webnovel

Bab E

« Ascella »

Akan tiba masa, di mana semua ini hanya akan menjadi penggalan kisah dari masa lalu.

Akan tiba masa, semua kejadian di masa kini akan membuka lembaran kisah di masa yang akan datang.

Akan tiba masa, semua rahasia akan terungkap. Baik atau buruk. Semua akan terjadi.

Akan tiba masa, di mana takdir akan menyambut.

***

Aku kira, hidupku hanya sebatas menjadi penyihir biasa di Kota Adrus bersama Kakak. Namun, semua berubah ketika aku menyadari kenyataan yang telah lama dikubur. Kukira Kakak mendapatkan kekuatan dari keturunan layaknya kami sekeluarga. Namun, kegelapan hati telah menguasainya dan dia pun menemui sosok yang paling kami hindari.

Jin itu.

***

Dia ingin membunuhku!

Aku hampir saja pingsan ketika pria itu nyaris membunuhku untuk kesekian kalinya. Sudah hilang akalnya! Dia benar-benar ingin aku mati agar menjauh dari kekasihnya.

"Kau membunuhku!" seruku. Hatiku dipenuhi bara api ketika mata biru itu menatapku.

Dia masih memandangiku dengan tatapan menghina, itulah yang kurasakan. Ditambah dengan balasannya yang terkesan meremehkan itu semakin membuat hatiku panas.

"Gue belum bunuh," jawabnya. "Situ masih bisa menyahut."

"Kau berniat menghabisiku?!" Aku geram, sangat malah. Ingin rasanya meninju wajah menyebalkan itu.

Namun, belum sempat berkutik, pria aneh ini mengalihkan pandangan ke atas. Seakan menunggu sesuatu. Ya, dia menjebakku di sini bersama bayangan sialan itu, entah ke mana jin itu sekarang. Rasanya berat harus terjebak bersama kedua makhluk aneh. Nasib. Lebih baik aku membeku di luar sana daripada harus menghadapi ini semua.

"Gue enggak untung juga bunuh lo," sahutnya, tampak ingin terkesan rendah hati. Aku yakin itu niatnya tapi di sisi lain terkesan seakan menganggapku sebagai beban. Makhluk ini sepertinya suka membuat orang lain kesal. "Lagian, kami pengen balikin kakak lo. Biar lo bisa jauh-jauh darinya."

Aku tahu yang dia maksud itu Thalia. Ayolah, dia pikir aku lelaki macam apa? Kenapa dia begitu protektif? Kenapa pula Thalia tahan hidup bersamanya? Kalau itu aku, sudah pasti akan kabur.

"Aku tidak seperti yang kau bayangkan," ujarku.

"Emang gue bayangin apa?" Dia menatapku seakan menguji. Tatapan mata yang tampak merendahkan disertai senyuman itu.

Aku jeda sejenak untuk berpikir. "Aku yakin kamu tidak ingin posisimu direbut olehku, bukan? Kamu takut Thalia akan menjauh darimu, begitu?"

Sylvester tersenyum. "Emang dia suka sama lo?"

Baru hendak membalas ucapannya, bayangan hitam itu akhirnya kembali menunjukkan diri.

"Rupanya kau lebih menyakiti dibandingkan musuhmu sendiri, Avadeer," ucap jin itu dalam wujud Kakak.

"Bukan gue yang mulai," sahut Sylvester. "Hei, lo akhirnya datang habis gue koyak tangan bocah ini. Kok lama banget? Lagi acara?"

Jin itu, Zibaq, mengabaikannya dan justru menatapku. "Sudah kuduga kau akan memihaknya. Harusnya sudah kubunuh sejak awal. Kau memang tidak berguna."

"Bunuh aja, enggak ada yang ngelarang." Sylvester yang malah menyahut.

Aku terkejut mendengarnya meski di sisi lain dapat menebak lantaran memang begini sifatnya dari sudut pandangku. Pria ini memang keji.

"Aku kira kau akan membunuhnya," sahut Zibaq.

"Enggak ada untung bunuh dia," balas Sylvester. "Lagian, ngapain lo mau repot ngurus?"

"Kamu benar-benar membencinya." Zibaq menyeringai. "Kenapa tidak bunuh sekarang?"

"Malas," sahut Sylvester.

"Bilang saja kau masih memiliki hati," balas Zibaq.

"Ribet." Sylvester maju selangkah. "Ayo, maju! Bacot terus kayak anak kecil."

Zibaq melesat ke arahnya, begitu cepat hingga refleks membuatku terduduk hendak menghindar.

Duar!

Sylvester mengangkat tangan, membentuk bongkahan es yang sukses membalikkan badan Zibaq layaknya menepis sebuah benda.

