Setelah melayani, dia kembali kepadaku. "Hanya itu."

"Apa dia pernah melakukan sesuatu? Maksudku prestasi selama berada di sini?" tanyaku lagi.

Wanita itu berpikir sejenak. "Banyak. Sebenarnya menaklukan monster saja sudah lebih dari cukup bagi kami, terlebih dia tidak berharap banyak selain makanan dan minuman gratis. Sebagian memberinya uang, sebagian pula hanya memberi pujian. Bagaimanapun juga, dia tetap melindungi kota ini."

"Berarti dia adalah penjaga di sini?" tebakku.

"Bisa jadi," balas dia. "Syl pernah mengaku sebagai seorang Penjaga–Guardian, tapi aku tidak tahu penjaga apa. Barangkali untuk kota ini."

Aku mengiakan. Di sisi lain tidak menduga jika Ezekiel serta merta mengakui identitasnya. Maksudku, para Guardian sejauh ini tidak begitu terbuka membahas pekerjaan utama, menjaga dan merawat kami. Mereka lebih sering membahas pekerjaan sampingan, salah satunya melindungi suatu tempat seperti ini.

"Kamu pernah melihatnya bertempur?" tanyaku lagi.

"Wah, kamu sepertinya ingin lebih dari sekadar mau tahu." Dia tersenyum, tampak jahil. "Tentu saja kami semua pernah. Dia sering pamer di sini. Dengan bakat merangkai es, dia bisa menciptakan bentuk sesuai kehendak kami. Tapi, tentu es itu akan meleleh dengan cepat."

Berarti, Ezekiel tidak semisterius yang aku bayangkan. Tapi, di sisi lain sangat sulit menebak sifatnya sekarang.

"Baik, terima kasih," ucapku sambil berdiri mencari Safir.

Tepat ketika aku berpaling, ada yang menghadangku.

"Putri."