webnovel

Akhir Hayatnya – 6

Hingga tiba malam di hari berikutnya, tiada kabar dari Tirta yang mana membuatku cemas. Apa yang dia lakukan pada Zibaq? Kenapa dia bawa Ascella juga?

Satu hal yang kupikirkan yang menurutku masuk akal tapi di sisi lain cukup menakutkan bagiku. Memang benar, aku kesal kepada Zibaq yang selalu memburu aku dan adikku. Dia juga telah membunuh ibuku dan menyakiti teman-temanku, para Guardian. Sementara yang kutahu, sosok Tirta yang tampak begitu mudah menaklukkan Zibaq harusnya memberi jin itu hukuman sepantasnya.

Namun, apa benar ini yang dia lakukan? Setelah beberapa tahun berlalu, rasanya janggal jika dia pergi begitu saja. Bukan mengapa, aku mengaku terganggu, tapi di sisi lain harus mendengar kisah dari sudut pandangnya. Mengapa dia melakukan semua ini? Mengapa dia menyakiti para Guardian? Apa maunya dari kami? Jika kutanya semua pada pelindungku, aku yakin mereka tidak akan memberi jawaban yang jelas.

"Putri mau makan?" Suara Ezekiel membuyarkan lamunanku. Kulihat di tangannya ada kotak berisi makanan entah dapat dari mana. Isinya berupa daging sapi yang telah dibakar.

Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih. "Dapat dari mana ini?"

"Udah, jangan dipikirin," balasnya. "Khidir sama gue tadi diskusi. Rencananya dia bakal tulis pesan buat Kakek buat izin mampir ke rumahnya Thomson."

"Siapa Thomson?" tanyaku.

"Guardian lo." Ezekiel melanjutkan. "Dia yang jagain Pangeran sama anaknya Wynter."

"Anak Wynter yang mana?" Aku tidak dapat menebak. Sejauh yang kutahu ada tujuh anak dan baru enam yang kukenal.

"Gue lupa, nanti ke sana cari tahu," jawabnya. "Kita nanti pergi ke wilayah Danbia dan paling enggak butuh waktu sebulan buat ke sana pakai kuda. Nah, biar cepet, gue kasih saran pakai sihir gue aja."

"Apa tidak melelahkan?" tanyaku.

"Enggak," jawabnya. "Lagian, Khidir dan rombongannya udah duluan pergi. Abang sama Karun udah duluan."

"Gill, 'kan?" Aku memastikan.

"Pokoknya yang bisa berubah jadi cewek itu."

Nah, benar berarti. "Sekarang sudah berapa Guardian yang kulihat? Sepuluh? Wah, sebentar lagi kita akan berkumpul kembali."

"Sebentar lagi bakal ramai," balasnya. "Sementara penghalang kita udah berkurang."

"Zibaq telah ..." Aku sengaja menggantungkan kalimat agar dia meneruskan.

"Telah gugur, ya." Dia tersenyum.

Kenapa terasa aneh? Maksudku, selama ini dia begitu susah dilawan dan sekarang ... aku bahkan belum tahu kisah jin itu sesungguhnya.

Rupanya, Ezekiel menyadari gelagatku. "Putri enggak usah cemas. Ada kami buat ngelindungin lo sama Pangeran."

"Iya, tahu, tapi selama ini kalian kewalahan mengalahkan dia, masa semudah itu?" Aku mengucapkannya begitu cepat.

Senyum dari wajah Ezekiel seketika sirna. "Lo enggak mau kita menang?"

"Bukan begitu, tapi ..." Aku kehabisan kata-kata.

Ezekiel melanjutkan. "Lo sebaiknya bersyukur sudah dilindungi sama pelindung yang kuat kayak gue, eh, kami."

"Iya, tapi bukannya selama ini dia begitu susah ditaklukkan?" sanggahku. "Aku hanya penasaran bagaimana. Kalian ... seperti sudah terlatih."

"Wah, orang macam gue selalu terlatih." Mulai muncul penyakit narsisnya. "Gue sudah pintar bisa mikir kalau jin ini bisa merasuki siapa saja. Biar dia enggak bisa kabur, kubekukan satu kota. Setelah dia enggak punya celah lagi, baru gue bikin dia lemah. Setelahnya, Kakek bantu."

"Begitu," tanggapku. "Bagaimana nasib Ascella?"

Ezekiel berdecak pelan. "Enggak usah pikirin bocah itu. Kakek sudah urusin, kata dia." Dia terdengar tidak senang membicarakannya.

Setidaknya mereka tidak membunuh Ascella akibat dosa jin itu. "Bagaimana nasib kakaknya?"

