webnovel

Kekuatan dari Dewa – 10

"Ezekiel!" Jeritanku menggema.

Tidak ada balasan selain suara gema dariku.

Rumah ini hanya terdiri dari lapisan es yang begitu tebal hingga nyaris tidak terlihat bagian dalamnya. Padahal aku dengar dari Ascella kalau ini hanya rumah seseorang yang telah dibekukan.

"Ezekiel!" seruku lagi.

Lagi-lagi, gema yang menjawab.

Safir yang terlebih dahulu masuk kini tampak mulai bosan mendengar panggilanku yang tidak kunjung membuahkan hasil.

"Kalau begini terus tidak ada kemajuan," ujarnya. "Aku akan mencari target kita!"

"Tunggu, Safir!" Belum selesai ucapanku, dia pergi dan menghilang di balik bayangan. Sama persis seperti gelarnya, Safir sang Bayangan.

Aku menahan napas. Memang benar kata Safir, tidak berguna menyeru nama kalau orangnya saja tidak akan merespons. Namun, aku tidak akan menyerah.

"Ezekiel!" jeritku sekuat tenaga.

Suaraku menggema, menyeru nama yang sama.

"Putri," tegur Darren. "Biarkan."

"Kenapa?" tanyaku spontan.

"Dia tahu apa yang harus dilakukan," ujarnya. "Kita di sini hanya memastikan semua berjalan dengan lancar."

"Ada apa memangnya?" tanyaku.

Darren tidak menjawab. Dia menatap sekeliling yang hanya terdiri dari warna biru dan putih, memantulkan bayangan seperti cermin, layaknya kaca yang menyatu.

"Benar-benar tidak terduga," ujar Darren. "Gue kira dia cuma membekukan satu-dua orang di sini."

"Makanya," sahutku. "Itulah mengapa aku ingin masuk dan menegurnya."

"Putri, ada saatnya menegur," tegur Darren. "Sekarang dia enggak bakal dengar."

"Tapi, bukannya selama ini kalian bertindak sesuai kehendak sendiri?" sahutku. "Itu tidak selamanya baik, 'kan?"

"Kami lebih tahu."

Sebaris kalimat yang keluar dari mulutnya spontan membuatku bungkam. Memang itu kalimat yang klise digunakan oleh orang yang lebih tua, terutama para Guardian selama ini. Aku ingin membantah tapi tidak punya argumen selain ingin tetap mencari Ezekiel, bukan untuk menegur, melainkan hanya sekadar memastikan dia aman di sana.

Tampak tidak mau menungguku merenung, Darren melangkah kembali mendekati pintu utama yang masih terbuka lebar akibat membeku dan setiap bagian dari pintu itu telah menyatu dengan dinding sekitar.

Darren mendekat ke arah Ascella yang dibekukan. Dia menatap lelaki itu kemudian berjalan ke arah lain seakan hanya memandangi sebuah patung. Menginggatkanku waktu kali pertama ke Kota Saghra bersama Mariam.

"Darren!" panggilku. "Tolong bebaskan dia!"

Jika memberi perintah langsung saja belum tentu dikabulkan, semoga saja dengan meminta tolong agar terkesan sopan cukup menggetarkan hatinya.

Darren berhenti untuk menatapku. Dia tampak mendengarkan namun tidak merespons permintaanku.

"Dengan api biru, sepertinya es akan meleleh dan dia bisa bebas," lanjutku sambil menyentuh es yang menyegel Ascella.

"Gue enggak bisa menjamin," balas Darren. "Tapi, apinya memang bisa melelehkan. Cuma, kita enggak punya banyak waktu."

Aku mulai protes. "Kita bisa tinggalkan apinya di sini–tunggu, Ascella malah terbakar."

Darren langsung membalas. "Nah, situ tahu."

Duhai!

"Lalu, bagaimana?" Aku mulai kehabisan ide.

Darren menunjuk ke sebuah ruangan gelap di lorong. "Kita ke sana dulu."

"Untuk apa?"

Baru bertanya, Darren sudah berjalan. Aku tidak punya pilihan selain meninggalkan Ascella yang membeku di sana. Semoga es yang mengekang ini lekas meleleh, bagi Ascella maupun rakyat Adrus yang turut membeku.

Selagi membiarkan Darren menuntun, aku mengamati rumah besar ini. Sangat luas seperti rumah keluarga Wynter dulu. Bedanya kini hanya berlapis es yang begitu dingin hingga aku terpaksa tidak bisa jauh dari Darren yang memancarkan aura hangat. Sedikit masuk akal kenapa dia tidak sepenuhnya terpengaruh dengan perubahan cuaca yang ekstrim ini.

