webnovel

Ilusi – 2

Nemesis membiarkan tubuhnya menjadi bantal pelindung. Kami mengempas ke tanah.

Bruk!

Begitu mengerjapkan mata, yang kulihat hanya tatapan penuh kebencian dari mereka. Aku tahu apa yang harus kuucapkan, meski dilanda keraguan.

"Aku manusia!" seruku. "Aku bukan ancaman!"

Mereka diam saja.

Aku jelas berkata jujur. Jika dibebaskan, aku harap mereka melakukan hal yang sama untuk Guardian-ku.

"Kalau benar kamu manusia, minggir!" ucap seseorang.

"Tidak, lepaskan mereka!" balasku. "Mereka pelindungku."

Nemesis perlahan mendekat. Jelas membuat mereka mundur selangkah, meski tangan mereka siap dengan senjata kecil.

"Sama saja," decak seseorang.

Nemesis menarikku menjauh.

Syaaat! Aku hampir saja ditusuk oleh benda kecil yang dipegang mereka. Ternyata jauh lebih panjang bagai jarum. Sudah jelas menancap dalam di leher Nemesis. Aku penasaran sampai berapa lama benda itu dapat menahan sihir.

Nemesis memegang lehernya, tampak menahan pedih.

"Nemy?" Aku tidak tahu harus berbuat apa.

Seruan mereka menggema. Mengejar kami yang berjuang bertahan.

Lagi, kami berhasil lolos berkat kecepatan lari Nemesis.

Aku hanya bisa menyusul sambil berpegangan tangan agar tidak jatuh atau tertinggal.

Kami semakin jauh.

Mereka menghentikan langkah. Berhenti entah kenapa.

Perlahan lenyap jadi abu.

***

Lanskap perlahan berubah dari kegelapan menjadi lebih terang. Fajar menyising, entah kenapa hatiku semakin gelisah. Padahal mentari senantiasa menjadi penenang jiwaku ketika malam mencekam.

Nemesis berhenti lalu duduk di balik batu besar. Ia berlindung dari sinar matahari, bersandar sambil memejamkan mata.

Aku duduk di sisinya sambil menghela napas. Setidaknya kami aman sekarang.

"Nemy?"

Kutatap Nemesis yang tampak terlelap. Kuselimuti Nemesis dengan jubah Arsene lalu perlahan membaringkannya di bawah bayangan batu.

Matahari terasa hangat, meski tidak membuatku merasa aman.

Kini, aku yang menjaganya sebagai ganti. Untuk saat ini, kurasa mencari makan adalah pilihan terbaik. Niatku hanya ingin memetik buah atau apapun yang bisa dimakan.

Perlahan, kutinggalkan Nemesis yang terlelap sambil berharap dapat menemukan banyak makanan.

***

Aku tidak akan jauh. Selama masih bisa mengawasi Nemesis, sekaligus mencari tempat teduh lain yang aman untuknya.

Aku barangkali akan membangun bivak alami, tapi tidak tahu dasarnya. Entah dari mana datangnya gagasan ini. Kuharap berhasil.

Ada banyak buah beri liar yang bisa dipetik. Aku simpan ke dalam kantong celana hingga penuh. Semoga Nemesis suka buah-buah kecil ini.

Aku menoleh.

Ia masih berbaring.

Semakin menginggat malam itu, semakin sedih aku. Mereka merenggut para Guardian dan teman-temanku.

Setelah Nemesis sembuh, aku akan membangun rencana penyelamatan. Semoga harapanku tidak terlalu tinggi.

Dari kejauhan, ada lahan luas nan indah penuh dengan rangkaian bunga dan tanaman merambat lain. Menjadikannya bagai kerajaan para peri. Begitu mendekat, tempat itu sayangnya kosong.

"Halo? Ada orang?" tanyaku.

Tiada balasan selain desiran angin.

"Aku tidak berniat menyakiti," lanjutku. "Aku hanya minta bantuan."

Tidak ada balasan.

Aku heran, kenapa tempat seindah ini tidak berpenghuni? Apa penduduknya takut padaku? Kuteruskan langkah hingga semakin dalam.

Lahan ini penuh dengan tumpukan bunga membentuk seperti kubah kecil yang terbuat dari rangkaian bunga harum. Kalau kupikir-pikir, aku bisa mengajak Nemesis berlindung di sini. Ya, bau kami akan terlindung berkat bau bunga nan harum juga dari sinar mentari.

Aku masuk ke dalam.

