webnovel

Guardian dan Gigantropy – 4

Kini aku sedikit paham gambaran apa yang bakal terjadi berikutnya.

Misi pertama barangkali penyelamatan atas diriku. Kemudian melindungi dari Zibaq. Tak heran kenapa aku seolah dikurung di sini.

Misi kedua mungkin penyelamatan rakyat Aibarab yang kini entah di mana disembunyikan. Yang pasti, mereka bisa jadi dijadikan umpan bagi Zibaq.

Sekarang, tugasku tidak lain hanya menunggu. Di tempat tersembunyi ini. Bersama gadis rubah.

"Apa boleh keliling kota sebentar?" tanyaku yang sudah bosan.

"Mungkin." Itu saja jawaban Safir.

Dulu, biasanya kami ada jadwal keliling kota bersama bahkan makan di malam sebelum hari libur agar besok bisa tidur lebih lama. Tapi, situasi sekarang sepertinya tidak memadai. Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi di luar sampai-sampai Ezekiel mendadak sibuk seperti ini.

"Ini hari apa?" tanyaku.

Safir pun menyebut hari.

"Berarti besok libur," komentarku. "Harusnya kita bisa bersantai sampai tengah malam."

"Ya," balas Safir yang kini berbaring di lantai tanpa alas, layaknya karpet. "Asalkan dia ikut."

"Jadi, kita di rumah saja apa keluar?" tanyaku.

"Kau mau keluar?" tanya Safir.

"Ya."

"Dia bilang kalau kita keluar, dia bakal tahu, jadi tidak perlu izin," jelas Safir. "Tapi, tentu saja dia bakal mengawasi."

"Kamu boleh ke mana saja asal aku ikut." Begitulah yang kubayangkan jika aku minta izin langsung dari Ezekiel.

Ah, prasa yang wajar bakal diucapkan seorang pelindung. Tapi, aku yakin menengok sebentar di luar tidak akan buruk.

"Aku akan sekolah di sini?" tanyaku lagi.

Tidak mungkin aku dibiarkan bernaung di sini tanpa perkembangan. Aku merasa malu jika itu terjadi. Tanpa kekuatan saja sudah membuatku minder, apalagi ditambah ini.

"Ya," jawab Safir lagi. "Tapi, nanti."

"Kamu kenapa tiba-tiba aneh begini?" heranku.

"Aneh apanya?"

"Entahlah. Aku merasa ada yang janggal."

"Yah, aku sendiri tidak tahu." Safir terdengar tidak peduli.

"Safir!" Aku protes.

"Apa?" Dia terdengar risi.

"Aku boleh keluar?" Aku mengulang pertanyaan.

"Iya!" Safir meninggikan suara. "Tapi, dia harus ikut!"

"'Kan cuma menengok sebentar," bantahku. "Kenapa, sih? Ada apa di luar?"

"Keras kepala! Tentu saja bahaya!"

"Aku bukannya keras kepala, aku hanya mempertanyakan."

"Kamu dan para pelindungmu sama saja!" serunya. "Kalian banyak maunya, tapi disuruh sedikit tidak mau!"

Safir berpaling lalu berbaring di lantai, membelakangiku. Dia sepertinya merajuk.

Aduh, memang sesabar itu para Guardian atau Safir-nya yang mendadak pemarah?

Mau kutanyakan ada apa, tapi merasa tidak sopan karena kesannya seperti ikut campur.

Aku bernapas. "Kapan Ezekiel pulang?"

"Tidak tahu, yang pasti dia akan memeriksamu secara rutin."

Terdengar aneh sekaligus wajar di saat yang sama. Tapi, lagi-lagi aku harus tahu keadaan luar sebelum menilai perlakuan Ezekiel.

Aku harus tahu.

Bagaimanapun, aku akan mencari tahu.

Meski harus ...

"Putri bosan di sini?"

"Ha!" Aku terlonjak. "Ezekiel?"

Entah bagaimana, makhluk itu duduk di sofa sambil makan permen kecil. Dia menatapku, seakan aku yang aneh.

Ezekiel menyodorkan kantong plastik penuh bungkus permen. "Mau?"

Aku benar-benar bingung. Kulirik Safir, berharap dia bakal sama kagetnya. Tapi, wanita itu masih saja duduk membelakangi. Tampak terbiasa.

Tatapanku kembali padanya.

Mata biru itu ...

Aku entah kenapa merasa aneh. Bukan kenapa. Tapi, aku merasa ada sesuatu dari tatapan itu.

"Putri?" Ezekiel memanggil, masih dengan kantong penuh permennya. "Mau?"

Aku pun mengambil satu. Entah kenapa, tangan gemetaran hari ini. Ketika kutelan permennya pun, masih saja jantungku berdegup kencang.

Aku takut padanya? Tidak.

Apa aku berani menatapnya? Mungkin.

