webnovel

Bab B

«Liliane»

Malam ini, kami kedatangan tamu.

Sesuai kesepakatan dengan keluarga Wynter, kami panggil seseorang yang kebetulan dikenal sejak dulu, yang terlibat dalam tragedi keruntuhan Shan.

Sejujurnya, aku tahu berkat seorang kenalan baru Dad yang juga sedang mencari kebenaran. Ternyata, memang dia yang dicari dan kami harus segera menjalankan rencana sebelum ketahuan.

Hari ini, kami kedatangan sosok yang ditunggu. Sebenarnya, Dad yang mengundangnya dengan sedikit desakan bersama Nisma Wynter yang terlalu ramai ancamannya.

"Selamat datang, Nyonya," sapa Dad yang tengah menegak teh di sofa.

Kami masih menginap di rumah keluarga Wynter, lebih tepatnya di bagian ruang yang tersembunyi tapi tampak seperti ruang depan biasa.

Aku tahu betul hari ini terdengar kabar datangnya dia, sosok yang dicari Dad. Tentu saja setelah mendengar kabar itu, dia langsung beraksi.

"Aku tidak menikah," balas wanita itu.

Dia wanita berambut jingga dengan mata warna serupa. Dia duduk menghadap kami.

"Lama tak jumpa." Dad letakkan gelas teh di meja.

"Aku yakin kita belum pernah bertemu," balas wanita itu. "Kurasa gadis tadi masih di sini."

Yang dia maksud jelas Nisma. Dia yang mengiring wanita ini ke sini dengan cepat karena tentu saja ini menyangkut keselamatan adik-adiknya.

"Tenang, dia sudah pulang," ujar Dad sambil tersenyum. "Wah, kita kenal hampir seabad yang lalu, walau tidak langsung."

Wanita itu diam saja.

Melihatnya bingung, Dad melanjutkan. "Hm, kurasa kamu hanya ingat soal keruntuhan Shan, bukan begitu?"

Wanita itu mengerutkan kening. "Siapa?"

Dad tersenyum. "Salam dari penduduk Shan."

"Aku tidak mengerti." Tatapannya tertuju padaku. "Kalian siapa?"

Dad tertawa pelan sambil mengelus rambut hitamku. "Bisa-bisanya lupa. Lily, ini Helia, salah satu penghuni Shan yang selamat. Atau .. Seseorang yang kami kenal sejak lama saat kerajaan itu baru berdiri."

Wanita itu menatapku datar. "Ini putri biologismu? Kalian sama-sama berambut hitam dengan mata hijau, serta kulit kuning langsat. Ah, kalian cukup mirip."

"Yah, ada berita buruk saat kami berkunjung ke sini," kata Dad.

"Ada apa?"

"Kami kehilangan arah." Dad menghela napas. "Saat aku hendak mengunjungimu."

"Jadi, siapa namamu?" tanya Helia.

"Jasper Pine," jawab Dad, ia tepuk pelan bahuku. "Ini Liliane Pine."

"Ah, aku Helia dan aku yakin engkau tahu ini bukan raga asliku, kalau kau tahu," balas wanita itu. "Jadi, apa maumu?"

Baru saja Dad hendak bersuara, wanita itu malah menyela.

"Tunggu dulu, tahu dari mana kalau aku ini penghuni Shan?" tanya Helia. "Aku tidak yakin. Auramu itu ... Aku tidak percaya!"

"Yah, aku ambil alih tubuh Guardian sana." Dad tersenyum. Yah, aku tahu itu hanyalah ...

"Jelaskan, kalau benar ini penghuni Shan, kenapa kauambil alih tubuh Guardian di sana?" tanya Helia. "Siapa inangmu?"

"Hm, dia tewas di tanganku," jelas Dad. "Soal inangku, kamu tak perlu tahu."

Helia tampak tidak puas. "Misterius sekali."

"Aku dan Lily nyaris tewas saat dikejar waktu itu," lanjut Dad. "Tapi, ia sempat melawan dan nyaris menyatukan diri."