Zibaq mendarat ke lantai berlapis es. Menatap kami berdua, dia menyeringai saat menatapku. "Kau bisa jadikan dia sebagai tameng."

Sylvester menyahut. "Mana bisa? Ditiup sekali saja sudah terbang."

Dia memang menghinaku, tapi di sisi lain seolah menolak untuk mengorbankanku dalam misinya kali ini. Apa gerangan misinya? Aku hanya bisa menebak.

"Woi, minggir!" Sylvester mendorongku.

Krak!

Bongkahan es berdiri menjulang seakan tumbuh dari lantai langsung, membentuk sebuah rangkaian patung menyerupai sepasang meriam menghadap Zibaq.

Sylvester mengarahkan tangannya ke Zibaq. Keluar tiupan angin yang ternyata berupa es. Ketika menyentuh setiap permukaan, angin itu langsung membekukan apa yang dilewatinya. Zibaq bergerak cepat dan kakinya nyaris membeku akibat terkena tiupan angin itu. Dia terus berlari menghindari tiupan es layaknya anak kecil melarikan diri dari kejaran ibu mereka yang marah.

Meski tengah mengendalikan jiwa dan raga seseorang, keahlian jin ini sepertinya masih sama seperti sebelumnya. Karena aku tahu jika dia memakai keahlian berpikir seperti Kakak, dia akan menggunakan metode lain. Tentu saja berlari bukan hal yang Kakak pakai dalam bertarung terlebih jika lawannya memiliki serangan jarak jauh seperti ini. Rasanya berlari pun percuma.

Zibaq terus berlari, bahkan dia rela melompati beberapa patung es meski tergelincir beberapa kali. Itu semua dia lakukan hanya demi menghindari serangan dari Sylvester.

Aku melirik Sylvester. Matanya terus tertuju pada Zibaq. Harusnya dia lekas bekukan saja jin itu saat ini juga. Namun, sepertinya dia punya rencana lain.

"Enggak pakai sihir apa?" tantang Sylvester padanya.

Aku tahu, harusnya dia tidak mengucapkan itu jika belum siap melawan. Namun, orang seperti dia malah yang menunggu lawan itu sendiri.

"Kamu tampaknya senang menguras tenaga." Zibaq tersenyum selagi berlari menghindari sang Pemburu Sihir.

"Ini saja enggak nyakitin anak kecil, lho," sahut Sylvester.

Krak!

Sepertinya kesabaran dia mulai mencapai batas. Saat yang ditunggu telah tiba, dia dengan mudah berhasil menahan Zibaq dalam belenggu es ciptaannya.

Zibaq yang masih menggunakan raga kakakku terjatuh ke lantai dengan keras disertai es yang membelenggu separuh badannya dari punggung hingga kaki.

Sylvester mendekati Zibaq yang terbelenggu. Dia, seperti kisah-kisah tentang dirinya di masa lalu, akhirnya menjebak lawan dengan mudah layaknya menangkap seekor hewan yang jinak.

Sylvester berdiri di depan Zibaq. Jin itu masih tidak mau meninggalkan raga kakakku. Keduanya bertatapan selama beberapa saat, tersirat rangkaian pesan dari balik tatapan itu. Hingga akhirnya, tentu saja, si Pirang ini membuka obrolan kembali.

"Lo ini lemah, enggak pantas jadi lawan kami." Dia berkata dengan sinis. "Sayang banget kalau yang selamat dari keruntuhan Shan itu cuma lo doang. Lo cuma bisa numpang di badan orang, enggak bikin malu apa?"

Aku jarang menemukan Pemburu Sihir seperti dia, terlebih yang sikapnya jelas-jelas meremehkan lawan. Namun, dari kejadian di depan mata ini, seharusnya aku maklum mengingat betapa kuatnya dia melawan. Atau jangan-jangan ini hanya tipu daya dari Zibaq supaya diremehkan.

Aku tatapi Zibaq. Dia tidak berkutik, bahkan membiarkan Sylvester terus menghinanya. Namun, aku tidak mengerti maksud ucapannya yang ini.

"Kalau mau mempertahankan kekuasaan, jangan norak begini. Jelas kami lebih banyak dan kuat daripada lo." Sylvester berkata sebelum akhirnya mundur selangkah dan menatapku. "Cepat bantu, nih! Kakak lo ga bakal selamat kalau kelamaan."

Ah, sepertinya urusan ini akan sedikit lebih panjang dari perkiraanku.

Baru saja hendak bertindak, kulihat di tangannya ada es berbentuk layaknya sabit.

Dia letakkan sabit itu ke leher Zibaq. "Gue bakal ambil apa yang lo curi dari kami."