Aku kembali mengamati rumah ini. Jika tidak dilapisi es, aku membayangkan warna yang mendominasi rumah ini adalah merah tua. Meski Ascella dan kakaknya memiliki rambut jingga, sepertinya tidak cocok membandingkan karena warnanya akan tampak lebih terang jika dilapisi es. Sementara dinding beku ini terlihat cukup gelap bahkan saat cahaya memenuhi ruangan.

Semakin dalam kami menyusuri rumah, semakin banyak benda-benda menarik perhatianku, salah satunya lukisan yang dipajang di dinding.

Lukisan berupa wajah yang kuduga sebagai anggota keluarga Ascella kini berlapis es hingga wajah mereka tampak begitu samar. Terlihat di antara lukisan itu wajah anak lelaki yang digendong, rambutnya juga jingga persis seperti anggota keluarga lainnya.

"Ini Ascella?" Aku tidak tahu harus bicara pada siapa waktu itu. Tapi, melihat Darren juga ikut berhenti dan menatap lukisan itu untukku, sudah cukup membuat aku merasa dihargai meski dia tidak menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Ya," jawabnya.

"Yakin?" balasku.

"Hanya dia anak lelaki di generasi ini selain ayahnya." Darren menatapku. "Kami tahu bahwa anak ini akan menjadi target utama Zibaq setelahnya. Kami awasi mereka dari jauh hingga akhirnya semua terlambat."

"Tunggu, kalian tahu selama ini?" Aku terkejut mengetahui fakta itu. "Kenapa ... tidak cerita?"

Darren melanjutkan langkah disusul olehku. Ini mengecewakan sekaligus membuatku kian kesal melihat tingkah para Guardian selama empat tahun belakangan.

"Kenapa tidak dicegah?" lanjutku. "Kenapa kalian membiarkan semua ini terjadi? Katanya Pemburu Sihir, tapi tidak pernah kulihat kalian melawan Zibaq, malah membiarkannya lolos."

Diam saja.

Kalimat yang kutahan sejak lama. Yang mereka semua sembunyikan, entah mengapa. Atau aku yang waktu itu begitu termakan emosi. Benar saja, aku memang sedang dilanda perasaan bimbang dan ketakutan. Bahkan suatu pemikiran buruk mulai merasuki pikiranku. "Apa yang selama ini kalian lakukan?"

KRAK!

Bertepatan dengan itu, sebongkah es tajam membelah jarak antara aku dan Darren. Untungnya aku sempat mundur hingga es itu hanya menutupiku layaknya dinding.

"Putri!" Kudengar seruannya. Baru kali ini kudengar suaranya begitu gemetar.

"Darren!"Aku balas dengan menyeru namanya. "Aku tidak apa-apa!"

Niatku mengucapkan itu agar dia tidak bertindak yang bisa saja membahayakan kami berdua. Maksudku, aku tidak ingin jika Darren akan membakar seisi rumah jika dia merasa semua ini telah menghabisi kesabarannya. Namun, tidak ada tanggapan.

"Darren?" Aku memastikan.

Bertepatan dengan itu, lantai dan dinding es perlahan retak dan semakin memanjang membentuk duri. Seakan ingin menjebak dan meremukkan tulangku. Belum sempat berkomentar, aku bergegas mencari jalan keluar meski jelas sudah terjebak di sini.

Duri-duri es itu semakin memanjang dan tajam, bahkan dapat menembus sesama dinding es tepat di depanku. Menelan ludah, aku berusaha menenangkan diri selagi duri-duri itu bergerak menusuk apa pun di depan mereka.

"Cepat, berpikir!" Aku membatin.

Aku menatap sekeliling, hanya bagian atas yang tingginya dua meter dari kepalaku saat ini. Tidak mudah bagiku memanjat ke sana apalagi ketika dindingnya dilapisi es.

Mengangkat kaki, kucoba naik meski hati berkata itu semua percuma. Benar saja, aku terpeleset meski tidak sempat memanjat barang selangkah. Hanya meletakkan kaki kemudian jatuh akibat licin.

Duri demi duri kian memanjang membentuk penjara kecil, menusuk sana ke mari hingga semakin dekat. Aku berpaling, berjuang naik meski jelas percuma dengan sepatu biasa dengan dinding licin.

Krak!