"Maksudmu ... Dia mencoba menggabungkan jiwamu padanya?" tebak Helia. "Seperti yang Zibaq lakukan pada Idris dan Khidir?"

Ha! Menyebut diri sendiri.

"Ya. Tapi, rencananya gagal. Aku yang justru mengendalikannya. Kini, raganya jadi milikku." Dad tertawa puas, suara khasnya yang tidak pudar sejak dia membesarkanku.

Helia melotot. "Tawa itu ... Aku benci itu! Itu suara sama yang pernah nyaris membunuhku! Orang gila itu! Psikopat!"

"Helia, tenang!" Dad mengangkat kedua tangan, isyarat melindungi diri, meski dengan senyuman seakan lawan telah bercanda. "Waduh, tidak kusangka engkau trauma karena tawa."

"Dia gila!" decak Helia. "Sangat sulit membunuhnya. Kukira dia tewas bersama reruntuhan hartanya."

"Jangan remehkan lawan." Dad menyeringai. "Dia bisa saja sedang di luar sana merencanakan balas dendam."

Helia bergidik. "Kuharap dia sudah mati akibat serangan dariku waktu itu. Sangat menyebalkan kalau dia lolos dari maut lagi kalau dengan jin penjaga itu."

Aku melirik Dad. Wajahnya tampak mengeras sebelum akhirnya tersenyum kembali saat ditatap Helia. Dia jelas tidak senang dengan ucapan wanita itu.

"Tapi, aku jadi penasaran," kata Helia. "Mana jasadnya? Jasad Safar al-Khidir lumayan mahal dijual, apalagi dia cukup terkenal."

"Maksudmu Guardian itu?" tanya Dad. "Ya, bertukar badan denganku."

"Wajahmu sangat mirip dengannya," balas Helia.

"Lalu?" Dad tersenyum tipis. "Aku tadi mengganti raga. Kamu mau raga Khidir? Ambilkan cadangan untukku."

"Aku tahu," sahut Helia. "Tapi, aku yakin pria itu jauh lebih kuat dari itu. Dia tidak akan mati semudah itu."

"Oh, kamu menyukainya sekarang?" Dad nyengir.

Helia cemberut. "Aku yakin dia tidak selemah itu."

"Ah, jadi, setelah Zibaq menghancurkan Aibarab," sembur Dad. "Dia lempar ke mana rakyatnya? Saat ke sana, aku tidak menemukan mayat melainkan beberapa saja, sementara jumlah rakyat Aibarab begitu banyak."

"Oh." Helia tersenyum. "Itu tidak penting. Aku menyembunyikannya bersama adikku."

Dad mengiakan. "Di mana lebih tepatnya?"

"Kamu tidak perlu tahu," balas Helia. "Apa gunanya?"

Dad tampak tersinggung. "Kamu tidak rugi kalau membocorkannya di sini. Lagi pula, aku temanmu, bukan?"

"Apa buktinya?"

Dad meneguk tehnya. "Kamu pernah mencoba membuka peti–"

"Ya, ya, ya, aku percaya." Wajah Helia memerah. "Tapi, aku menolak ingat."

Maksudku, orang mana yang tidak marah jika petinya dibuka secara paksa?

"Korban yang dimaksud itu Hansel, bukan?" tebak Helia.

Ah, Hansel yang dimaksud kebetulan tinggal di sini. Dad baru saja bertukar kabar dengannya.

"Ah, bagaimana dengan Guardian yang dulu nyaris kautipu?" tanya Dad.

"Aku tahu dia kini dalam kesusahan." Helia tersenyum tanpa beban. "Kami sudah bunuh dokternya dan penyakitnya akan memburuk."

Dad menghabiskan minumnya. Ia letakkan gelas yang kosong di meja. Tangannya tampak menggeras seperti wajah dan sorot matanya. Aku tahu apa yang ia rasakan.

"Nah, sudah cukup buktinya?" Dad bertanya.

Helia menatap lekat ayahku. "Matamu hijau ... Dahulu hitam, bukan?"

"Pengaruh raganya," jawab Dad.

