webnovel

Guardian dan Sihir Hitam – 2

Sepanjang jalan, terasa aneh kalau Arsene tidak mengubah kecepatan jalannya. Aku heran seberapa kuat pria ini mengendongku di punggung.

Lagi-lagi, aku yang memulai percakapan. "Ezilis Utara itu jauh, ya?" tanyaku.

"Dari mana?" Arsene balik bertanya. "Kamu sendiri lupa dari mana asalmu."

"Kalau tidak salah, aku seperti ... Berasal dari daerah yang berpasir." Aku memutar otak, mencari bongkahan memori yang barangkali tersimpan di suatu tempat. "Ada gadis berambut hitam di sampingku."

Yang kuingat, hawanya juga panas serta hidung terasa terbakar setiap kali menghirup napas. Aku seolah berada di tempat terpencil waktu itu, tapi juga ragu bagaimana bisa ke sana sementara ciri-ciriku berbeda. Orang-orang di sana memiliki kulit kuning langsat sementara aku sedikit lebih putih. Dari reaksiku juga, aku seperti pengunjung di sana.

"Daerah berpasir." Arsene tertegun. "Barangkali dari Shyr. Daerah itu memang kering dan panas. Penduduknya kebanyakan berkulit kuning langsat atau lebih gelap."

Aku malah makin ragu. "Tapi, kenapa aku bisa di sana? Aku sendiri malah lupa."

"Nanti saja," balas Arsene. "Aku akan membantu memulihkan ingatanmu. Untuk saat ini, engkau jalani hidupmu sebagai orang baru."

Aku mengangguk patuh.

"Remi ..."

Aku menoleh. Hanya pepohonan dan semak belukar menyelimuti hutan.

Aku mengenalnya, namun lupa dari siapa. Sepertinya aku pernah mengobrol dengan seseorang dan dia barangkali mengenalku dengan baik.

"Remi ..."

Entah kenapa, suara itu terus memanggil. Arsene tidak merespons kendati suara itu kian mengeras. Antara berpura-pura tuli atau tidak mendengar sama sekali.

"Kamu mendengarnya?" bisikku. "Ia ... Memanggilku dengan nama baru."

Arsene terdiam sesaat. "Jangan dengarkan!"

"Remi ..."

Aku menoleh.

Tidak ada.

"Remi ..."

Tunggu, aku mengenal suara ini. Tapi ... Siapa?

"Remi, kenapa kautinggalkan Ibu?"

Ibu? Tunggu. Ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa aku mengingat jelas suara Ibu? Aku bahkan lupa siapa orangtuaku, kendati ilmu yang kudapatkan saat ini tidak lenyap bersama mereka.

Aku tahu ini bualan, mereka tidak mungkin memanggilku dengan nama baru.

"Remi?" Kurasakan tangan Arsene menyentuh tanganku. "Kaudengar?"

Aku mengangguk.

"Kalau begitu, sebaiknya kita pulang sebelum dikepung."

Baru saja mengucapkannya, dua titik biru memantul dari balik bayangan pepohonan. Disertai geligi tajam siap membelahku hidup-hidup. Tatapan kosong, membuatku membeku. Itu–

"Eh?!" Aku nyaris kehilangan keseimbangan saat ia mempercepat lari. Refleks mempererat pelukan di lehernya sambil berjuang agar tidak jatuh.

Wusssh ...

Arsene berseru, "Remi!"

DUK!

Kami terpental akibat dorongan kuat menyapu separuh hutan.

Tanganku dipegang Arsene. Matanya melirik sekitar, waspada.

Di depan kami ia berdiri. Warnanya biru pucat. Terasa sentuhan bulu kasar ketika benda itu menimpa kami. Tampaknya, itu berasal dari hewan. Tunggu, hewan apa?

"Remi!" Seruan Arsene terdengar.

Syat!

Aku menjauh tepat saat benda tadi nyaris menebasku. Barulah aku ingat, itu ekornya.

Ketika mendongak, akhirnya aku bisa melihatnya dengan jelas meski di tengah kegelapan.

Rubah itu berbulu biru pucat, telinganya panjang disertai ekor lebat yang berfungsi sebagai senjata. Ia mengayunkan cakar.

Aku melirik Arsene.

Kedua tangannya mengeluarkan bayangan warna hitam pekat. Sekeliling kami dipenuhi kabut pekat yang membutakan pandangan.

DUAR!

Bayangan hitam melindungiku dari cakarnya. Arsene terengah-engah, tangannya gemetar.

"Lari!" serunya.

Aku melesat. Menghindari rubah tadi hingga mencapai tempat aman. Beberapa meter dari makhluk petaka itu.