"Argh!" Aku tersentak ketika sebuah duri kecil menusuk tanganku. Begitu kutarik, darah deras mengalir dari tangan, menciptakan lubang kecil, untungnya tidak tembus. Menggerang pelan, aku menekan luka meski tidak ada kain untuk menutupi. Es ini sudah di luar kendali!

"Putri!" Seruan Darren terdengar.

"Di sini!" balasku sambil meringis menahan sakit.

Kobaran api biru tampak jelas di atas, semakin besar hingga dinding berduri kian meleleh meski tidak menutup kemungkinan bakal muncul lebih banyak di luar area ini. Entah mengapa, kejadian ini menginggatkanku ketika bertarung dengan boneka Zibaq yang mengendalikan tumbuhan berduri, dia menggunakan kekuatan Khidir dan menjadikan bonekanya bertarung bersama kami. Kali ini, justru pelakunya adalah seorang Guardian.

Darah di tanganku perlahan menggering akibat suhu yang begitu dingin, aku gemetar memastikan tubuh tetap hangat.

Es berbentuk duri itu perlahan tumbuh, posisi tepat di sampingku.

Krak!

Es itu bergerak menusuk. Aku refleks menutup mata.

Tidak terjadi apa-apa.

Darren berdiri di depanku. Tangannya mengarah ke dinding hingga melelehkan duri es tadi dengan kobaran api biru. Kali ini, api biru yang menguasai pandangan. Membuat suhu yang dingin mencekik kini menjadi hangat hingga memanas.

Aku terpaku menyaksikan es yang perlahan meleleh di area ini hingga melupakan rasa sakit di tangan akibat kecelakaan tadi.

Hingga es benar-benar meleleh di ruangan ini, menyisakan ruangan dengan warna merah tua mendominasi. Lukisan yang dipajang masih aman meski sedikit terbakar.

Darren terhuyung mundur. Aku menyambutnya dan membiarkannya duduk di sisiku.

Dia menatapku. "Putri."

Aku mengiakan. "Terima kasih."

Darren menatap tanganku, perlahan menarik dan memeriksa.

Jantungku berdegup kencang entah kenapa, barangkali akibat rasa takut terjebak di antara es dan mati tertusuk di sana.

Darren langsung berdiri dan mencari sesuatu di ruangan ini hingga menghilang dari pandanganku.

"Darren!" tegurku. Beberapa detik lalu dia kelelahan dan sekarang malah bergerak kembali seakan tidak terjadi apa-apa.

Beberapa saat berlalu, luka ini sudah menggering meski rasa perih masih terasa. Aku bahkan tidak bisa menggepalkan tangan tanpa merasakan sakit. Tapi, menurutku ini tidak seberapa dan masih terbilang beruntung.

Darren kembali membawa sebuah kain. Dia berlutut di sisiku dan membalut luka tadi tanpa komentar.

Aku tidak mampu berkata lagi. "Ini berlebihan."

"Lo bakal infeksi," balasnya.

"Lukanya sudah kering," sahutku.

Tidak ada balasan.

Setelah selesai membalut tanganku, Darren kembali duduk di sisiku dan mengamati ruangan ini. Dapat kulihat dari sorot matanya kalau dia lelah, mata setengah tertutup bahkan nyaris tidak mampu dibuka lagi ditambah napasnya yang berat.

"Istirahatlah," ucapku meski menurutku dia sendiri tahu itu. Aku lalu bersandar di dinding, di sisinya. Berniat menemani.

Baru saja hendak beristirahat, kudengar Darren kembali duduk dengan tangan mengobarkan api biru.

Aku terkejut, ditambah ketika menyadari ruangan yang tadinya kembali normal malah perlahan menjadi semakin biru dan beku layaknya sedia kala.

Darren berdiri, siaga menjaga agar es ini tidak menyerang seperti tadi.

"Sebaiknya kita menjauh saja," saranku.

Api biru yang menguasai tangan Darren mengecil. Dia berpaling dan menarikku ke sisinya. Kami melanjutkan perjanan meski tentu merasa lelah.

"Nah, benar kataku," ujarku. "Aku akan menegur Ezekiel."

"Ini bukan murni kehendaknya," sahut Darren.

"Lantas?"

Tidak ada balasan.

Napas Darren terdengar semakin berat. "Kita akan mencari anak yang terjebak."

Aku hendak menyebut Ascella tapi batal karena dia pasti tidak akan bersedia membantu lelaki itu.

Darren melanjutkan sebelum dia mempercepat langkah. "Untuk saat ini, kita harus waspada. Bisa jadi Zibaq ada di sekitar sini."