"Lalu, kenapa rambutnya berubah warna kalau hanya sekadar ubah raga?" tanyanya. "Kalau kamu ganti raga dengan Khidir, rambutnya tidak akan berubah, bukan?"

"Oh, kasus Zibaq malah lebih aneh," sahut Dad. "Zibaq berambut merah jambu, tapi ketika raganya menyatu dengan Idris yang berambut putih dan si hijau Khidir, malah jadi hitam. Namun, mata mereka terbagi jadi dua warna–merah dan hijau."

Apa makhluk ini lupa akan dirinya? Atau justru mencoba membingungkan kami? Dia tampak berusaha membuat pikiran kami terpecah, sementara Dad juga turut melakukan hal yang sama. Ini permainan pikiran yang membuat seisi kepala terasa seperti benang ruwet yang tidak akan bisa dirapikan.

"Ah, aku belum melihat wujudnya," kata Helia, aku tahu itu kebohongan. Kami semua tahu itu. "Lalu, apa kabar ilusi yang berhasil bangkit?"

"Sudah lama dibunuh Arsene dan Gillmore." Dad menjawab. "Kamu bodoh hanya membiarkan ilusi hidup sekali dengan raga yang lemah pula. Lebih payah dari lawan."

"Ah, aku yakin dia menang." Helia mengabaikan ejekan Dad.

"Kenapa tidak?"

Aku tahu Dad tidak ikhlas mengucapkannya.

Dad berdehem. "Ngomong-ngomong, kamu mencari pekerja? Aku ingin membantu."

"Membantu? Aku tidak dendam dengan orang lain melainkan Guardian dari Shan," balas Helia. "Tapi, aku yakin mereka ingat dengan kita."

"Nah, aku tahu ia tinggal sekitaran sini," ujar Dad. "Juga sang Putri. Mereka menyelamatkannya."

"Oh, dua Guardian itu. Ya, kemarin mereka menolak permintaanku untuk menjual atau menukar gadis itu dengan sesuatu yang lebih berharga."

"Apa yang kaumau dari sang Putri?" tanya Dad.

"Tentu saja membalasnya!" Helia menggeram. "Gadis itu merusakku sejak dulu, juga anak Hiwaga itu!"

"Ah, begitu." Dad menggelus dagunya. "Oh ya, Helia. Kalau boleh, aku ingin putriku ikut tinggal di rumahmu. Dia tidak boleh berpisah dariku lagi."

"Kamu mau bekerja di rumahku?" Helia ragu. "Bahkan sebagai tukang kebun?"

"Itu tidak masalah," jawab Dad. "Lagi pula, kami tidak akan menganggu."

Dia tidak berbohong. Tapi, tidak juga jujur. Memang benar dia ingin kami menetap bersama di rumah ini, agar semua berjalan lancar. Aku harus lebih berhati-hati. Jangan sampai rahasia kami terbongkar.

"Kalau begitu." Helia menatap tehnya. "Kamu mulai bekerja besok di rumahku, sementara gadis itu akan menjadi pendamping Ascella."

Dad langsung menyergah. "Oh, jangan pisahkan kami! Biarkan dia bekerja membantu Pak Tua-nya."

"Kenapa?" tanyanya. "Kulihat dia cukup dewasa dan kamu tampak sehat dan kuat."

"Kamu tidak paham betapa cemasnya aku." Dad berjuang untuk tidak meninggikan suara. "Pokoknya, dia harus di bawah pengawasanku. Terlebih karena engkau seakan mencoba menyatukan anak lelaki dan perempuan."

"Jangan mengada-ada!" tegur Helia. "Ascella bukan anak nakal!"

Dad tetap bertingkah seakan tidak menerima penolakan atas keputusannya. Kuharap reaksi dia ini tidak mengubah rencana.

Helia menatapku. "Bagaimana?"

"Um, baik." Hanya itu yang kuucapkan. Ya, sangat berisiko jika kami terpisah. Lagi pula, target kami hanya di rumah Helia.

"Ya, sudah." Helia menegak tehnya.

Dan permainan pun dimulai.