Apa aku, dengan sangat, merasa terintimidasi? Saat itu, aku hanya merasa seperti remaja perempuan biasa ketika melihat lelaki. Jadi, kuanggap wajar waktu itu. Toh, aku baru berusia enam belas, masih panjang perjalananku menjadi remaja. Mungkin hanya hormon.

Ezekiel lalu menyimpan kembali permen-permen tadi ke kantong celananya. Dia merenggangkan punggung di sofa.

Ketika menatapku lagi, dia tersenyum. "Kangen?"

"Tidak," jawabku gamblang, spontan lebih tepatnya. "Aku hanya ingin menengok kota ini, sebentar saja. Kamu tahu, keliling dan beradaptasi."

Ezekiel mengunyah permennya, terdengar bunyi kriuk pelan hingga ia mengecap. Terdengar menganggu, tapi aku tidak bisa protes.

Waktu demi waktu berlalu.

Aku tetap duduk di sisinya, meski sedikit menjaga jarak. Selagi dia mengecap permennya dengan nikmat. Sepertinya dia sangat suka, meski aku biasa saja saat mencicipi permen tadi.

Mengecap.

Hanya itu yang dia lakukan.

Mengecap permen dan menatap ke dinding, entah apa yang dilihat. Tidak biasa bagiku didiamkan oleh pelindungku. Tapi, barangkali Ezekiel sedang berpikir.

"Ezekiel," panggilku.

Dia menyahut.

"Aku bosan," keluhku. "Aku sangat bosan."

Ezekiel mengecap permennya. Ini sudah kesekian bungkus yang bahkan tidak terhitung. "Tuan Putri mending menunggu sebentar. Ini masih sore, nanti malam kita jalanan."

Aku menarik napas. Sabarlah, yang sabar.

"Nih, mainin aja." Ezekiel merogoh sesuatu di kantong celananya dan keluarlah benda persegi panjang yang agak tipis lalu menyodorkannya padaku.

Aku menerimanya. Warna benda ini sebenarnya hitam dengan lapis hitam pula. Lapisnya hanya berupa benda elastis layaknya karet.

Tak sengaja, tanganku menekan bagian dari sisi benda ini.

Ajaib. Muncul gambar beragam tulisan dalam bentuk kotak penuh rupa dengan tulisan berbahasa Ezilis Selatan yang bisa kupahami. Ini seperti buku yang kecil.

"Wah!" Aku tidak mampu menahan kekagumanku. "Ezekiel, benda apa ini? Buat apa?"

"Gue pakai buat banyak hal, Putri." Ezekiel mengunyah permennya hingga terdengar bunyi krak pertanda sudah hancur, langsung ditelan. "Kebanyakan buat menjawab pertanyaan."

"Bagaimana?" Aku benar-benar penasaran. Bukannya buku pengetahuan juga begitu?

"Nih."

Ezekiel dengan cepat menekan sebuah gambar berbentuk bulat dengan warna-warna primer. Tak lama, muncul gambar berupa persegi panjang dengan ujung tumpul.

Dia menekannya lalu muncul lagi huruf dalam bahasa Ezilis Selatan dan dia tekan beberapa hingga muncul sebuah kata.

"Permen."

Benda ini seperti mesin ketik, bedanya tidak ada bunyi dan kamu bahkan tidak merasakan apa-apa saat menyentuhnya, seperti menyentuh kaca saja.

Ketikan Ezekiel berubah menjadi kumpulan gambar permen.

Aku berdecak kagum. "Keren!"

Ezekiel kembali mengambil sebuah permen lalu mengecap. Dia tidak menanggapi pujianku.

Merasa penasaran, aku ulangi apa yang dia lakukan. Kali ini, aku ketik sebuah kata "Aibarab."

Saat itulah, muncul beragam tulisan yang mengabarkan keadaan Aibarab.

"Aibarab, Kerajaan di Timur."

"Daftar Raja Aibarab."

"Komentar Penyihir Ternama Soal  Aibarab."

Ini sungguh di luar dugaan. Kenapa benda ini bisa tahu? Padahal orang awam belum tentu tahu tentang Aibarab.

Ini seperti buku, kumpulan buku hingga membentuk perpustakaan. Tapi, bentuknya kecil dan bisa dibawa ke mana saja.

Sungguh janggal.

Sihir macam apa ini?

"Ezekiel," panggilku lagi. "Sihir dari mana ini?"

Ezekiel meretakkan permennya dengan gigi. "Entahlah."

"Eh? Kok?"

"Itu cuma ada di tempat yang tersembunyi, tapi gue enggak tahu di mana tempat itu," ujar Ezekiel. "Makanya gue pakai dengan hati-hati."

"Kamu dapat dari mana?" tanyaku.

Bisa jadi Ezekiel warga sana yang kabur, tidak menutup kemungkinan. Atau barangkali warisan dari seseorang yang tinggal di tempat itu. Kalau benar, ini sangat luar biasa.

Ezekiel akhirnya menjawab. "Gue nyolong."