webnovel

Bab A

«Liliane»

Dad bersandar di sisi jendela, matanya hampir tertutup serta pandangan kosong menunjukkan betapa lesanya beliau. Kami baru saja memesan kereta untuk berkunjung, rumah target sebentar lagi muncul. Seusai mendapatkan rumah sementara, kami lalu makan di restaurant, Dad langsung mengajakku bertemu dengan seseorang.

"Dad, dari mana dapat rumah secepat itu?" ujarku yang bersandar di sisinya. "Kita baru sampai di sini."

Ia tersenyum bangga dan menepuk kepalaku dengan gemas. "Hebat, 'kan, ayahmu ini?"

Aku hanya mengiakan.

Kalau ada sihir, sudah pasti kami dapat rumah baru seperti bivak alam sederhana. Namun, kini Dad hanya mengandalkan ilmu dan uang seadanya.

"Lumayan, bisa buat besok," ujarnya merujuk pada uang saku kami. "Besok, aku akan melamar kerja ke wanita itu."

"Kenalanmu?" tebakku.

"Tidak juga," jawabnya. "Memang, aku dulu pernah mengenalnya saat masih bujangan. Tapi ... Yah, begitu."

Aku paham, ia sengaja merahasiakannya. Takut jika sopir mendengar.

Aku memandang dunia luar lewat jendela kecil. Kulirik sopir, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang jalan. Kendati demikian, kami memilih untuk tetap berbisik.

"Untuk apa kita ke sana?" tanyaku. "Apa hubungannya dengan itu?"

Aku jelas merujuk pada rencananya. Terutama sesuatu yang ada di rumah target utama kami. Ada hal yang dia ambil dan kami akan merebutnya kembali.

"Kamu ingat keluarga itu?" tanya Dad. "Mereka yang sempat mengacau di negeri kita."

Ah, aku ingat. "Jadi, Dad tahu mereka di sini? Setelahnya apa?"

"Tentu cari bantuan," jawabnya. "Bukannya mereka di sana sejak lama? Itu pun hanya segelintir orang yang selamat."

"Apa mau mereka?" tanyaku.

"Aku tidak tahu," balas Dad. "Tapi, tidak ada salahnya menolong."

"Begitu?"

"Aku punya alasan untuk membebaskan beberapa, kita hanya butuh satu keluarga."

"Dad tahu dari mana semua ini?"

Dad tersenyum. "Ada, deh." Dia yang biasa.

Kereta berhenti. Dad langsung bayar ditambah dengan tip lalu menggandengku masuk.

Rumah yang kami incar tidak sebesar yang kukira. Dari jumlah kekayaan keluarga ini, harusnya mereka punya rumah yang lebih besar. Barangkali, akibat tragedi itu membuat mereka memutuskan untuk bersemayam dalam kegelapan.

Dad mengetuk pintu.

Mata biru muncul dari balik pintu. Di antara bayangan, menatap kami bergantian. "Apa?"

"Aku Jasper Pine dan ini Liliane Pine." Dad memperkenalkan kami.

Setelah peristiwa tadi, Dad memutuskan untuk menyamar dan mengganti nama sepertiku. Berbeda dengan dulu yang cukup menambah kata "anak dari" lalu nama ayah, kami gunakan nama belakang yang sama.

Dad kembali bertanya. "Halo, Akram, ada ayahmu?"

Dari matanya, aku tahu ia sedikit terkejut. Barangkali karena mungkin dia belum pernah mendengar kenalan ayahnya.

"Ya." Akram buka pintu sepenuhnya. "Silakan masuk."

Akram memakai baju serba hitam seperti ayahnya, barangkali karena ditakdirkan menjadi penerus keluarga selanjutnya. Karena hanya dia seorang anak lelaki di keluarga itu.

Akram menuntun kami ke sebuah ruang dengan cahaya yang terang. Barangkali hanya bagian depan bagai hutan rimba agar tidak ada yang berkunjung.

"Umi, Abi, ada tamu," ujarnya dengan nada tenang.

"Siapa?" Terdengar suara cempreng dari kejauhan. Muncul wanita serba biru menatap kami sambil berkacak pinggang. "Siapa mereka?"

"Kakak, ini Mr. dan Mrs. Pine–"

"Aku belum menikah," potongku. Akram pasti salah kira jika aku istri Dad, meski jelas tubuhku bagai anak kecil.

"Ya, Mr. Pine dan putrinya," koreksi Akram. Ia menatap kakaknya. "Umi dan Abi mana?"

"Habis makan, tuh!" Wanita itu mendekati kami sambil memasang senyum. "Halo, selamat datang~💙"

Dad tersenyum lalu membungkuk untuk mengecup tangannya. "Terima kasih, Nona. Semoga kedatangan kami tidak menganggu."

