webnovel

Bab C

« Liliane »

Sudah beberapa hari kami tinggal di rumah Helia dan aku belum menemukan kejanggalan atau petunjuk. Bahkan Dad tidak menceritakan apa pun, barangkali agar aku tidak membocorkannya atau mungkin beliau juga sama bingungnya denganku.

Harusnya dia memberitahu. Bukankah aku diciptakan untuk menjaganya? Memastikan dia tetap berada di jalan semestinya? Barangkali, Dad masih mengira aku hanyalah putrinya yang masih berusia sepuluh tahun. Padahal sudah lewat hampir delapan dekade lamanya.

Mungkin, dia bermaksud melindungiku.

Mungkin saja.

***

Ada aturan yang Dad dan Helia sepakati. Kami hanya boleh makan di tempat yang berbeda, itu pun jadwalnya harus sama, meski kami tidak makan saat itu juga. Kenapa? Tentu saja, kami menunggu dan memastikan jawaban sesungguhnya.

Dad biasanya akan mendiamkan makanan kami selama beberapa saat. Ia juga akan mencoba meletakkan makanan itu di antara tumbuhan atau hewan-hewan kecil yang berkerumun. Jika ada reaksi atau keanehan, sudah dipastikan kami sedang diracun. Namun, beberapa hari ini belum ada reaksi ganjil sehingga bisa makan dengan tenang.

"Lily!" Dad memanggil. Ia sedang mengamati seekor tikus yang sedang kami bagikan makanannya.

Aku mendekat. Tikus tadi tampak lahap memakannya. Beberapa saat setelah menghabiskan umpannya, tikus itu oleng dan jatuh ke lantai.

Dad amati tikus itu, menyentuhnya dengan batang pohon yang kecil, memastikan. "Ah, ia hanya tidur."

"Kekenyangan?" tebakku.

Dad diam saja.

"Obat tidur?" tebakku.

Dad mengiakan. "Kita diet dulu sebentar malam ini. Tidak apa, 'kan?"

"Yang lapar terus itu kamu," balasku.

Dad tergelak, dia tepuk pelan rambutku. "Benar juga. Tapi, aku tidak keberatan. Toh, sekali saja. Lagipula, aku mulai merasa kekuatanku perlahan pulih."

"Dari mana asal peluru itu?" tanyaku, jelas heran. "Ab-Dad sendiri sudah lihat bentuknya?" Aku nyaris keceplosan. Meski di kamar pun, harus tetap waspada dengan mata-mata. Saat ini pula, kami mengobrol lewat bisikan.

Dad mengiakan. Wajahnya tampak mengeras. "Itu dari darah seseorang. Salah satu dari teman kita."

"Maksudmu?" Aku tentu tidak mau berprasangka, meski pikiranku tertuju pada ...

"Arsene Perrier." Dad melirik tikus yang terlelap itu. "Darah yang keluar darinya, rupanya dikumpulkan Zibaq kala dia tak sadarkan diri. Satu-satunya yang bisa menghalangi, hanya dokter pribadinya. Namun, sosok itu telah dibunuhnya."

"Berarti ... Zibaq mencoba membunuh Perrier dengan merenggut darahnya?" tebakku. "Tapi, bukannya kekuatan Perrier berasal dari batu ciptaannya? Barangkali serpihan batu itu menyatu di darahnya. Atau jangan-jangan batu itu yang diincar Zibaq selama ini?"

Dad kembali ke dirinya yang biasa. Tersenyum bangga dan menimang.

"Ah, anakku pintar! Pintar, ya, pintar!" Ia tepuk pelan kepalaku, tampak gemas.

"Apa maksudmu?" sahutku polos. Tentu saja heran dengan reaksinya.

"Aku benarkan setiap ucapanmu." Ia tersenyum. "Dan dengan ini, aku akan beritahu perkembangan, atau bisa dibilang, keberhasilan kita."

Aku diam saja, menunggu Dad melanjutkan.

"Aku temukan sebuah lorong yang cocok sekaligus aman bagi kita." Dad kian memelankan suaranya. "Di sana, aku menemukan rakyat kita. Mereka tampak kelaparan dan ketakutan."

"Untuk apa dia menyekap mereka?" tanyaku.

