webnovel

Kekuatan dari Dewa – 15

Aku telah kehilangan jejak. Mereka telah terkubur di antara reruntuhan. Sementara aku dibawa entah ke mana.

Bayangan yang menyelubungiku tidak juga bersuara, hanya desiran angin menyertai, tanda suhu saat ini masih saja sama, dingin.

Sepanjang perjalanan, yang kulihat hanya kota yang beku. Perlahan terselimuti salju hingga yang tampak dari atas sana hanya sebatas hamparan pasir putih, tiada tanda kehidupan maupun jejak bahwa tempat ini pernah dihuni sebelumnya.

Sungguh mengerikan kekuatan Ezekiel. Tidak kusangka seorang Guardian dapat berbuat seperti ini hanya demi mencegah inang lain dari Zibaq. Namun, tentu masih banyak warga termasuk Guardian lain yang mendampingi Ezekiel belum membeku, sehingga kemungkinan mereka menjadi inang cukup tinggi. Tapi, kuanggap tindakan ini dia lakukan demi mengecilkan risiko.

Malam ketika Nemesis di bawah kendali Zibaq masih tergiang. Bahkan seorang Guardian dapat dipengaruhi jin itu. Bagaimana dengan orang biasa?

Khidir sudah jelas terbiasa dengan jin, menurutku cukup kecil jika dia akan menjadi inang berikutnya lantaran ada Zahra di sisinya yang juga merupakan seekor jin.

Sementara Ezekiel dan Darren belum jelas pengalamannya dari sudut pandangku saat ini. Tapi, aku tahu betul jika mereka mengetahui sesuatu. Menginggat apa yang Darren ucapkan beberapa waktu lalu masih tergiang.

"Akan mengakhiri semua ini." Aku tidak percaya.

Aku sendiri ragu apa dia bisa melakukannya sendiri. Barangkali yang dia maksud bersama yang lain, bila pun ada. Kini, aku tengah dibawa pergi.

Setelah pertemuan, akhirnya dipisahkan juga.

Sudah lama.

Sangat lama.

Menanti mereka yang telah terpisah.

Kini kembali dipisahkan.

"Jangan diam saja, Kyara." Teguran dari bayangan itu tidak lantas membuatku luluh begitu saja.

Aku kenal suara itu. Dia satu-satunya yang memanggilku "Kyara" sementara keluarganya masih menyebut nama samaran pertamaku.

Dia sekarang lebih sering muncul, barangkali karena tahu bahwa teman baiknya, Gill, ada di sini dan dia berniat membantu, meski sepertinya terlambat.

Dia kembali bicara. "Sekarang, kamu cari seseorang. Kami sudah berjanji."

"Aku tidak terima jika kawanku sendiri tertinggal," balasku. "Kenapa mereka dibiarkan? Kenapa aku saja yang dibawa?"

Tidak ada balasan. Sudah kuduga.

Beraninya mereka ingin memanfaatkanku di saat seperti ini. Tidak banyak bantuan, meninggalkan malah, dan aku justru diculik sekarang.

Tatapanku kembali ke reruntuhan rumah yang baru kukenal. Saksi bisu keluarga Ascella yang bahkan masih samar yang kini terselimuti es. Seakan menutup mulut seluruh keturunannya agar bungkam.

Darren juga tidak mau diam, dia bahkan membakarnya. Seakan tidak ingin rumah itu sekadar disegel.

Lantas, kenapa harus begitu? Apa tidak ada cara lain?

Bagaimana dengan nasib Ascella yang masih membeku?

Belum sempat berpikir lebih jauh, bayangan itu membawaku kembali ke dalam sebuah kamar berdominasi warna gelap layaknya malam. Aku tahu betul warna ini. Nuansa rumah mewah pertama yang kudiami. Tidak berbeda seiring bergantinya waktu. Ingatanku kembali berputar pada hari pertama Mariam membawaku ke rumah Keluarga Wynter, kini aku kembali.