Aku menoleh. Dari kejauhan, Arsene menyerang tidak tentu arah. Sekeliling kami hanya kabut pekat menghiasi hutan.

"Arsene!"

Pria itu menoleh. Ia lompati rubah–yang jauh lebih tinggi melampaui tubuhnya–dengan mudah. Sesekali kulihat ia mengarahkan kekuatan sihirnya.

Aku terpana menyaksikan sihir hitamnya menari di udara. Seperti gagak yang memberi tanda kematian. Bayangan raksasa keluar dari kepalan tangannya. Dia empaskan ke tanah. Menciptakan getaran yang memukul mundur rubah itu.

Rubah itu meraung. Ia ayunkan ekor bersama cakarnya.

Arsene menangkis. Dia mengitari rubah itu, begitu cepat sambil menyerang. Menyambar dan memukul mundur. Kekuatannya memang berupa kegelapan. Namun, mampu menghasilkan cahaya ketika bertabrakan dengan lawan. Seperti petir yang membelah angkasa, indah tapi mematikan.

Kulirik Arsene yang berdiri dari kejauhan. Dia lanjutkan atraksi bersama lawannya. Menciptakan ledakan dahsyat yang mengguncang hutan. Aku sedikit kasihan melihat hutan berantakan akibat ekor rubah yang membelah pepohonan.

Puluhan hewan berduyun-duyun keluar dari hutan, membuatku iba. Sebagian berlari tak tentu arah, beruntung tidak mendekati kami, seolah tahu.

Aku menutup hidung saat debu menyapu hutan disertai kabut. Perlahan mengurungku dalam kegelapan. Aku harus menjauh.

Tapi ...

Aku tidak mungkin meninggalkannya bersama makhluk itu. Namun, diri ini tak berdaya akibat ketidaktahuan.

Kabut mulai terkikis.

Lanskap kembali seperti sedia kala, namun dipenuhi kemuraman.

Aku dapat melihat dengan jelas Arsene mengarahkan sihirnya dan berhasil memukul mundur sosok itu.

Krak!

Bagai bunga hitam, mengurung rubah tadi. Arsene menahannya. Memaksa makhluk itu masuk semakin dalam ke bumi. Aku tidak tahu apakah ia benar-benar akan mengubur rubah itu atau menghancurkannya berkeping-keping.

"Remi!" serunya. "Lari!"

"Bagaimana dengan–"

"Lari!"

Dengan berat, aku menjauh. Melesat seakan dikejar harimau. Meninggalkan Arsene yang berjuang menahan musuhnya.

DUAR!

Aku terpental akibat dorongan udara yang mengempasku ke tanah.

Aku berpaling.

Bunga hitam menari di udara, malam yang kelam menjadi semakin mencekam. Seperti bayangan yang menyelubungi setiap jiwa. Bunga itu melebur, menciptakan ledakkan tadi. Perlahan menyatu di udara, menjadi abu yang membutakan pandangan, laksana kabut.

Aku berjuang bangkit dan memanggilnya. "Arsene!"

Hanya desiran angin membalas. Aku terus memanggil. Tak peduli dengan suaraku yang mulai serak.

Kulihat bayangannya dari kejauhan. Terduduk di salju sementara sebuah bongkahan besar perlahan runtuh di hadapannya. Berlutut sambil memegang dadanya.

Ia memuntahkan darah.

"Arsene!" Aku berlari menghampiri.

Arsene berbisik lirih. "Rubah itu kabur. Aku tidak sanggup melawannya."

"Bagaimana mungkin?" sanggahku.

"Aku tidak tahu. Aku ... serahkan pada yang lain–"

Bruk!

Ia roboh di antara tanah. Dibanjiri darahnya.

"Arsene!" Aku mendekat dan menggoyangkan badannya. Ia masih bernapas, begitu pelan.

Kucoba memanggil, ia tidak menanggapi. Wajah pucatnya kian memucat sementara tubuhnya terlalu berat bagiku. Aku tidak bisa membawanya ke tempat aman.

Aku menatap sekeliling. Mencoba mencari bantuan. Meski baru bertemu beberapa saat, jelas mencemaskannya. Aku menoleh ke sana sini dengan panik. Napas kian tidak teratur.

"Itu!"

Aku tersentak. Menoleh ke belakang sambil berlutut menjaga Arsene.

Dari kejauhan, aku melihat gerombolan manusia berpakaian sederhana tanpa pelindung yang berarti. Mereka membawa beragam perkakas yang biasa digunakan untuk berkebun dan berburu. Salah satu dari mereka maju. Ia pria berbadan tambun hingga lehernya nyaris tak terlihat, menunjuk kami dengan kapaknya.

"Itu mereka!"