Dad lantas berdiri dan mengamati tikus itu. "Makanya, malam ini aku berencana ke sana dan menyelidiki. Mereka tentu tidak ingin kita tahu."

"Apa rencanamu?"

Dad mengangkat telunjuk. "Hoho, jangan ragukan Pak Tua-mu! Malam ini, kujadikan sebagai malam berkesan bagi kita untuk diceritakan di kemudian hari!"

***

Kami berjalan melewati rubanah yang tersimpan di antara ruang kosong dekat halaman belakang. Rubanah ini sangat tersembunyi, tapi tidak bagi kami yang bekerja sebagai tukang kebun. Di antara sulur-sulur yang mampu menyamarkan pintu kayu tadi, terdapat pula ruang lain yang dibuat seakan-akan itu tempat penyimpanan alat berkebun. Sayangnya, rencana mereka dibongkar oleh Dad yang terlebih dahulu tahu melalui bisikan tanaman atau barangkali dari sebangsaku.

Semenjak tinggal bersamanya selama tujuh dekade, aku tidak terlalu melihat sebangsaku lagi. Bukannya hilang kemampuan, melainkan mereka yang segan padaku–sesuai perjanjian dari Ratu Zabuz, Yamlica–meski jelas kami secara terbuka menerima mereka.

Di dalam ruang ini dan ruang itu pula, terdapat rubanah lain yang tampak terkunci. Tidak perlu kunci, rupanya Dad berhasil membukanya seakan tidak pernah terkunci. Aku tahu, beberapa hari sebelumnya ia telah berusaha membongkar ruang ini hingga kami bisa masuk tanpa halangan. Untungnya, Dad kali ini bisa berjalan dengan tenang tanpa helaan napas antusiasnya.

Aku genggam tangannya sepanjang jalan. Sambil menoleh ke belakang, memastikan mereka tidak mengikuti. Kukepalkan tangan, waspada akan setiap langkah.

Dad berhenti. Ia amati sekitar. "Sedikit lagi."

Kami tiba di sebuah tempat. Terdapat empat buah lubang di antaranya. Dad serta merta memasuki lubang keempat yang terletak di pojok kiri.

Dad tersenyum. "Kita sudah sampai."

Dia pun meraih tanganku dan menuntun semakin dalam.

Aku tidak mau melepas pandangan dari depan, namun masih meragukan keselamatan kami.

Dad tampak begitu tenang, terlihat percaya diri dan berani sementara aku justru sebaliknya.

Tampak di depan, lubang yang lumayan besar untuk bisa dimasuki orang dewasa. Aku merangkak dan menengok sesuatu dari balik lubang ini.

Itu mereka yang dicari-cari.

Mereka semua tampak murung dan kurus kering di bawah sana. Meski tidak dirantai, mereka tidak bisa kabur karena minimnya akses keluar dan di sana baunya busuk sekali. Kulihat lagi, di antara tanah tampak satu mayat yang terinjak dan terlihat bekas-bekas jasad dipotong entah untuk apa. Untungnya mereka tidak menyadari keberadaan kami.

"Lily?" Dad memanggil. "Sudah lihat?"

Aku merangkak kembali. Begitu keluar, aku lantas membisikan apa yang baru saja kulihat.

"Baguslah." Ia berjalan mendekati lubang itu. "Kamu pulanglah! Aku ada urusan di sini."

"Tunggu, apa?" Aku jelas kaget. "Nanti ketahuan!"

"Mereka harus tahu jika ada secercah harapan," sahutnya. "Kamu, tolong pastikan kalau Helia tidak curiga selama aku tidak ada!"

Aku hendak menyanggah, namun ia telanjur masuk.

Apa yang kulihat memang sesuai dengan dugaan Dad selama ini.

Mereka telah lama dikurung. Tidak tahu apa yang terjadi di dunia luar. Ketika Dad masuk dan bicara pada mereka, aku membayangkan apa yang orang-orang itu pikirkan ketika melihat sosok Dad yang menyamar.

Mereka barangkali mengira Dad utusan Helia. Masuk akal. Fakta kalau mereka hanya dikurung di sini dan belum juga dibunuh, membuatku heran.