"Tunggu di sini," ujar bayangan yang kini menjelma menjadi satu-satunya putra Wynter, Akram. "Akan kupanggil dia."

Tidak aku pusingkan 'dia' yang dimaksud. Sudah pasti itu bagian dari keluarganya juga.

Kepergian Akram menyisakan ruang kosong, menciptakan suasana mencekam di saat yang sama. Seakan aku dikurung dalam penjara.

Dalam keheningan ini pula, aku kembali berpikir.

Bagaimana nasibku ke depannya? Tidak.

Bagaimana nasib kami ke depannya?Mereka yang telah berjuang melindungi, tidak jelas kini kabarnya.

Dan ...

Mariam, di mana kamu?

Sudah sangat lama aku tidak melihatnya, sekarang aku merasa sesak setiap kali mengingat Mariam yang tidak jelas kabarnya. Aku tidak ingin berpisah. Setelah banyak hal yang kami dilalui, aku tidak bisa membiarkan semua pergi begitu saja. Tapi, apa yang harus kulakukan?

"Akhirnya datang juga."

Aku tersentak mendengar suara itu. Tidak lain dan tidak bukan berasal dari suara sosok pertama yang menjadi lawanku sekaligus penguasa Kota Saghra yang kini aman dari sentuhannya.

Ariya Wynter.

"Apa maumu?" balasku. Aku tidak pernah berharap dia mau membantuku secara pribadi kecuali tanpa Guardian.

"Membantu." Ariya kini terdengar lebih kalem, barangkali sudah belajar banyak hal tentang kami atau ini hanya sekadar formalitas. "Para Guardian sudah banyak membantu, dan kini mereka sudah dipastikan akan memberikan apa yang kami inginkan. Sebagai hadiah, akan kami bantu."

"Apa yang mereka bantu?" tanyaku heran.

"Para Guardian telah membebaskan mereka." Ariya berdiri di depan dan menatap lurus ke arahku. "Kami juga berutang budi dengan membebaskan seorang Guardian pula."

"Siapa yang kalian maksud?" tanyaku lagi.

Ariya mengangkat satu alisnya. "Mana kutahu, situ majikannya."

Balasan itu membuatku sedikit heran, tapi aku tidak bisa membalas di situasi seperti ini.

"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanyaku lagi dan lagi.

"Mudah saja." Ariya berputar pelan seakan hendak memamerkan tarian ala kadarnya. "Kamu ikuti aku. Karena aku tahu tempatnya setelah sekian lama mencari. Sudah diajak bicara tapi dia diam saja layaknya mayat. Jadi, sudah dipastikan dia hanya mau menyahut kalau ada kau."

Seorang Guardian menolak bicara kecuali denganku? Terkesan berlebihan tapi aku rasa dia terikat sebuah sumpah. Tapi, jika dia berhasil diajak bicara, sudah bisa dipastikan dia akan membantu Guardian lain untuk bebas dari Zibaq kali ini. Bisa jadi juga dia tidak kalah saktinya. Ya, dia mungkin akan menjadi solusi.

"Baik," ujarku. "Aku bersedia."

"Bagus." Ariya kemudian menjauh. "Cepatlah, sebelum Kesatria Berkuda kesayanganmu itu berdebu."

***

Tidak perlu berlama-lama lagi, aku bergegas mengikuti Ariya tanpa memikirkan rencana lain. Tidak tahu gambaran luas maupun sedikit saja tentang gambaran berikutnya. Pikiranku tertuju pada satu perintah dalam diri untuk segera menyelamatkan Guardian lain.

Bagaimanapun mereka harus selamat.

Aku ikuti arah jalan Ariya. Rumah Wynter malah sunyi kali ini. Barangkali yang lain sedang bertempur di luar atau justru ... Melakukan kegiatan lain yang tidak ada kaitannya dengan hari ini.

"Akram!" Ariya menyeru nama adiknya.