"Hm? Siapa?" Ezekiel tampak sibuk mengamati pemandangan langit malam.

"Helia!" tegasku. "Dia sudah dirasuki jin itu sejak lama. Harusnya dia–"

"Tewas," potong Ezekiel. "Eh, maksudnya dia sudah tewas. Kakek sudah berusaha mengusir jin itu lagi, cuma namanya orang nempel pasti enggak mau lepas. Akhirnya gitu, deh."

Kenapa dia bercerita begitu santainya sementara nyawa seseorang telah ditaruhkan? Namun, aku mungkin belum tahu apa yang dilakukan Helia sebelumnya. Jadi aku lebih memilih diam.

Aku pun makan daging bakar berian Ezekiel tadi. Rasanya sungguh enak apalagi ketika aku dilanda lapar saat ini. Sementara pelindungku kembali menikmati pemandangan di luar jendela. Membiarkan angin malam menyapu rambutnya.

***

"Ini surat dari Kakek kemarin itu." Ezekiel menyerahkan selembar kertas padaku keesokan paginya. "Malam ini gue keluar sebentar bareng Khidir buat nyari sesuatu. Lo mau nitip apa?"

"Tidak ada," jawabku sambil mengamati kertas itu. "Kenapa baru dikasih sekarang?"

"Kakek baru tulis pesan khusus buat lo pribadi."

"Apa isinya? Intinya?"

"Enggak gue baca, terlalu personal soalnya." Ezekiel lalu berpaling. "Lo hati-hati di dalam."

Aku mengiakan. Dia pun pergi meninggalkanku di kediaman ini. Perlahan, cahaya kalungku meredup hingga akhirnya tidak bersinar sama sekali.

Aku pun membaca surat dari Tirta kepadaku. Rasa penasaran sekaligus gugup menggelayut dalam pikiran selagi membacanya.

Tuan Putri,

Aku meminta maaf tidak bisa menemanimu dan Pangeran di waktu yang sama. Sungguh dari lubuk hati aku juga ingin menghabiskan waktu bersama kalian. Namun, ada beberapa hal yang membuatku harus memilih untuk menjauh demi melindungi kalian.

Ada tanggung jawab yang kuemban sejak lama, ketika kita masih tinggal di Shan. Kini masalah itu sudah selesai di tanganku. Berkat bantuan dari Guardian lain, jin itu telah masuk ke dalam perangkapku, dia telah pergi untuk selamanya. Aku memilih menjauh untuk memusnahkannya seorang diri agar ia tidak mendekat bahkan menyakiti kalian. Kini, kalian aman sekarang.

Namun, aku tidak bisa hadir untuk mengasuhmu selama beberapa waktu lantaran harus mengucapkan salam perpisahan kepada Nedai. Mereka telah berjasa menjagaku di kala terpuruk dan mereka sebaik-baiknya kawan.

Kini tugas kita tinggal berkumpul sejenak untuk mengenang Shan. Kuharap ini terakhir kali kita menghadapi penghalang. Sekarang, aku akan tinggal sebentar di Nedai selagi kalian melanjutkan perjalanan. Ini tidak akan lama. Aku akan menyusul kalian ke Danbia.

Jaga diri kalian dan selalu beri kabar. Aku pasti akan membalas surat kalian.

Tertanda

Tirta

Surat sederhana tapi dapat kurasakan kehangatan darinya. Aku belum mengenal lebih dekat sosok Tirta, tapi dia sudah membuatku merasa aman ketika waktu pertama kali menatapnya. Kesan awalku, dia memang baik. Tunggu, semua Guardian memang baik. Tapi, dia sedikit berbeda. Layaknya sebuah tempat untuk berpaling ketika dalam masalah atau sekadar bernaung di kala merasa resah. Barangkali karena usianya yang paling tua di antara kami, membuatnya seperti itu. Namun, aku tidak akan mengenal dirinya hingga suatu hari itu tiba.

Akan tiba masa semua ini hanya tinggal kenangan kecil yang terkubur di masa lalu. Serpihan ingatan dan rasa kasih yang kini tinggal sekadar bagian kecil dari hidup. Terkubur bersamaku hingga waktu tiba untuk memanggilku kembali. Rasanya, semua ini tidak akan sama lagi. Barangkali, hanya akan menjadi satu serpihan penghias dalam ingatan ketika waktu itu tiba.

Suatu saat, mungkin semua akan berubah dan berganti menjadi sesuatu yang berbeda. Kalau saja aku ingat segalanya.

Kalau saja ...