Untuk apa jin itu mengurung orang-orang ini? Bahkan Dad pun mempertanyakan. Selagi berpikir, kulirik sekitar selagi memastikan keadaan. Kalau malam, sangat sulit bergerak bebas, apalagi sebagian besar indra menajam pada waktu itu.

Mereka dikurung di sebuah rubanah, di sekitar kebun. Ada banyak cara bagi mereka untuk kabur. Namun, aku tahu mereka pasti berpikir sebelum bertindak. Takutnya tertangkap atau malah mati konyol.

Sayup-sayup, kudengar suara Dad dari sana, selagi aku berjaga. Aku ingat betul, tekad Dad cukup kuat untuk menjalankan misi ini. Karena, mereka tanggungjawabnya.

Di sela-sela obrolan para tahanan yang lirih, dapat kudengar sebagian tengah berselisih. Sepertinya mereka kelaparan dan mencoba memilih. Tapi, keadaan sekarang cukup sulit untuk memilah. Aku dengar langkah Dad perlahan turun–

BRUK!

"Eh?!"

Dad jatuh tepat di depan para tawanan. Namun, aku kenal dia.

Dad langsung berdiri. "Apa gerangan, sih? Kalian berisik sekali."

Hening lama.

Wajar saja kalau mereka ketakutan atau ragu. Mana ada makhluk jatuh dari langit seperti itu? Tapi, aku tahu Dad tetap bertingkah seakan tidak ada yang aneh.

"Ayo, bicaralah!" pintanya. "Mari kita bicarakan baik-baik. Seperti biasa."

Aku mengintip sedikit. Dari ekspresi mereka, semua tampak menegang.

Dad terkikik, sampai suara tawanya menggema hingga aku cemas kalau bunyinya mengundang orang luar. Kenapa dia tertawa? Barangkali karena reaksi para tawanan yang ketakutan melihat kejahilannya.

Dad kembali bicara. "Kalian sepertinya sedang berebut sesuatu. Apa itu? Kalau boleh tahu."

Setelah beberapa saat terdiam, salah seorang dari mereka maju.

"Anda ... Siapa?" tanyanya.

Dad tersenyum. "Tugasku memastikan kalian tetap aman dan damai. Terima kasih sudah bersedia menungguku selama ini. Memang, butuh waktu yang lama bagiku untuk mencari."

Mereka diam saja.

Dad lantas maju beberapa langkah. "Kalian benar-benar lupa dengan suara ini? Padahal sudah hampir satu abad aku memerintah, suaraku tidak berubah sama sekali."

"Siapa?"

Dad hampiri salah satu wanita. "Bagaimana kabar kalian? Mereka apakan kalian?"

Hening beberapa saat. Kuharap mereka tidak mengira Dad adalah imajinasi dari pikiran mereka.

"Kami dikurung," jawab seseorang. "Kami tidak tahu mengapa."

Aku tatap segala arah. Menunggu selagi di bawah hening. Tidak ada apa-apa.

Kudengar lagi suara Dad. "Kalau begitu, mana orangnya? Mumpung aku tidak sibuk hari ini."

"Tapi ..." Orang itu tidak melanjutkan.

Aku tahu apa yang dia maksud.

Dad lalu melantangkan suara, sepertinya dia memang benar-benar tidak peduli aturan pertama misi ini. Tapi toh dia yang mengatur.

"Dengarkan baik-baik!" seru Dad.

Suasana kian menegang.

"Segera setelah mendengar titahku, ambil jalan yang aku tunjuk dan jangan coba-coba mundur atau berhenti. Jika dengar atau lihat sesuatu, jangan hiraukan. Teruslah melangkah hingga kalian menemukan jalan ke luar!"

Hening lama. Tidak ada yang berkomentar apalagi protes.

Dad melanjutkan, kali ini lebih pelan suaranya. "Aku tahu tujuan kalian dikurung di sini semata-mata untuk memancingku. Larilah, jangan sampai dia tahu!"

"Bagimana kami bisa percaya?" sahut seseorang. "Kalau engkau memang benar sosok yang kami tunggu?"

Dad hanya tersenyum. "Aku punya satu cara untuk membuktikan kebenarannya."

Mereka diam saja.