Lagi-lagi, bayangan hitam perlahan menyelubungi ruangan. Terlihat sosok Akram berdiri di tengahnya sambil menatap sang kakak.

"Ya?" balasnya.

"Bawa kami ke tempat makhluk itu!" titah Ariya. "Sudah kubawa majikannya, dia pasti mau bicara."

Hanya dengan sekali ucapan itu sudah cukup membuat Akram langsung mengenggam tangan kami berdua dan membiarkan tubuh menyatu dalam kabut hitam.

Memang benar, Keluarga Wynter adalah keluarga penyihir di mana semua anak memiliki sihir yang tidak biasa dan cenderung berbahaya. Membuatku kadang mmepertimbangkan apakah mereka sebaik-baiknya aliansi atau sekadar kenalan demi mencegah risiko ke depannya. Tapi, sejauh ini mereka tetap membantu.

Rupanya, kami hanya dibawa ke rubanah di mana letak harta keluarga berada. Tentu saja aku ingat betul suasana tempat ini meski telah berada di rumah yang berbeda.

Srek ... Srek ... Srek ...

Sudah lama aku tidak mendengar suara perak maupun emas yang bergesekan. Tanda sang penjaga telah mendekat.

Calvacanti. Sosok lamia penjaga harta keluarga Wynter. Sudah cukup lama tidak berjumpa kembali.

"Tuan dan Nona," sapanya. "Sudah lama tidak berjumpa."

"Baru saja kemarin bertemu," balas Ariya sedikit ketus. "Di mana tempat makhluk itu berada?"

"Dia masih di dekat sini," ujar Calvacanti. Tatapannya tertuju padaku sambil tersenyum. "Ini Kyara?"

"Ya," jawab Akram.

Calvacanti menatapku lagi. "Sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?"

Akram tentu tidak ingin membuang waktu. "Di mana makhluk itu bersemayam?"

"Dia masih di dalam wadah itu." Calvacanti menunjuk sebuah guci berwarna emas yang tergeletak tidak jauh dari sini. "Dia bahkan menolak bicara denganku meski sebagai sesama penjaga."

"Penjaga?" beoku.

"Kami pada dasarnya hamba yang tercipta dari sihir juga," ujar Calvacanti.

Aku mengamati kotak perhiasan itu. Warnanya memang cerah dilengkapi motif berupa awan atau barangkali kabut melingkarinya. Membuat kotak itu tampak cantik.

"Hei, bicaralah!" seru Ariya.

Hening.

"Kami telah membawa majikanmu!" seru Akram.

Lagi-lagi tidak ada suara.

Ariya kembali bicara. "Dengar, kami bawa dia dan kami tahu ini yang kaucari!"

Hening.

"Dari kemarin sudah begitu," ujar Calvacanti. "Dia memang serius tidak ingin bicara dengan kita."

Ariya mendengkus. "Ya, sudah. Bicara kalian!" Dia menepuk bahuku, menyuruh aku bicara dengan kotak perhiasan itu.

"Barangkali dia jenis penjaga yang hanya diperintahkan untuk bicara pada majikannya." Calvacanti berkata. "Kamukah itu, Kyara?"

Aku tidak yakin. Kucoba mengamati kotak perhiasan itu serta menatap kalung yang kusematkan di baju.

Bercahaya.

Belum pernah aku tahu nasib para Guardian pasca keruntuhan Shan, terlebih jika sampai disegel dalam sebuah kotak. Jadi, ini yang selama ini Ezekiel cari? Dia harusnya bilang bahwa ini misi penyelamatan Guardian lain. Kini, aku berdiri cukup dekat dengan sosok yang ditunggu.

Aku menelan ludah. Mencoba mendekat sambil meraba pelan kotak perhiasan itu dengan gemetar.

"Kamu mendengarku?" bisikku.

Tidak lama, terdengar balasan dari dalam sana.

"Ya, Tuan Putri."