Luasnya ternyata melebihi yang kukira. Jangankan aku dan Nemesis, kami bisa menjadikannya sebagai rumah kecil berdua. Baunya juga harum, namun tidak menyengat sehingga menyegarkan.

Begitu senangnya hati hingga aku bergegas mencari Nemesis.

"Nemy!" seruku dengan girang. Kupanggil terus nama Guardian-ku dengan gembira.

Ia rupanya sudah bangun. Tengah duduk di bawah bayangan sambil menatapku.

Kupamerkan hasil kerjaku. "Di luar sana ada rumah baru!"

Ia mengamati puluhan buah beri yang kupetik. Tidak tampak tertarik sama sekali. Padahal aku saja sangat lapar begitu melihatnya.

"Aku tidak bisa memakannya," ujarnya. "Habiskan saja."

Aku jelas kecewa. "Kamu belum makan, 'kan?"

"Aku tidak bisa." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Waktu itu, aku memang tidak tahu jika ia tidak suka. Maksudku, ia bisa mengonsumsi hal lain selain cairan, bukan?

Aku menunduk. Kutatap buah beri yang terkumpul. "Segigit saja."

Ia hanya diam.

Kugigit sebuah beri. Rasanya lebih enak dari ingatanku, apalagi ketika lapar. Aku dekatkan sebuah padanya. "Nanti kamu sakit."

Nemesis mengalah. Ia ambil sebuah dan memasukkannya ke mulut.

Wajahnya tampak aneh, seolah menahan derita yang telah lama dibendung. Ia peluk lutut sambil menutup wajah. Kurasa buah beri bukan makanan kesukaannya.

"Remi."

Aku menatapnya.

Nemesis melirik ke sebelah kirinya. "Kamu punya pelindung dari sinar matahari?"

"Cuma jubah Arsene tadi," jawabku. "Kamu bisa pakai."

Nemesis menjadikan jubah itu sebagai pelindung, membuatnya tampak seperti gelandangan yang kedinginan.

Ia berdiri lalu memandang lurus ke depan. "Di mana lahan yang kaumaksud?"

Kugenggam tangannya. Menuntun ke tempat yang baru saja kutemukan.

Awalnya ia agak ragu melangkahi sinar matahari. Beruntung jubah Arsene tampak melindunginya dengan baik.

Aku penasaran apa jadinya jika Nemesis terkena sinar itu. Sepanjang ingatan, malam adalah saat paling mencekam sementara mentari bagai perisai dari makhluk jahat.

Kami tiba di tempat yang dimaksud.

Nemesis langsung masuk ke dalam dan mengempas ke tanah.

Langsung kuhampiri. "Nemy?"

Begitu kusibak jubah Arsene, kulit Nemesis tampak kemerahan dan beberapa seakan nyaris menguap. Ia garuk beberapa dengan geram. Juga tercium bau gosong.

"Ma ... Maaf." Aku berbisik.

Nemesis menatapku. "Untuk apa?"

"Kukira itu bisa melindungimu," jawabku.

Ia diam lalu kembali mengamati kulit pucatnya. Kini aku paham mengapa mentari menjadi musuhnya. Ia nyaris terbakar, padahal baru beberapa saat terpapar.

Aku sentuh kulitnya, berharap dapat menemukan penawar.

"Aku bisa sembuh sendiri," balasnya seakan membaca pikiranku. "Kamu lapar?"

Aku menggeleng. "Ada banyak buah beri untuk kita."

"Aku tidak makan itu," jawab Nemesis. "Remi, kita tidak sejenis. Aku hanya bisa bergerak bebas pada malam hari."

Aku mengalah. "Setidaknya tempat ini aman untukmu. Apa ini? Kenapa sunyi?"

"Kurasa, ini bukan buatan manusia," jawab Nemesis. "Setahuku, beberapa bebek liar tinggal di sini untuk mengeram telur mereka."

"Tahu ... Dari mana?" tanyaku takjub.

Nemesis menunjuk ke ujung. Ada beberapa helai bulu putih di sana. "Penghuninya sudah pasti dimangsa musang."

Aku mengamati bulunya. Tampak tidak selama yang kubayangkan. Berarti, musang itu sudah pasti kenyang. Ah, ngeri kubayangkan binatang itu masuk ke rumah baru kami lalu merenggut Nemesis dariku.

"Jika mentari terbenam." Nemesis memandang lurus ke luar, kurasa kami butuh pintu. "Aku akan berburu. Kamu jangan keluar dari sini!"

Aku mengangguk patuh. Yakin kalau Nemesis bisa melindungi dan memberiku makan. Tugasku sekarang hanya mematuhinya.

"Aku mendengar dan patuh."