"Tapi, aku bisa buktikan sedikit dengan ini." Dad dekati seseorang. "Boleh minta airnya?"

Meski hanya berupa cairan kotor dari tanah atau barangkali yang lebih menjijikan, Dad tetap menyirami rambutnya. Ketika tanah perlahan menghitam, saat itulah mereka terkesiap.

"Anda ... Masih ..."

Dad tersenyum, dia keringkan rambutnya yang kini menghijau.

Seluruh tatapan tertuju padanya, mereka tercengang sekaligus melotot. Tampak tidak percaya dengan apa yang dilihat depan mata. Barangkali berpikir jika ini hanya halusinasi akibat terlalu lama mendekam.

Dad tersenyum, membiarkan mata-mata itu terus mengamatinya tidak percaya. Layaknya seorang yang dengan bangga karena telah berhasil membuktikan apa yang mustahil.

"Anda ... Masih hidup?" bisik salah seorang dari mereka. Bibirnya bergetar, mata berkaca, bahkan nyaris berlutut begitu tatapannya ke arah Dad.

Dad membalas dengan senyuman. "Kata siapa tidak?"

Mereka diam saja.

"Lama tidak bersua, rakyatku."

***

Selagi membiarkannya berbincang dengan rakyatnya, pikiranku kembali ke masa lalu ketika Mom masih ada di sisiku. Kami berbincang perihal Dad dan setiap petuah yang disampaikan sebelum aku menemui pria yang kini mendampingi hidupku hingga titik ini.

"Kamu tahu tujuanmu dilahirkan, bukan?" Mom pernah bertanya padaku. Di hari di mana aku dilatih untuk menjadi seperti yang diinginkan.

Hari-hari sebelum aku menemuinya selalu diisi dengan pesan dan petuah agar pelaksanaannya lancar sesuai kehendak mereka maupun adat yang ada.

Aku mengiakan.

"Tugasmu mengawasi sekaligus memastikan dia tetap mematuhi janji." Mom melanjutkan. "Pastikan juga kalau dia tidak melanggar janji suci ini. Jangan sampai jiwa hidung belangnya membuat dia tergoda untuk mempersunting putri kerajaan lain."

Meski sekarang dia lebih mengandalkan harem karena semua ini, tapi sejauh ini Dad memang tidak sekali pun menunjukkan kalau dia melanggar janji yang dimaksud, yaitu sumpah setia hingga maut memisah.

"Aku mendengar dan patuh." Hanya itu yang bisa kuucapkan setiap kali mendengarkan.

"Bagus! Karena dia juga yang memintaku untuk ini," kata Mom. "Lagipula, pernikahan bukan hal yang buruk. Kau justru mendapatkan suami yang berkuasa di atas tanah yang kuat pula."

Aku mengiakan, tanda mendengar.

"Maka dari itu, kamu wajib menjaga–seperti yang aku tuturkan sebelumnya–dan jangan sampai mengecewakan dia."

"Iya, Mom."

"Namun, kamu juga perlu membangkang jika dia bertindak semena-mena atau bodoh," lanjut Mom. "Tapi, aku yakin dia tidak akan menyakiti putriku."

Aku diam saja.

Mom melanjutkan. "Dan yang terpenting, kalian berdua harus saling mencintai. Dengan begitu, dia akan mudah mematuhimu dan sebaliknya."

Namun, kini semua berjalan berbeda dari yang direncanakan.

Aku justru menjadi putrinya, pewaris tahkta sekaligus penerus keturunan kelak jika aku menikahi yang lain.

Karena dia tidak menginginkanku sebagai istri di usia semuda itu, melainkan menjadi anak angkatnya.

Sebagai penerus takhta Kerajaan Aibarab yang luas.

Dialah raja terakhir kerajaan itu dan aku harus meneruskan roda kekuasaan jika dia tiada.

Dia yang kusebut sebagai "Abi."

Dialah Raja Khidir.

***

"Lily?"

Aku tersentak ketika mendengar suaranya berada dekat denganku. Rupanya, obrolan dengan rakyat Aibarab telah selesai.

"Sudah selesai?" tanyaku.

"Sudah." Dia mendekat lalu mengelus rambutku. "Ayo, kembali."