"Tidak masalah, Tuan~💙" Dia terkikik. "Ayo, ayo, jangan sungkan. Kami sediakan banyak makanan untuk kalian, hehe~💙"

Kami langsung ditarik ke ruang yang lebih terang. Hanya ada satu sofa besar berwarna kelabu. Tampak dua sosok yang kami tunggu selama ini. Begitu kami mendekat, seluruh keluarga telah berkumpul kecuali dua orang.

"Ariya, siapa itu?" tanya si wanita jangkung berambut biru, jelas itu ibunya.

"Mr. Pine dan putrinya." Ariya menjauh beberapa langkah, memberi kami ruang untuk mendekat.

"Selamat malam," sapa Dad. "Tidak kusangka kalian selamat dari ledakan itu."

Kedua suami istri itu saling tatap. Aku yakin mereka menyadari siapa sosok Dad sebenarnya atau lebih tepatnya–

"Siapa kau?" tanya sang istri–Margarita Ferrant Elzalis Wynter.

Dad menegak minumnya, tanpa ditawar terlebih dahulu. "Jasper Albert Pine. Bagian Albert itu hanya tambahan."

Ya, kami berdua memang tahu betul siapa mereka. Untuk saat ini, lebih baik tutup mulut.

Wynter menatapnya tajam. "Siapa kalian? Dari mana tahu alamat kami?"

"Tidak penting." Dad tersenyum. "Aku hanya ingin membantu."

"Tidak perlu," tolak Wynter. "Kami bisa melakukannya." Sepertinya dia mulai menyadari niat kami.

"Begitu?" Dad mengangkat sebelah alis. "Tanpa bantuan sedikit pun?"

"Kenapa memangnya?" balas Margarita. "Kamu punya kekuatan?"

Dad menarik napas. "Kekuatanku masih ada dalam jiwa. Niatku sudah baik ingin membantu, karena kita punya tujuan yang sama."

"Kita?" beo Wynter.

Dad lalu menjawab. "Aku tahu di mana mereka menyimpan Delisa dan Delina."

Hening.

"Siapa kamu?" desis Arsya Wynter. "Kenapa mau bantu?"

"Aku hanya ingin membalas budi," jawab Dad. "Kalian membantu mempertemukanku kembali dengan Lily. Mumpung aku punya informasi, tentu kukasih tahu."

Tidak ada balasan.

Dad menghela napas. "Kuberi kalian waktu beberapa jam. Sebelum tempat ini digusur."

"Apa?!" Seruan mereka menyentakku.

"Apa maksudmu?" seru Margarita.

"Digusur? Apa?" jerit Ariya.

"Kamu gila!" umpat Arsya.

Dad bersandar di kursi. "Ah, berisik."

"Katakan yang sebenarnya!" seru Wynter. "Apa maumu?"

"Tubuh baru Zibaq sedang bergerak mencari kita," jelas Dad. "Dia tahu kalau aku tahu alamat rumah keluarga inj dan dia sedang melacakku untuk kabar baru."

Tidak ada balasan.

"Kalian silakan pilih, mau jadi kelinci percobaannya atau bekerja sama denganku," ujar Dad. "Tidak ada rugi memilihku, kalian malah berhasil memulangkan si Kembar tanpa goresan."

"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Arsya.

Dad lagi-lagi menjawab, "Jasper Pine."

"Aku tahu kamu berbohong," desis Arsya.

"Mana buktinya?" balas Dad. "Kalian mau si Kembar kembali. Mana mereka? Diculik Zibaq. Rumah Zibaq? Kalian sudah tahu. Bagaimana caranya? Bantu aku. Kalau tidak? Kalian tidak bisa bertemu dengan mereka lagi."

Mata Margarita berkaca. "Mereka apakan anak-anakku?!"

"Sesuatu yang buruk, Nyonya," jawab Dad. "Sebagai seorang ayah, aku juga merasakan hal yang sama."

Hening.

Dad membelai rambutku. "Membayangkan Lily dalam bahaya adalah hal terburuk yang bisa kubayangkan melebihi kematian."

Aku jelas tersentuh. Ya, aku tahu ia tidak berbohong. Tapi ...

"Jadi, ada yang bisa menyihir?" tanya Dad, menatap lurus ke keluarga Wynter.

Hening lagi. Mereka saling lempar pandangan.

Wynter jelas tidak tega melihat sang istri. "Lalu, apa maumu, Pine? Harta?"

"Tidak ada," jawab Dad. "Hanya ingin membantu. Kalian mau?"

Cukup lama menunggu, aku sendiri yakin mereka sudah menangkap maksud kedatangan Dad sebenarnya.

Wynter pun memutuskan.